Selasa, 27 Juli 2010

KOSONG

pada mulanya adalah hamparan tak bertuan
berpendar-pendar cahaya kemerah-merahan
menerangi segala kehampaan.

kekosongan berubah menjadi ke-ada-an.
ada yang menisbihkan kekosongan.
tetapi tetap saja

“kosong”
pikirnya.

sebab rumus matematika lekat padanya adalah pengurangan,
tak ada lain yang diambil dari rumus matematika hanyalah pengurangan.
seperti halnya ada dikurangi ada maka kosong jadinya.

ia mulai berjalan pada hamparan kekosongan hendak menghampiri cahaya yang berpendar-pendar di tengah padang yang ia bilang kosong.

herannya ia selalu bertanya tentang kekosongan.

"apakah kosong?"
tak pernah menemui jawab sebab yang ia tahu sebenarnya adalah kosong.

“ah, lagi-lagi kosong”

ungkapnya sambil membawa beberapa lembar kertas putih dan bolpoin yang pernah ia curi dari pejalan kaki ketika ia lewat mengambil minum di dekatnya.

saat mencuri kertas dan bolpoin ia berfikir juga kosong pada jejak yang melintas.
dengan sadar dan tanpa harus menguntit atau mengendap-endap biar tidak ketahuan pemiliknya. sembari melangkahkan kaki langsung ia mengambil dan melanjutkan jalannya.

dalam perjalanannya bertemu denganku.

“apa yang kau bawa”
tanyaku.

“aku tak membawa apa-apa”
jawabnya.

“aneh”
gumamku.

“apanya yang aneh”
herannya.

“kamu memegang sesuatu, tapi bilang tidak bawah apa-apa! itu aneh”
bantahku.

ia melihat dari kaki sampai ujung rambutnya.

“mana?”
tanyanya padaku.

“lihatlah lagi tubuhmu”
aku berbalik tanya.

“kosong”
jawabnya dengan tegas.

“apakah, kau ada dengan tiba-tiba?”
tanyaku lagi dengan nada kesal.

“iya”
jawabnya.

dengan tanpa beban langkahnya gontai tak bertujuan melewati haparan kehampaan dan cahaya berpendar-pendar.

aku terdiam dalam tanya kekosongan.

Malang, Juli 2010

Selasa, 20 Juli 2010

Aku Lupa

tuhan,
aku lupa menulis sajak cinta
untuk kekasihku

dia pun pergi tanpa kata                                     

laut dalam hatinya mengering
tak  kudengar debur ombak

embun di  jiwanya tak menetes
terkubur dendam luka padaku

sajak cintaku terbakar  dalam ke alpaan!

tuhan,
ingin kuputar waktu
sebab alpaku

kan kutulis lagi
sajak cinta untuknya
sebelum kepergian
kian jauh dariku

kuharap senyumnya memercikkan cinta lagi
agar kau dapat kulihat pada wajahnya

malang, 2008

Sabtu, 17 Juli 2010

Di Garis Wajahmu

:isti

Di garis wajahmu tertulis kisah hidupku. Berlarian tak berarah. Lintasi beribu pertanyaan. Penjarahkan aku akan harapan.

Dulu waktu pertama memandang. Aku melihat cahaya menghangatkan: aku sedang kesepian.

Tertinggal harapan rapuh atas kepergiaan. Ziara tak pernah pulang. Bahkan menengok kampung halaman. Kini telah menua. Hampir saja melemah.

Aku masih berdiri walau kenangan telah mati. Menyirami dengan ketulusan. Sedang kau berziarah ke rumah Tuhan. Atas namaNya kau bentengi perbedaan.

Hampiri mimpi terjagaku. Wajahmu tak pernah hilang. Kau telah hapus dengan kerudung besarmu. Menutup masa lalu. Tuhan ada padamu. Begitu ujarmu.

Berdiriku di lintasan tunggu.
Tak enggan mati.
Menatap hari.
Serupa belati.
:aku ingin membunuh Tuhan di garis wajahmu.

Malang, April 2009

Metamoforsis Sepatu Lubang

Farfa mulai berlatih menari sebelum teman-temannya datang. Diputarnya musik dari ciptaan Mozart. Lincah kaki digerakkan, gemulai tangan dimainkan, menjaga keseimbangan tubuh dan membentuk gerakan-gerakan indah. Gadis-gadis seusianya mulai berdatangan, ada yang bersama orang tuanya, banyak diantar oleh pembantunya; orang yang dijadikan robot olehnya; bekerja sesuai perintah.

Tiba-tiba Farfa terjatuh, tetapi temannya yang menjatuhkan menuduh sebaliknya. Beradu mulut. Semua melihat. Tak ada yang membela. Sepatu lubang Farfa menjadi bahan tertawaan. “Hai, sepatu sudah tidak utuh masih saja kamu pakai. Itu yang membuat kau terpeleset dan jatuhmu menimpaku.” Begitu juga yang lain, semua menghina dan tak ada cela membela.

Farfa keluar dari tempat latihan menari. Berniat menjual sepatuhnya. Sampailah pada tukang sepatu yang menerima sepatu bekas untuk dibeli. Harganya tak mahal, kalau dibuat makan mungkin hanya bisa dua hari jika kebiasaan makannya dua kali sehari dipertahankan. Atau mungkin empat hari jika ingin mempertahankan dirinya serupa saat orang tuanya tak dapat penghasilan, yakni hanya sekali sehari.

Farfa pulang melewati pasar. Tepat di depan pasar ada seorang penjual pisau. Dia menawