Minggu, 05 September 2010

Cinta Di Bulan Ramadhan

Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do'a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.

***

Gadis berhari-hari mengunci dirinya dalam kamarnya. Tak ada yang tahu apa yang sedang dilakukannya. Hanya pesan pendek, sering aku terima itupun kadang tak tuntas mengirimnya─putus di tengah percakapan.


Seorang temannya menemuiku, menanyakan perihal masalah yang menimpahnya. Hingga kenapa harus mengunci diri dalam kamarnya. Aku sendiri tak tahu. Maka kujawab sekenanya


“Ia sedang patah hati yang dalam dan ingin tenangkan diri. Supaya jadi baik-baik saja, ketika keluar kamar dan tak ada yang mengira ia sedang patah hati”


Temannya malah mendebatku

“Bahwa siapa yang tidak tahu! akan sakit hatinya─semua sudah tahu”.


Aku pun berlagak tidak tahu, permasalahan yang sedang dialami oleh Gadis dengan detail. “Memangnya kau tahu apa yang sedang terjadi pada Gadis?”


Temannya menjawab

“Kekasihnya telah menduakannya. Gadis sangat terpukul atas kejadian tersebut”.


Aku pun tersenyum dan menggerakkan kepala ke bawah agar terlihat mengamini apa yang dikatakannya, seakan-akan baru tahu permasalahan Gadis secara detail.


Temannya melangkahkan kaki menjauh dariku yang terus berfikir. Apa yang bisa aku perbuat untukknya sedang aku bukan apa-apanya. Hanya, baru saja kenal dan aku tertarik padanya. Ah, dasar naluri lelakiku muncul tiba-tiba saat bertemu dengannya pertama kali. Padahal sudah lama rasa cinta menghilang dari peredaran orbit hati.


Pada suatu malam ketika bulan purnama. Seorang lelaki datang padaku yang mengaku kekasih Gadis. Bercerita tentang perihal hubungannya sama Gadis. Bahwa ia sangat mencintainya. Tapi sayang, Gadis tak mampu memberikan apa yang diharapkan. Lalu ia bertemu dengan perempuan semasa SMA-nya yang pernah dicintainya. Sebab jarak yang jauh lalu ia meninggalkannya.


Kini, jaraknya sudah dekat maka ia pun kembali lagi pada perempuan yang semasa SMA dicintainya. Tetapi sebenarnya ia masih cinta pada Gadis. Berhubung Gadis tak dapat memenuhi apa yang diharapkannya, ia harus meninggalkan Gadis. Sesekali ia mengoda Gadis. Agar mau berubah dan ia pun akan kembali pada Gadis. Perubahan yang diharapkan pada Gadis adalah agar Gadis dapat masak, agar Gadis berjilbab, agar Gadis meninggalkan teman-teman mainnya, agar Gadis tak seperti anak kecil, agar Gadis Dewasa. Agar Gadis.....


Sehabis ia bercerita panjang lebar kali tinggi, tentang hubungannya sama Gadis. Ia berpamitan pulang. Dan mengatakan padaku


“Tolong Mas, disampaikan pada Gadis, tentang apa yang aku ceritakan padamu!”.


Sungguh, lelaki macam apa itu? Memaksa kehendaknya untuk orang lain berubah. Padahal perubahan harusnya melewati kesadaran dari pelakunya. Bukan pemaksaan. Aku mengingat pemikir-pemikir positivisme, bahwa hubungan relasi antara diri dan diluar diri adalah subyek dan obyek. Sehingga apapun yang diluar dirinya adalah obyek yang dapat dirubah semaunya. Dengan adanya unsur paksaan dan ekploitasi. Ah, robotlah jadinya. Sudah sebegitu parahkan pemikiran positivisme masuk dalam alur logika kita?


Tiba-tiba poselku berbunyi.

“Kak telpon aku”.


Rupanya Gadis mengharap aku menelponnya. Sebagai manusia aku tak bisa membiarkan orang lain meminta tolong dan butuh bantuanku, aku biarkan begitu saja. Lalu aku pencet call Gadis. Masih terdengar nada terisak-isak. Habis menangis seharian, katanya. Lalu mengisahkan lelaki yang baru saja datang padaku. Bahwa ia mempermainkan hatinya. Aku pun bilang


“Kenapa kau mau dipermainkan?”


Gadis mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai lelaki tersebut, hingga terkadang buta dirasakannya. Tak peduli berkali-kali disakiti, tetap saja mengharapkannya. Tetapi gadis kali ini sadar, bahwa ia harus memutuskan untuk melupakan. Akan tetapi, Gadis tidak bisa. Katanya.

Dengan sadar diri, aku bukanlah Gadis. Aku tak mengerti perihal perasaannya. Aku hanya membantu memecahkan kebuntuan-kebuntuan fikirannya yang gelap. Akibat perasaan cinta butanya. Aku katakanya padanya

“Gadis yang dilakukan kekasihmu itu bukanlah cinta tetapi penguasaan terhadap dirimu. Relakan saja ia pergi dan terimalah kenyataan yang terjadi. Bahwa ia telah mencintai orang lain. Bukan lagi dirimu”

Tiba-tiba telpon terputus.

Aku sebenarnya takut untuk memberikan solusi-solusi padanya. Apakah aku dengan tanpa tendensi atau punya tendensi untuk membantunya. Sebab aku mencintainya. Dan yang aku tahu. Bahwa, aku tak ingin serupa yang aku diskripsikan pada lelaki yang dicintai Gadis. Ada unsur penguasaan atas cinta, tetapi bukanlah cinta yang membebaskan yang mencari jalan kebenaran bagi dirinya sendiri.

Teringat buku yang aku baca tentang kekuasaan cinta dan keadilan karya Paul Tillich. Aku membelinya bersama Gadis ketika awal kita kenal. Gadis bertanya padaku perihal buku tersebut. Setelah aku buka dan baca, memang agak berat. Mungkin juga bagi Gadis yang tak pernah baca buku akan mengalami kesulitan. Lalu aku katakan

“Ini persoalan ontologis cinta kekuasaan dan keadilan”.

Gadis tidak paham apa itu ontologis. Aku pun bilang

“Kau tau filsafat. Nah, ontologis itu bagian pembahasan dalam filsafat. membahas tentang objek apa yang di telaah ilmu. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut. Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia ”.

Gadis malah bingung. Aku pun diam. Lalu gadis mengajak pulang. Aku mengantarkan gadis kerumahnya. Kenangan yang indah walau sesaat. Ketika itu, sehari sebelum puasa Ramadhan tiba.

***

Gadis, sudahlah. Jangan menangis. Tak ada gunanya. Lelaki yang kau cintai telah melukaimu. Apa pantas kau mengiba dan meratapinya, bahkan mengharapnya kembali? Mari, buka mata hatimu. Lalu tenggelamkan diri dengan do'a-do’a kepada Tuhan. Aku yakin. Segalanya akan baik-baik saja. Hidup itu sementara, jangan dibuat bersusah-susah. Mari, memaknai segala peristiwa pasti akan lebih indah. Mari, berfikir hal yang penting agar diri berguna buat sesama.

 

Aku kirimkan lagi pesan singkat pada Gadis, yang mulai bisa melupakan kekasihnya. Dengan seringnya kita berkomunikasi lewat telpon. Aku pun sedikit membuka kesadarannya. Bahwa hidup itu tak harus tengelam dalam permasalahn yang dangkal. Aku sering mengibaratkan cinta Tuhan pada manusia. Tak pernah pupus walau manusia selalu menjauhinya, ketika hendak mendekat tetap saja Tuhan menerima. Sebab Tuhan Maha Pema’af. Begitupun manusia yang di dalam dirinya ada pancaran roh Tuhan. Maka, paling tidak mendekati “serupa” Tuhan. Itulah kenyakinan terhadap kebertuhananku dan pemahamanan atas keberagamaanku.

Gadis sudah mulai tak menangis lagi, tapi masih teringat kekasihnya. Aku pun terus menghiburnya. Aku tak dapat mengatakan cinta padanya, sebab pernah ketika awal-awal bertemu aku mengatakan cinta padanya dan mengharap sebagai kekasihnya. Gadis hanya memberi jawaban, bahwa aku di anggapnya saudara. Tapi tak apalah. Aku yakin hati manusia bisa berubah, karena yang ada di dunia ini semuanya relatif kebenarannya kecuali kebenaran Tuhan.

Temannya masih sering bertanya padaku, ketika berpapasan betemu di gang sebelah rumahku. Lelaki itu, kekasih Gadis sudah jarang menghubunginya. Walau kadang-kadang masih mengirimkan pesan pendek pada Gadis. Tapi Gadis tidak menghiraukannya. Cerita gadis padaku.

Gadis pun pergi ke luar kota untuk mencari susana yang baru. Gadis berharap dapat melupakan dengan purnah jalinan cinta kasih yang pernah dilaluinya.

“Kak, Gadis pergi dulu. Tidak lama kok”  pesan singkat masuk di ponselku.

***

Aku masih tetap berdo’a pada Tuhan. Agar Gadis membuka hati untukku. Malam-malam pada bulan Ramadhan aku lewati dengan khusuk beribadah pada Tuhan. Membaca Al-Qu’an. Membaca buku-buku agama. Ketika, tepat aku membaca surat Ar-Rahman, aku teringat Gadis. Surat ini adalah paling disuka, karena Gadis sering mendengar ketika menjelang subuh. Gadis pernah bercerita padaku tentang itu.

Suara ponselku berbunyi, tanda ada pesan singkat masuk. Aku menghentikan membaca sesampai perhentian ayat yang tak mengurangi arti utuhnya. Aku membuka ponselku, Gadis mengirimkan pesan singkat.

“Kak, besok bareng terawih ya? “

Dengan cepat aku membalasnya “Iya”.

Ah, Tuhan pertanda apakah ini. Tadi aku mengingatnya, lalu Gadis mengirimkan pesan padaku. Besok mengajakku berangkat terawih bareng.

Aku pun melewati waktu dengan sewajarnya, aku pasrahkan pada Tuhan apa yang terjadi nanti. Aku percaya, yang membolak-balikkan hati manusia adalah Dia.

***

Kita bareng berangkat terawih dengan jalan kaki. Rumah kita tidak jauh. Aku yang mendatanginya dan menjemputnya. Aku berusaha bersikap biasa tanpa tendensi apapun. Dalam kantong celanaku sudah aku persiapkan sebatang coklat dan Al-Qur’an kecil yang aku bungkus dengan kertas kado. Sehabis sholat terawih aku memberikan padanya. Gadis tersenyum dengan manis. Tak biasanya Gadis tersenyum dengan manis sejak betermu awal denganku. Gadis menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Dalam berjalanan pulang, kita saling bercanda. Aku pun sesekali bercerita tentang masalah bangsa yang tak kunjung sirna. Gadis menikmatinya. Malahan bertanya-tanya masalah-masalah bangsa yang belum tuntas-tuntas untuk diselesaikan. Dari persoalan Lumpur Lapindo, masih banyaknya angka kemiskinan, politik yang kacau. Gadis semakin penasaran, mungkin saja Gadis jarang membincal hal-hal yang saban hari aku geluti meski masih dalam wacana belum banyak aksi. Persoalan yang baru saja terjadi dan masih hangat-hangatnya pun menjadi perbincangan kita. Yakni masalah, sikap bangsa atas Malaysia. Aku melihat wajah Gadis berseri-seri penuh arti.

Sesampai di rumahnya, gadis mempersilahkan aku duduk dulu. Gadis masuk ke dalam rumah dengan keluar kembali membawa secangkir kopi. Kopi belum aku minum, gadis mengagetkan aku. Bahwa gadis mengatakan cinta padaku.

“Kak, di bulan Ramadhan ini. Aku menemukan banyak arti setelah mengenal Kakak. Aku tak lagi berdiam diri dalam kamar, meratapi malasah-masalah cinta pada kekasihku yang menyakitiku. Kak, Gadis cinta Kakak.”

Dengan hati yang berseri, aku pulang sehabis menghabiskan secangkir kopi cinta di malam bulan Ramadhan. Yang ku harapkan dapat terwujud.

Gadis mulai berbenah diri, sering mengaji, sering membaca buku, sesekali mengajakku membagi makanan buat anak-anak jalanan dari sisa uang yang Gadis punya. Tanpa, aku memaksa tanpa aku menyuruh. Malahan kadang Gadis mengingatkan padaku, agar jangan sampai daya kritis yang kumiliki hilang. Gadis pun menjelma martil yang mengerakkan kesadaranku untuk terus menanjak. Pada keutuhan kemanusiaanku. Aku pun berdo'a atas segala kesadaran diri padaNya “Di hening malam Ramadhan, aku berserah diri padaMu”.

Malang, 21 Ramadhan 1431 H

(Di Muat di Malang Post, Minggu, 5 September 2010)

Minggu, 29 Agustus 2010

DENNY MIZHAR DAN ALAM PUITIK GUNUNG KIDUL

Oleh: Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati
Denny Mizhar

Aku pernah memenggal nama tuhan
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya.

Batu-batu kerikil tajam melukai kakiku
di jalan menapaki pertapaan.

Kesunyian singgah dalam kesilaman masa
keharuan menebar putik-putik kamboja
lelah dengan mudah.

Bayangan-bayangan kematiannya
bergelayut di dinding nalarku penuh angka.

Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa.

Penempaan akan diri kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah.

Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi
di puncak perbukitan di mana tuhan pernah aku makamkan.

Seketika mulutku berkhotbah
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih.

                          ***

Membaca puisi Denny Mizhar, mengingatkanku seringnya terjadi orang kendat, atau bunuh diri di Gunung Kidul (GK). Dari persoalan bermacam-macam yang tampaknya ada kecenderungan nasib pahit, terpancar di balik bencah tanahnya. Kefahaman ini didukung penulis puisi, yang pernah bilang dirinya sedang di sana. Lantas diriku teringat lukisan beraliran dekoratif karya pelukis Harjiman (almarhum), yang seluruh obyek lukisannya mengenai alam GK yang gersang; cucuran air hujan jarang sampai menghijaukan pandang.

GK salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), alamnya dulu sangat kering, tanah merah bercampur bebatu. Padahal masyarakat kebanyakan mengandalkan pertanian, sebagai mata pencarian hidup. Tapi waktu demi waktu insan giat berfikir dan pekerja ulet. Mulai menapaki tangga keindahan, ada yang ke Ibukota dan di Yogyakarta sendiri, demi mencukupi hayatnya. Lantas pemerintahan DIY menggalakkan penghijauan, yang kini dapat dipanen lewat semilir bayu. Namun “tradisi” bunuh diri, masih berjalan di awal tahun 2000-an. Semoga tulisan ini turun, sudah tiada lagi yang mengecutkan nyawa tersebut.

Sebenarnya aku ingin kembarai warna pantai Kroasia lewat google, sebab diriku belum ke sana, terus kujumpai puisi Denny. Lalu kuarahkanlah pada warna lokal yang tidak kalah menariknya, meski laut selatan GK tiada permainan voli pantai dengan pemain yang aduhai. Tapi tanjung karang putihnya asyik juga dipandang mata. Aku mulai saja mengupas karyanya, demi tidak ngelantur tak karuan. Kuterjemahkan perbait, kuanggap Denny Mizhar sudah berkali-kali hatamkan Sabda Zarathustra -Nietzsche, sehingga kudapati lebih naik, meski dengan secarik catatan:

I
Kerap manusia mendapati kesadaran kelemahannya, ketika sudah melampaui batas dinaya, sampai memulangkah apa saja yang diyakini. Saat itu juga, yang ditanggalkan begitu kuat hadir, tapi tak merasakan puncak perjumpaan. Sebab tengah menyatukan kesaksian, semisal jiwa ateis masih merasai kehadiran-Nya, ketika nalar tak mampu menjangkau, melemparkan duga pada hayalan.

II
Di jalanan hidup berliku penuh duri-duri tajam, dari kebodohanlah terlihat adanya kelicikan. Di sini ketakmampuan mencerna terbayang, tapi dengan memasuki goa pertapaan bertafakkur, semuanya terang dalam keinsyafan pemahaman.

III
Dalam sunyi, nilai-nilai bathin yang sudah ditapaki, menyembul mencapai langit-langit goa menyatu ruangan. Memantulkan terang cahaya dari pintu selalu terbuka, sedari pelatarannya tercium bunga harum ingatan kamboja. Bau kewaspadaan disebut keheningan makmur, kelapangan jiwa menerima.

IV
Namun, nalar yang menghitung denting air menetesi batuan putih di lantai goa, melayarkan gambaran usianya. Rumusan hidup dari bacaan, ingatan kalender merayunya berfikir kausalitas. Hati tergoda membentangkan angka, memasukkan dalam makna kesatuan bersusah payah. Serupa peperangan di medan kemanusiawian.

V
Tatkala nalar dilayarkan dengan bukti rangkaian kata “Tak habis aku…” Maka keindahan kalbu yang rapi segugusan cahaya puitik, atas pencarian hakikat dikehendaki puisi itu, membuyar penyesalan tiada habis-habisnya. Kekecewaan tergambar padat, ke puncaknya warna gelap gulita menusuki bagian rasa.

VI
Ialah cahaya-gelap pun purnama, serta bayang-bayang kelebatan dahan, mematangkan makna. Dari gerak itu bukan berasal cahaya, tapi paduan angin perasaan bergetar menyempurnakan kehangatan. Serupa “tubuhku penuh darah” atau rasa meruh di luar, sedang menyaksikan ketelanjangan sendiri.

VII
Di bait ini, logika pemenggal tuhan tak berdaya, kembali ingin mendekapi sunyi, ke hati yang pernah ditinggalkan. Meski dalam tempo detikan, tapi jarak hati dan nalar sungguh jauh, kalau tak sedang merasai kegenapan. Sepadan penyatuan selaras, lalu keduanya (hati-fikiran), bergegas keluar dari goa pertapaan, ke bukit pemakaman tuhan. Perbendaharaan makna, lenyap dari hadapan aku lirik, bermuwajjaha kepada-Nya.

VIII
Akhirnya nasib berkesaksian, lewat mempertanyakan yang tak butuhkan jawaban para penyaksi. Apakah ada atau tidak, mulutnya berucap; bahwa tuhan yang hadir dalam wacana pun, perlu nafas-nafas ruh kehadiran demi kebesaran-Nya. Kalau bukan manusia sendiri tak akan sanggup memaknai, atau terkubur nuraninya di bukit putih.

Lamongan, Maret 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Upacara Kemerdekaan, Upaya Mengkritisi Bangsa

Denny Mizhar*

Jika menapaktilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.

Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.
Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.

Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.

                                                                       ***

Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.

Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.

Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.

Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?

Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.

Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.

Malang, 18 Agustus 2010

*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.

Minggu, 01 Agustus 2010

Parade Puisi-Puisi Cinta

Mencintai

menjelma menjadi matahari dalam diri
kelopak mawar mekar mengajarkan kesadaran
menebar harum wewangian dalam syair asmaradana.

hakekatnya adalah kebajikan
bersetubuh melingkar tanya akan keberadaan.

kadang kala menjelma hasrat
meletup dari keinginan semata─ tanpa kendali.
terbangunlah jembatan arah menuju kealpaan muasal.
dusta dan luka menempel pada tirai.
sebab harap tak sampai mendekat.
ada keterputusan rantai arah tuju.
limbung dibuatnya.

maka, bersegera menyeretnya
pada pintu harap semesta:
tentang keagungan tuhan,
tentang resah pertiwi.
pertanyakan letak diri.

:cakrawala terbentang
semangat tak pantang terkuras.
adalah bumi tak lelah terpijaki.
membuka diri menjadi matahari
terangi tak harap balas kasih.

Malang, juli 2010



Bulan Sabit di Balik Jendela

kau yang mengancamku dari balik jendela tak juga beranjak pergi. menerangi tak sempurna setapak hatiku. mengantung-gantung di pohon trembesi tempat aku menunggu bila matahari berlahan angslup di tepi barat rumah yang aku huni.

kau menghampiriku memberi kisah tak pernah tuntas menjadi kenang purnama. hanya pancarkan cahaya merah berkilauan membuatku silau.

(aku kembali pertayakan sepi yang bening)

kututup jendela. kau menahan dengan lancip sabit. menusuk suratan hati yang telah bercahaya kembali.

Malang, Juli 2010



Waktu Pisau Menikam Tubuh

detak rindu
melodi pilu

dari angka-angka ganjil
di dinding tubuh runtuh

mengepak
jejak waktu
memburu
menikam
resah kalbu

mawar di mata melahan jatuh
menggerimis darah berwarna ungu

jarum jam beku
sejarah tertulis
menebar amis

lukisan kupu-kupu di pipi
bermetamoforsif menjadi ulat dungu
merambat mengelilingi pusaran waktu

hilang satu
darah beku
hilang dua
kepala pecah
hilang tiga
leher patah
hilang empat
dada terbelah
hilang lima
perut mengembung
hilang enam
setengah tubuh
tak dapat dirasa

pisau masih mewaktu
dalam angka raga
hendak berdetak-detak
tetapi kalah
menyiasati jiwa

Malang, 2010



Memulangkan Resah
:lis

i
pada kata yang meretakkan gelisah
aku membuka lebar rongga sukma

segala desah tentang air mata
mengalir pada muaranya

bias cahaya menelusup di kediaman duka
memberi terang pada kegelapan rasa
sebab aku telah membasuh darah
yang meluber dari patahan hati merah muda

ii
hai, gadis bermata sayu
keluarlah dari ruang sunyimu
pandanglah gemerlapan lampu kota
hingga hilang segala resah

sebab aku tak mau gelisah
melihatmu murung memikirkan cinta
letakkan saja pada tempatnya
simpan rapat segala lara

:semakin membayang semakin tak dapat hilang semakin dekat. oh, semakin aku yakin. kau rupanya dan kau akhirnya. aku pun diam dalam puisi mengukuhkan diri memulangkan resah

Malang, Juli 2010



Lonceng Malam

aku adalah rindu
berdenting melengking
memanggil kekasih
di balik sepi

menyibak pekat malam
arungi angin berdesir
merinding pada hening
mengigil pada bunyi

aku adalah kekasih
tak dapat berlari
dari peluk tubuh
dari basah kata
dari suara resah

Malang, 2010



Sajak Untuk Aku

Hai, aku. Lihatlah kunang-kunang yang kau simpan tak berkerlipan. Lepaskanlah pada udara bebas agar ia dapat melesat pada ketinggian. Biarkan langit menggapai segala asanya yang ia endapkan.

Hai, aku. Tak usah lagi kau tulis jejak lukamu yang membuatnya tak betah tinggal denganmu walau hanya mencium bau anyir darahmu. Rebahkanlah ia jauh dari tubuhmu yang penuh darah dari duka masa lalumu hingga kini masih belum mengering.

Hai, aku. Selami sukmamu sedalam kau membaca Tuhanmu. Agar harum mawar menebar wewangian kebahagiaan yang lama ia idam-idamkan. Tak usah kau kunci egomu dengan gembok yang kuat hingga tak ada lagi cela untuk keluar.

:Sebab aku memandangmu, wahai kunang-kunangku dengan kebebasan membiaskan venus menuju rumahNya. Berkerliplah di gelap malam di taman kamboja hingga sepi menjadi riang tanpa kelam.

Malang, 2010



Cinta Di Bulan Juni

Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.

O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.

Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.

Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.

Malang, Juni 2010

*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)



Sajak Untuk Neng
:lis

Betapa lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.

Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.

Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.

Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.

Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu─tak ada.

Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Ilahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. Pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.

Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.

Malang, Juni 2010



Gadis Bermata Burung Hering

aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.

debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku

dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.

aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.

terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan

Malang, 2010



Pada Gadis Serupa Layla
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku

lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.

o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.

kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.

romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.

ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.

mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.

Malang, 2010



Surat Untuk Kekasihku

pada siang menerawang
wajahmu membiru layu

kusaksikan gerimis berguguran
membasahi dukaku yang kaku

kenang dirimu
dengan gemuruh sesalku

aku meninggalkanmu
tanpa kecup terakhir
di keningmu.

luka kepergian tanpa ikatan
kini menyeringaiku akan kegilaan
sebab tiada tempat
aku berkisah
tentang darah,
luka,
air mata
anak-anak gembala.

lihatlah langit Gaza:
debu-debu mesiu
mengotori keputihan
dan kebiruannya.

gelap menyapa:
tangis gadis-gadis kecil ,
ratapan seorang ibu,
bapak dan anak perjakanya
sibuk mengumpulkan batu-batu
membalas luka
tiada ujungnya

kekasihku,
singkaplah tabir rahasia
yang menutupi dirimu
biar rindu ini
sampai padamu

rasakanlah nyeri tubuhku
meletupkan rindu
ingin berkisah
tentang kesunyian
bercinta dengan darah

seperti dulu
di bawah pohon trembesi
kau rebah aku bercerita

duka pun memeluk tubuh
dan kita semakin mesrah
dengan duka luka air mata
tak lelah-lelah
menjadi kisah
kita.


Malang, 2 Juni 2010



Kepada Ana

Ana, adakah tempat singgah buatku yang kini merasa lelah. Jalan panjang nan berkelok telah aku lalui. Rindu-benci pernah memanahku hingga tembus ke dinding hati. Ana, aku menunggu bibirmu bernyanyi. Walau tak merdu, tetap kudengar dengan hatiku. Atau kau tak suka bila aku melepas lelah dan berhenti pada jalan akhir meninggalkan jejak cintaku padamu.

Ana, biarkan punggungku dan punggungmu bertatap-tatapan di bangku taman, lalu kita bercerita tentang pertunjukan yang habis kita mainkan: Sesudahnya aku harap, kita tulis lagi jalan cerita dengan kisah nyata.

Kau masih ingat ketika kita memainkan lakon Romeo dan Juliet. Aku begitu suka sekali ketika Romeo aku perankan dan Juliet kau perankan. Kita merubah kisah di akhir pertunjukan: Bahwa mempertahankan cinta tak harus berakhir dengan kematian.

Ana, dunia serasa berbeda. Ketika kakiku sudah mulai menginjakkan pintu luar gedung pertunjukan. Kisah nyata pun tak ada, sebab hidup kita serupa sandiwara.

Oh, Ana haruskah aku ungkap dengan kata. Bukankah kau bisa baca langkahku. Di situ ada rasa cinta yang menggelora.

Malang, Mei 2010



Kesurupan Cinta

kembang tujuh rupa
terikat di rambutmu

harum dupa di wajahmu
memeluk mistis rindu

lahirkan misteri
wingit tubuhmu

:aku mencium
dari ruang kesunyianku.

wajah dan rambutmu
merasuki tubuhku

o, padamu padma
aku kesurupan cinta

bermacam mantra
melantun dari hatiku

tak juga pergi dariku

Malang, Mei 2010



Patah Hati

Waktu hantar pada getaran detak jantung menjemput kematian.
Simpan misteri bunga kamboja yang terselip pada detiknya.
Jejak-jejak luka tak dapat terhapus wangi aroma dupa.

Sakral membuka garis nasib pertautan hati mengambang pada tanya.
Mulai meneteskan gerimis darah.

Oh, asmaradana kutembangkan merdu melalui tubuh padma.
Hanya selintas lalu amblas.

Serupa waktu menjemput ajalnya.
Detaknya mendiami diriku dalam hampa.

Malang, Mei 2010



Luka-Luka Kepedihan

ketika waktu tersingkap
ku teguk arak pengobat luka

tak pernah ada sesal
ketika pedih mendera
sebab pedih adalah hidupku

jika pergi itu karenaku
tentu aku melepasmu
tapi kau memotong
benang di hatiku

bunga-bunga layu
dalam kamarku
kegelapan menebas tubuhku
tersudut dalam laci terkunci

bukankah segalanya telah ada
aku percaya siklus semesta
berputar pada porosnya
hanya engsel yang lepas
dapat semburat segalanya

tetapi aku masih di garis
garis kepedihan

luka waktu kepergian
luka rindu bunga layu
luka pedih hati mati
luka sajak
sajak luka
luka sajaku
sajak lukaku

Malang, 2010



Untuk Air Mata
:Echa

kau meneteskan air mata
aku melangkah ke mana
jika jejak kau hapus begitu saja

hujan sedari tadi
memelukku dalam kepasrahan
rerintik pilu menembus dada rinduku
memainkan denting tanya tentangmu

O, gelisahmu tak dapat aku tembus
pintu rumahmu kau tutup
sejak kapan itu?

aku hanya menelusuri petualanganmu
menangkap isyarat-isyarat ragu

kau hilang di jalan pulang
tak ada sisa aku kenang

senja di tubuh padma

aku tahu aroma bibirmu
kental dengan waktu

ketika resah menaungi sukmaku
sel sadarku berselendang rindu

dimanakah aku?
hilang dalam karung ragu

jejak tertinggal
pedang memenggal

di lekuk tubuh Padma
tergambar risalah kata
menafsir makna luka
senja begitu kuasa

Jogja, 2010



Terlewat Waktu Aku Merindu

Demi waktu
Pemilik pena
Penguasa:
Malam - siang
Pagi - senja

Mencumbumu:
menyetubuhi
dengan sungguh

Tersapu tak menentu
dalam kelenaan rindu

Aku selalu keliru
mempertanyakan tubuhku
meletakkan dalam detak-detiknya

Hingga penggalan membelah dadaku
tak mampu menjumpaimu

Sesadar dalam ragu
ingin kembali memelukmu
hangat mesra meretas beku

Mengoreskan rindu dengan penamu
melewati waktu dalam genggaman cumbu.

Malang, 2010



Aku Hendak Merangkai Kamboja
pada Gadis Meninggalkan Luka


aku tak hendak menanam mawar
tapi ingin merankai kamboja

pada gadis menyayat luka
harummu serupa dupa

berkali-kali mandi kembang tuju rupa
tak juga sempurna

oh, dimanakah kembang kamboja
biar kurangkai menjadi kalung surga
sebab sepi selalu menyapa

pada kenangan selalu berpendar
menunggui hari-hari rindu
nyanyikan lagu perdu

menggarami sobekan luka
rangkaian kambojaku tertata

Malang, 2010



Gadis di Balik Pintu Berkaca Bening
Dan Aku yang Mebuka Jendela Berselambu Biru

:tetangga rumah

di balik pintu
berkaca bening rumahmu
kau belai rambutmu
menghitung helai demi helai
berapakah jumlahnya?

kau menerbangkan burung kertas biru
masuk di jendela rumahku
aku menangkap dengan terburu-buru

lahan-berlahan aku buka
tak ada goresan pena membilang makna

serupa mataku
tak lelah mengintip gelisahmu
dari satu jengkal tanganku membuka selambu biru

rumahku-rumahmu saling bertatap-tatapan
tapi mata kita tak saling bertautan
bukankah hidup untuk saling bersapaan

aku pun mengikuti hari
menghitung pagi
membuka jendela lagi
memandangmu kembali
berharap mataku-matamu saling menepi

derat bunyi pintu dari rumahmu
aku cepat membuka jendela berselambu biru
kembali aku tatap lagi

ah, teryata ibumu
senyum-senyum sambil menatapku

Malang, Januari 2010



Membaca Garis Retakan Resahmu di Bibirku
;E.R

Pada kelelahanmu menapaki jalan bukit pikir resah. Aku melihat senyum mengulum tak pernah kalah. Hati membaca waktu untuk merabah. Menanggalkan gerimis tubuh dengan mesra.

Kau menyimpan sejarah luka dalam buku harian di lemari berdinding besi tergaris pecah. Tak berharap siapanpun akan membongkar kisah. Kau tanam bunga melati putih tangkainya patah.

Aku bertanya padamu, maukah meletakkan beban di kepalamu pada pundaku? Sambil membisu kau menulis retakan nasib di bibirku. Seribu bahasa tak ada aksara untuk mengungkap puisi-syairmu yang bergemuru tentang rindu.



Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir

pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga

kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis

ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.

belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.

ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.



isyarat mimpi

sepasang ikan hampir mati di air keruh. kau mengambilnya. kau memasukkan dalam aquarium.

berbinar sisik-sisiknya memancarkan cahaya saling berkejaran dan berlompatan

aku memandang bayangan ikan dalam cermin. tampak aku-kau saling berduaan dalam cincin.

isyaratnya. harap aku temui bunga tidur harum mewangi

Malang, Juli 2010



Coklat Hati

hatimu berrasa coklat
menyimpan tanya
tak pernah aku mengerti

“kau bawa pergi
juga hatiku?”

“harapku kau di sini
memasak kasih
rasa coklat hati”

Malang, Juli 2010



kau menaiki dokar

suara sepatu kuda
menarik jejakku
melangkah pergi

kau menaikinya
dengan hati resah

sedang aku
masih menunggu
dalam sunyi
riang bernyanyi
mengharap kau kembali
dengan dokar yang kau naiki
membawa kata pasti
untuk aku pahami

Malang, Juli 2010



dalam tas warna hati

dalam tas warna hati
tersimpan kasih

aku meletakkan
rasa rindu di dalamnya
biar kau tenteng
dalam hari-harimu
dengan senyum
berseri-seri

Malang, Juli 2010



Menanam Coklat

menanam sebiji coklat di ranum bibirmu.

bila musim rindu aku pandangi.

nampak indah di bibirmu.

aku menunggu musim masak
kan kucetak dengan bentuk mata
agar nampak bila dipandang rasa.

:rinduku menjelma coklat mata beraromah darah.

Malang, 2010

Selasa, 27 Juli 2010

KOSONG

pada mulanya adalah hamparan tak bertuan
berpendar-pendar cahaya kemerah-merahan
menerangi segala kehampaan.

kekosongan berubah menjadi ke-ada-an.
ada yang menisbihkan kekosongan.
tetapi tetap saja

“kosong”
pikirnya.

sebab rumus matematika lekat padanya adalah pengurangan,
tak ada lain yang diambil dari rumus matematika hanyalah pengurangan.
seperti halnya ada dikurangi ada maka kosong jadinya.

ia mulai berjalan pada hamparan kekosongan hendak menghampiri cahaya yang berpendar-pendar di tengah padang yang ia bilang kosong.

herannya ia selalu bertanya tentang kekosongan.

"apakah kosong?"
tak pernah menemui jawab sebab yang ia tahu sebenarnya adalah kosong.

“ah, lagi-lagi kosong”

ungkapnya sambil membawa beberapa lembar kertas putih dan bolpoin yang pernah ia curi dari pejalan kaki ketika ia lewat mengambil minum di dekatnya.

saat mencuri kertas dan bolpoin ia berfikir juga kosong pada jejak yang melintas.
dengan sadar dan tanpa harus menguntit atau mengendap-endap biar tidak ketahuan pemiliknya. sembari melangkahkan kaki langsung ia mengambil dan melanjutkan jalannya.

dalam perjalanannya bertemu denganku.

“apa yang kau bawa”
tanyaku.

“aku tak membawa apa-apa”
jawabnya.

“aneh”
gumamku.

“apanya yang aneh”
herannya.

“kamu memegang sesuatu, tapi bilang tidak bawah apa-apa! itu aneh”
bantahku.

ia melihat dari kaki sampai ujung rambutnya.

“mana?”
tanyanya padaku.

“lihatlah lagi tubuhmu”
aku berbalik tanya.

“kosong”
jawabnya dengan tegas.

“apakah, kau ada dengan tiba-tiba?”
tanyaku lagi dengan nada kesal.

“iya”
jawabnya.

dengan tanpa beban langkahnya gontai tak bertujuan melewati haparan kehampaan dan cahaya berpendar-pendar.

aku terdiam dalam tanya kekosongan.

Malang, Juli 2010

Selasa, 20 Juli 2010

Aku Lupa

tuhan,
aku lupa menulis sajak cinta
untuk kekasihku

dia pun pergi tanpa kata                                     

laut dalam hatinya mengering
tak  kudengar debur ombak

embun di  jiwanya tak menetes
terkubur dendam luka padaku

sajak cintaku terbakar  dalam ke alpaan!

tuhan,
ingin kuputar waktu
sebab alpaku

kan kutulis lagi
sajak cinta untuknya
sebelum kepergian
kian jauh dariku

kuharap senyumnya memercikkan cinta lagi
agar kau dapat kulihat pada wajahnya

malang, 2008

Sabtu, 17 Juli 2010

Di Garis Wajahmu

:isti

Di garis wajahmu tertulis kisah hidupku. Berlarian tak berarah. Lintasi beribu pertanyaan. Penjarahkan aku akan harapan.

Dulu waktu pertama memandang. Aku melihat cahaya menghangatkan: aku sedang kesepian.

Tertinggal harapan rapuh atas kepergiaan. Ziara tak pernah pulang. Bahkan menengok kampung halaman. Kini telah menua. Hampir saja melemah.

Aku masih berdiri walau kenangan telah mati. Menyirami dengan ketulusan. Sedang kau berziarah ke rumah Tuhan. Atas namaNya kau bentengi perbedaan.

Hampiri mimpi terjagaku. Wajahmu tak pernah hilang. Kau telah hapus dengan kerudung besarmu. Menutup masa lalu. Tuhan ada padamu. Begitu ujarmu.

Berdiriku di lintasan tunggu.
Tak enggan mati.
Menatap hari.
Serupa belati.
:aku ingin membunuh Tuhan di garis wajahmu.

Malang, April 2009

Metamoforsis Sepatu Lubang

Farfa mulai berlatih menari sebelum teman-temannya datang. Diputarnya musik dari ciptaan Mozart. Lincah kaki digerakkan, gemulai tangan dimainkan, menjaga keseimbangan tubuh dan membentuk gerakan-gerakan indah. Gadis-gadis seusianya mulai berdatangan, ada yang bersama orang tuanya, banyak diantar oleh pembantunya; orang yang dijadikan robot olehnya; bekerja sesuai perintah.

Tiba-tiba Farfa terjatuh, tetapi temannya yang menjatuhkan menuduh sebaliknya. Beradu mulut. Semua melihat. Tak ada yang membela. Sepatu lubang Farfa menjadi bahan tertawaan. “Hai, sepatu sudah tidak utuh masih saja kamu pakai. Itu yang membuat kau terpeleset dan jatuhmu menimpaku.” Begitu juga yang lain, semua menghina dan tak ada cela membela.

Farfa keluar dari tempat latihan menari. Berniat menjual sepatuhnya. Sampailah pada tukang sepatu yang menerima sepatu bekas untuk dibeli. Harganya tak mahal, kalau dibuat makan mungkin hanya bisa dua hari jika kebiasaan makannya dua kali sehari dipertahankan. Atau mungkin empat hari jika ingin mempertahankan dirinya serupa saat orang tuanya tak dapat penghasilan, yakni hanya sekali sehari.

Farfa pulang melewati pasar. Tepat di depan pasar ada seorang penjual pisau. Dia menawarkan pisau dengan harga tidak lebih dan tidak kurang dari uang yang diperoleh Farfa dengan menjual sepatunya. Farfa tanpa berfikir panjang, langsung menerima tawaran penjual pisau.

Entah angin apa yang membisiki. Farfa berhenti sedikit lama, berdiri memandang pisaunya. Farfa membalik langkahnya, berjalan dengan cepat. Farfa kembali ke tempat latihan menari. Tempat latihan yang diperolehnya tanpa membayar seperserpun karena kepandaiannya menari. Hanya saja ketika ada perlombaan Farfa harus ikut dan ketika memperoleh juara hadiah yang diperoleh menjadi hak tempat latihan menari.

Kini masuk dan ikut menari lagi. Farfa tahu betul ketika separuh jam latihan para pendamping berada diluar. Iringan Mozart dengan tempo cepat mendorong lompatan dan gerakan tangan Farfa mengikuti dengan cepat. Melahirkan teriakan dan tarian berdarah. Farfa menusuk bergantian teman-temannya yang menghina tadi. Semua memegang bekas tusukan, bercak darah di lantai tergaris dalam ruang tari. Farfa tertawa. Memejamkan mata saat sayatan pisau juga membelah urat nadi tangannya.

Malang, Januari 2010

http://www.sastra-indonesia.com/2010/03/metamoforsis-sepatu-lubang/

Kangen

pandang hari
dengan peluk keyakinan

jaga tubuh
agar tetap pada kendali

tiada mematai
kecuali pemilik diri

ringkih memanjat tebing
menjulang tinggi

senja berlabuh
tiba pada puncak pasrah

menikmati daya air suci
hapus dahaga sehari tadi
sehabis bersemedi

kerinduan aku tanam
sejak di ambang pagi
kini berpulang kembali

Malang, Maret 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Tangga Waktu

Masa Kanak
Adalah letak pondasi  
cermin di mana kini

Masa Muda
Adalah permenungan hati 
laku menambatkan cita-cinta

Masa Tua
Adalah petik bunga-bunga
tertanam dalam tangga masa

Malang, April 2010

Kamis, 15 Juli 2010

Cerpen: Surat dari Mei

AKU membaca surat yang kau kirim padaku seminggu yang lalu. Setelah lama kau tak ada kabarnya. Sempat waktu itu, aku bertanya pada semua kawanmu. Tetapi mereka diam tak memberi jawaban, di mana keberadaanmu.

Dua tahun kau menghilang tanpa jejak. Sehabis Aku meninggalkan kota tempat menyelesaikan kuliah. Pergi mengadu nasib di Ibu kota. Mencari pekerjaan demi memperbaiki hidup yang layak. Tapi aku tak tahan di Ibu kota, akhirnya aku putuskan untuk pulang kembali. Aku lebih suka di kota yang sudah lama aku singgahi, dan akan sering bertemu dengamu yakni kota Malang. Nama kota seperti nama nasibnya.

Membaca suratmu, penyesalanku kembali datang. Kenapa aku dulu harus pergi ke Ibu Kota, padahal kau sangat membutuhkanku. Aku merasa bersalah, meninggalkanmu sendirian tanpa kawan. Kau pendiam dan kritis dan tentu saja manis. Sehingga kawan-kawan sekerjamu takut berkawan denganmu atau sekedar mendekat kepadamu padahal mereka terpesona dengan kecantikanmu. Seperti aku, tetapi bukan hanya kecantikanmu juga sikap dan pendirianmu.

Terakhir kita bertemu. Kau bilang ada yang tidak beres di perusahaan, tempatmu bekerja.

"Kenapa gaji karyawan tidak sepadan dengan pendapatan perusahaan, ini jelas mereka menghisap para karyawan. Harusnya pemerintah ambil bagian dalam masalah ini, tetapi malah membela pemilik perusahaan. Atau memang takut, penanam modalnya akan kabur. Perusahaanku sudah dikuasai orang-orang asing." Wajahmu memerah padam ketika kau bercerita kepadaku, sambil kau mengepal-ngepalkan tangan. Kejengkelanmu memuncak.

"Bila ada masalah, bilang padaku. Tetapi harus ada data-data yang kuat. Kawan-kawanku banyak yang aktivis, mereka juga ada yang memperjuangkan hak-hak buruh. Lebih baik kau cari data-data untuk meperkuat pendapatmu" sambil aku menepuk punggungmu dan membelai rambut panjangmu.
"Hem... tidak salah kau menjadi kekasihku, tidak pernah makan bangku kampus. Tapi kau tahu itu teori Marx, tentang nilai lebih yang harus diperjuangkan sebab itu adalah hak buruh." Aku menenangkanmu untuk bertindak tidak gegabah dan berfikir jernih.

***
Surat yang kau kirim seminggu yang lalu, masih aku pandangi. Aku benar-benar menyesal. Atas kepergianku waktu itu. Aku berkali-kali baca pada halaman ke dua ─yang tak habis aku pikir─kau nekat sekali

" Mas, sudah dua tahun kurang satu minggu aku di penjara. Seminggu ketika Mas pergi ke Ibu Kota. Aku meprotes gaji yang tak adil. Aku mendapatkan data-data yang aku curi dari komputer bagian keuangan ketika aku kerja lembur. Membuatku menjadi geram tak tertahan. Aku tak inggat lagi nasehat Mas untuk membawa data tersebut ke teman-teman Mas yang aktivis buruh. Aku tak kuat Mas, melihat ketidakadilan itu. Apalagi buat karyawan kontrak yang sudah lama bekerja tak juga diangkat menjadi pkerja tetap. Sengaja aku tak pulang. Aku tidur di ruang iastirahat. Hingga pagi tiba dan kebetulan waktu itu ada rapat besar para steak holder perusahaanku. Aku masuk ruang rapat mereka dan berteriak-teriak. Anehnya teman-temanku tidak ada satupun yang membela aku. Mereka takut, kalau dikeluarkan dari perusahaanku. Sebab kau tahu kan Mas, mencari kerja sangatlah susah di Negeri ini".

Aku menghela nafas, betapa nekatnya dirimu.

"Tiba-tiba kepala perusahaan, memerintahkan untuk pulang seluruh karyawan. Tinggal aku sendiri yang tak pulang. Berharap mendapat jawaban dari pimpinan perusahaan. Tetapi, yang datang malah dua orang petugas polisi. Mereka menangkapku. katanya aku membuat ketidaknyamanan ditempat umum, merisaukan para karyawan yang lain."

Mei, air mataku menetes. Aku ternyata orang tolol, tak bisa berbuat apa-apa pada kekasihnya yang mengalami ketidakadilan. Kepadamu saja aku tidak bisa menolong, apalagi pada orang lain.

Benar-benar harus dipertanyakan pengabdianku pada mereka yang tidak dipihak oleh keadaan─politik, sosial, budaya dan agama.

Mei, sebenarnya aku ingin menjengukmu walau seminggu lagi kau pulang. tapi kalimat dalam suratmu tidak mengijinkan aku mengunjungimu. Rinduku yang selama ini tak tahu jalan kini ada cahaya terang. Tapi bagaimana aku memulangkannya. Pintamu tak mengharap aku datang.

***

Sejak semasa kuliah, aku menjadi aktivis yang sering demontrasi. Menyuarakan hak-hak kemanusian. Itu yang menjadi awal perkenalanku dengamu. Saat demontrasi memperingati hari buruh. Tepatnya tanggal 1 Mei empat tahun yang lalu. Aku bersama kawan-kawanku Mahasiswa bergabung dengan kelompok buruh. Kau menghampiri aku sehabis aku berorasi
Kau terpukau dengan isi dan orasiku.
“Kau mirip Soekarno mas, saat dipodium tadi.” Sambil memberi minum air gelas meniral padaku.
Aku mengira kau anak kuliahan sama denganku. Sebab kau tak pakai kaos seragam kerja seperti buruh-buruh lain yang bergabung saat demonstarsi. Kau mengenalkan dirimu adalah buruh dari perusahaan terbesar di kota Malang. Kau membolos kerja padahal harusnya tidak libur. Kau juga mengeluh, teman sekerjamu tidak ada yang mau ikut menyuarakan hak buruh. Sebab ada peringatan dari perusahaan, barang siapa yang akan ikut merayakan hari buruh akan dapat surat peringatan. Jika sudah dapat peringatan tiga kali. maka akan dikeluarkan dari perusahaan.
Kau bilang sudah mendapat surat peringatan sekali dan masih ada dua kali lagi perusahaan dapat mengeluarkanmu. Sebentar lagi dua kali, kau tetap tersenyum, tak ada risau sama sekali. Kau berharap ketika hari buruh tiba, semua perusahaan meliburkan karyawannya atau mengadakan semacam refleksi atas perjuangan buruh. Sayangnya itu masih isapan jempol di perusahaanmu. Karena libur pada tanggal 1 Mei masih menjadi tuntutan untuk diperjuangakan, juga demontrasi kali ini.
Ketika itu aku bertanya tentang asal usulmu. Kau menjawab “Namaku Mei, lahir di bulan Mei pada tanggal 1, aku ulang tahun Mas”
Aku jabat tanganmu kedua kalinya sambil mengucapkan
“Selamat ulang tahun”.
Entah ada apa dengan kata Mei. Nama bulan juga namamu serasa ganjil mendengarnya.
Lalu kita istirahat sambil makan rujak di sebelah stadion sepak bola. Kau menaljutkan ceritamu “Aku anak desa yang mencoba mengadu nasib ke kota. Sebenarnya aku ingin kuliah. Tapi kandas di tengah jalan. Sebab orang tuaku tak punya biaya. Sebenarnya Aku berharapan ingin melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan hukum dan cita-citaku ingin mengabdi pada negara dengan memperbaiki hukum yang tak pernah jelas di negara kita ini, mas”.

***

Mei, sekarang hari kau pulang. Para buruh telah menantimu. “Kau harus bersuara dengan lantang di hadapan kawan-kawanmu” Gumamku ketika hendak pergi bersiap-siap demontrasi peringatan hari buruh. Aku masih inggat pesanmu dalam surat yang kau kirim padaku. Untuk menunggumu di kerumunan para buruh demontrasi. Kau akan datang dan melambaikan tangan.
Para buruh sudah berdatangan, para Mahasiswa sudah berdatangan. Orasi sudah bergantian. Suara-suara buruh kian menggelegar di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota. Aku terus memandang kesana kemari, tak juga ada lambaian tanganmu.
Demontrasi telah usai, kau tak tampak juga. Lalu aku putuskan untuk menjemputmu. Tapi, ketika sipir yang menjaga rumah tahanan aku tanya.
“Bu, apa ada tahanan yang keluar dari sini hari ini?” Lama tak ada jawaban, sambil mebuka-buka buku arsip Ibu sipir menjawab
“Tak ada mas”.
“Coba lihat lagi Bu, namanya Mei”
“Oh, Mei. Dia sudah keluar kemarin dan dijemput oleh mobil”
“Ibu tahu kemana perginya?”
“Kami di sini tidak tahu. Sebab setelah tahanan keluar dari sini, bukan urusan kami”

Langkahku gontai, sambil cepat-cepat aku ambil telepon genggam menghubungi kawan-kawanku untuk membongkar kasus Mei.
Kita datangi perusahaan Mei. Tapi hasilnya kosong. Sebab tak ada catatan dan data bahwa Mei pernah bekerja di perusahaan tersebut. Aku mayakinkan kawan-kawanku dengan surat yang aku simpan di kantongku. Tapi, itu bukan bukti yang cukup kuat. Adapun bukti kuat adalah teman-teman sekerja sama Mei. Tentu mereka juga akan bumkam. Sebab takut untuk di keluarkan dari perusahaan.

Mei, telah hilang seperti nasib Marsinah, Seperti Nasib Widji Thukul, seperti Nasib Kawan-kawanku yang tak tahu rimbahnya. Mereka menguap seperti asap, tak ada jejak. Serupa tuntutan buruh ketika berdemonstrasi, tak pernah ada jawab.

Malang, 21 April – 1 Mei 2010

Bulan Hujan

I
menanti rindu
pecah pada basah

Ia menyapa, saat senja berangsur sirna.
Meniupkan nafas pada rerumputan resah.
Sejenak saja, aku gembira.

Hirup rindu sesaji gersang bergemuru

II
pecah rindu
amarah memburuh

Atap kamarku marah padaku.
Melalui celah genting  pecah.
Basah sudah seluruh jiwa.

Hirup riak amarah basah bergemuru.

Malang, November 2009

Mencari Jejak Terakhir

Pada garam yang tersebar di pantaimu aku memunguti satu-persatu. Tanahmu tak lagi bisa membekukan asin di tanganku. Membuat jejak kakiku tertinggal di perjalanan ke rumahmu. 

Masihkah kau ingat waktu itu. Aku menari malambai memanggil namamu. Dari kejauhan. Ketika kau hendak mengubur jejakku di pantaimu.

Langit menghitam angin kencang. Meniupmu ke tepi laut yang tak asin lagi. Sebab, rasa asinnya. Telah aku telan semuanya. Tak ada lambaian tanganmu, karna kau sibuk mengubur jejakku dengan air laut yang kau ambil dari dasarnya.

Sudahkah kau tahu, di mana letak jejak terakhirku?

Kau masih sibuk mencarinya. Bersamaan dengan petir, kau ambil  dan hujan menderu. Kau tertawa tak pernah kembali. Sehabis kau menuliskan pesan di pasir tentang jejak terakhirku. 

Aku mengunyah asin garam laut dari pantaimu.

Malang, 2009

mitos jalanan

perjalanan panjang
melewati perbukitan 
terlempar ke lembah
lewati padang pasir.
kehausan.

cahaya kebiru-biruan
berlarian
menggiring anak-anak dungu perkotaan.
mejadi saksi kemlaratan
ditiupkan jilatan naga merah
menyala-nyala.

iblis berpesta pora
bersetubuh di ruang mewah
dengan para naga.

anak-anak berhujan-hujan
menyiram api sisa naga raja
menyemburkan darah pada
dada di jalanan.

apa nyata atau khayalan
begitulah adanya.
perjalanan:
tapak-tapak kaki
tanda untuk dimengerti.

malang, desember 2009

Cerpen: Surat Terakhir di Almari

Semalaman Ia tak pulang ke rumah. Tidak biasanya menginap di luar. Biasanya pamit dan memberi tahu jika ada kepentingan di luar rumah─ bila tak pulang. Anaknya juga bertanya ke mana Bapaknya tak kelihatan seharian. Sebab ketika Ia tak pulang, tidak lupa menelpon anaknya, sekedar tanya kabar dan menanyakan sudah makan atau belum. Aku semakin khawatir saja, apalagi tadi sore ada telphon misterius, menanyakan suamiku di mana, aku tanya siapa namanya tidak menjawab. Semakin ngotot saja, padahal sudah aku bilang Ia tidak di rumah. Di akhir telphonnya dia mengunakan ancaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, Rahma sudah tidur, tak betah menahan kantuk untuk menunggu Bapaknya pulang. Aku semakin merinding saja, angin di luar kencang sekali menambah keheningan malam semakin menakutkan.

Bunyi dau-daun bergesekan, tak tahan aku mengikuti kesepian ini. Nanti kalau ada apa-apa, yang aku khawatirkan anakku. Tetangga juga tak lagi di rumah, mereka berpamitan untuk pulang kampung menjenguk keluarganya. Mereka adalah tentangga satu-satunya. Rumahku memang kota tapi tepatnya di pinggiran, beberapa rumah yang dulu berdiri kini telah raib. Alasan tidak tertib, datang satu truk orang berpakaian seragam. Membongkar paksa rumah-rumah tersebut. Menjadi keheranku, kenapa rumahku tidak digusur, serta rumah di sebelahku. Banyak yang bilang itu semua karena suamiku. Sampai sekarang aku belum tahu betul, kenapa suamiku ditakuti oleh pemerintah daerah ini. Pernah suatu hari aku bertanya, tapi tak ada jawan yang jelas. Malahan Ia berbalik tanya "Kata siapa?" Akupun menghentikan pertanyaanku dengan jengkel.

Kesepianku purna dan ketakutanku menimbul dalam kesadaran. Aku melihat almari kecil yang tidak pernah aku buka. Almari itu adalah milik suamiku, tapi kenapa membuka. Dengan langkah sedikit terburu kakiku mendekat ke almari tersebut. Tidak ada apa-apa, hanya kertas-kertas yang sudah kusam dan map-map sepertinya berisi dokumen-dokumen penting. Aku mulai membuka berlahan-lahan. Satu lembar, aku menatanya supaya rapi. Isinya hanya keliping-keliping berita dari media massa tentang pengusuran rumah,  pengusuran pedakang kaki lima dan kasus-kasus pejabat kota ini.

Aku mulai membuka, di map yang terakhir. Tertumpuk di almari suamiku. Foto-foto kawan lamanya yang sering singgah kemari, tetapi aneh di foto yang terlipat separuh. Aku membukanya berlahan, sebab agak menempel. Kalau dibuka dengan kasar pasti gambarnya rusak. Orang yang tidak asing bagiku.

Ketukan pintu membuat aku lekas-lekas memngembalikan dengan baik agar seperti semula dan lekas-lekas aku menuju pintu. Tetapi aku tahan sebentar, kalau saja bukan suamiku. Bulu-buluku mulai menegang, aku ketakutan. Tetapi semua aku tahan, korden aku pegang, dan aku mengesernya berlahan-lahan supaya dapat terlihat siapa di depan pintu yang tadi mengetuk. Kaget bukan kepalang, darah melumuri baju putih kesayangannya. Aku hafal betul dari motif garis-garis hitam di bagian lengannya. Mataku gelap, serasa tak mungkin semua ini terjadi. Sebilah pisau masih menancap tepat di perutnya. Aku menahanan diri untuk tak jatuh. Sekuat tenaga aku tarik tubuhnya masuk kedalam rumah. Bau anyir darahnya, membuat ingin muntah.

Segalanya aku kuatkan, demi suamiku yang tercinta. Kegelapan dan keinginan muntah tiba-tiba sirnah. Aku ke dapur mengambil air hangat yang biasa aku sediakan untuk minum kopinya. Kebetulan masih ada sisa alkohol dan kain kasa, sisa buat anakku yang sebulan lalu habis jatuh terpeleset di depan rumah. Bergegas aku membuka bajunya dan mebersihkan darah serta berlahan mencabut pisau yang menancap di perutnya, untung saja tidak dalam batang pisau masuk ke perutnya. Sepertinya Ia menahan dengan tangannya. Itu terlihat dari sayatan pisau membelah tipis di kedua telapak tangannya.

Dengan berlahan mulai ku basuh dengan air hangat dan member alkohol agar tidak infeksi. Ia mulai sadar dengan mengerang kesakitan. Sambil memanggil namaku "Nita.. kaukah itu"

"Sudah jangan banyak bicara, kita harus ke rumah sakit, sehabis aku membersikan seluruh darah yang menempel di tubuhmu. Untuk sementara aku perban dulu, agar darahnya tidak keluar terus. Kau mulai kehabisan darah"

Ia tahu apa yang menjadi harapanku, sebelum anakku bangun. Aku menelpon taksi untuk membawanya kerumah sakit. Sesampai rumah sakit langsung aku mendaftar dan para perawat langsung menuju ruang operasi. Suamiku diopersi kecil, membersihkan luka bekas tusukan. Lalu dokter menjahitnya. Sehabis semua selesai dan obat-obatnya sudah aku beli, lansung aku pulang. Takut anakku bangun dan tidak ada siapa-siapa dirumah.

Azdan subuh berkumandang dari masjis besar yang terletak 2 kilo meter dari rumahmu. Suamiku telah rebah, sepertinya Ia lelah sekali.

Sebelum memejamkan mata, Ia berbisik. “Nit, kamu dan Rahma harus meninggalkan rumah ini. Bair aku di sini sendiri. pergilah ke rumah Ibu di kampung”. Sengaja aku tak mau membalas bisikannya. Hanya melihatnya dengan rasa kasihan dan penarasan.


Anakku bangun. Ia lekas mandi. Seperti biasanya. Aku melihat anakku mewarisi karakter Bapaknya. Mandiri, tak mau menyerah. Aku suka tetapi kadang juga khawatir. Sambil menunggu anakku yang semata wayang mandi. Aku kembali melihat isi lemari suamiku. Ada amplok dan surat. Kalau melihat dari warna putihnya masih baru. Aku mengambilnya. Berlahan membuka dan membaca.

“Yanto, cepat tinggalkan rumahmu. Kita sedang di kejar-kejar orang suruan Wali Kota. Mereka berbahaya. Gabungan polisi, militer dan preman. Ini tidak seperti biasanya. Kita sudah tidak punya perlingdungan lagi. Sehabis Pak Marlan dimasukkan penjara. Kita juga tidak tahu. Tepatnya di penjara sebelah mana. Sehabis Ia di tuduh membunuh Pak Zaki, rekannya sendiri yang vokal menyuarakan ketidakadilan di Ibu Kota Alasan penangkapannya adalah kasus rebutan perempuan. Memang semua tak masuk akal.

Kau harus secepatnya. Sesampai surat ini kau baca. Dalam waktu 24 jam kau harus pergi sejauh-jauhnya.”

Aku bingung, dan kalang kabut. Sampai di tengah-tengah isi surat dari Yudi. Kawan yang biasa kemari ketika tengah malam.

Terdengar di luar suara dobrakan pintu. Aku lari mencari anakku. Tetapi pistol menodong kepalaku. “Serahkan berkas-berkas suamimu” dengan wajah garang 5 orang menatapku dengan tajam. Sebagian rambutnya cepak dan sebagian lagi berambut panjang.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Entah berapa orang yang masuk rumahku. Aku terus berfikir, anakku, suamiku tak ada suaranya.

Semua berkas-berkas suamiku di bawah. 
Tiba-tiba terdengar suara 
“ceps.. ceps..ceps” darahku keluar. 
Aku tak bisa berteriak. 
Mulutku dibungkam. 
“Suamiku... Anakku....
Mas Yanto... Rahma....”


Malang, 2009-2010

Rabu, 14 Juli 2010

Esai: Kapitalisme Sebagai Sitem Tanda: pembacaan di era kapitalisme purna

Tak bisa memungkiri, kapitalisme telah menghegemoni di mana-mana. Mempertukarkan tanda untuk dikonsumsi. Tanda yang melahirkan sistem makna. Dalam kajian sturuturalisme, dunia adalah rangakian strukktur berupa tanda.Yakni tanda independen ataupun hasil buatan manusia. Tanda dalam kapitalisme telah direkayasa oleh poros maskulinitas. Hingga tanda sebagai rangkaian struktur atau makna, memiliki kedirian sesuatu atas identitas sesuatu.
Rangakaian struktur kapitalisme adalah modal sebagai tanda dan manusia penanda. Hingga seberapa mampu manusia mengharuskan atau seberapa mampu mengakses hal material dalam nominasi hedonisme. Misal: informasi--sistem--modal--
informasi—modal.

Modal bukanlah kepentingan produsen tetapi modal berputar dalam dirinya sendiri dan terus berputar (perputaran abtrak). Modal tidak ada yang menguasai, modal tidak bertuan. Manusia tidak bisa menentukan modal akan ke mana (modal->produses->modal).

Dalam hal peralihan modal tidak akan terlihat pretensi untuk mengeklpoitasi. Kasus ini dapat kita amanti dalam negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kapitalisme mencengkram tanpa pretensi karena telah dibantu adanya MNCs, yang terus mengeklpoitasi negara dunia ketiga atau negara berkembang.

Bagaiman dalam sistem makna (bahasa). Kita tidak pernah mengenal untung rugi lagi tetapi pereduksian. Makna yang dikembangkan manusia telah banyak mengalami pereduksian. Hal tersebut karena pengaruh faktor antroposentrisme, faham yang keluar dari ranah materalisme. Yakni manusia menjadi subyek punya kewenangan mutlak dalam penafsiran obyek. Sehingga apapun di luar manusia mampu di kontrol.

Karakter kapitalisme cenderung maskulin atau mendominasi (pallogo sentris). Sehingga kepitalisme diselimuti lapisan makna laki-laki. Seorang perempuan harus memiliki nilai jual tinggi dalam pasar sedangkan pasar sifatnya maskulin.

Demikian juga dengan bahasa memliki legitimasi menjadi alat kapitalisme untuk menghegemoni. contoh: Growth yakni negera memiliki aset tinggi maka negara dikatakan berkembang.

Sedang logika yang berjalan adalah logika biner. Untuk mencapai makna harus menghilangkan lain atau jadi yang asing. Hal tersebut adalah zero sumgame (permainan saling meniadakan) dapat di amati dalam budaya juga politik dan sosial. Melewati peran lembaga-lembaga sosial bentukan kapitalisme yang memiliki tujuan merubah prilaku. Dalam opresionalnya cenderung empiris dan prakmatis.
Modal menjadi poros bergerak keranah mana saja dan tak terlihat. Di produksi terus menerus melewati tanda-tanda yang tesebar, mempertukarkan makna.

Puisi Cintaku Mati

bertahun-tahun aku menunggumu di bukit sepi
ditemani gelisah para pujangga dengan puisi-puisi
mabuk angur do’a cinta kutenggak sendiri

prosesi hidup memang lain
tak seperti apa yang kita fikirkan, mungkin
(jalan Tuhan pun tak terhitung jumlahnya)

di persimpangan jalan, hendak kuambil air minum dari sumur abadi
jumpai kau penuh keanggunan hendak berjalan ke arahku

seketika itu kau tertahan
berjuta tanya akan ku
sedang dimabuk cinta

kau mendekat
lembut tanganmu
hendak menyentuh keningku
tertahan dalam jalan anganmu
tak mampu temukan di jalan fikirku

(untuk apa kau datang kemari kalau kau kembali lagi)

persimpangan jalan menjadi catatan sejarah cintaku yang mati dibuatnya
hati telah merekat melebur menjadi partikel-partikel kecil lalu mengumpal menjadi satu
tertahan di tengorokan hendak melangkah pada jalan akal

aku buntu dibuatnya

kemabukanku menjadi sia-sia
sebab tak sampai melayang-layang
menggapai kitab keabadian sejarah cinta

jalan lain kau kehendaki
kubunuh waktu di bukit ini
bersama pujangga
dengan puisi cintannya

Zaratustra memanggil dan memberikan kado padaku
berlahan lembaran-lembaran puisi cintaku berguguran
terbang menembus celah-celah bebatuan
hinggap di pekuburan lalu mati di hutan

Malang, Desember 2008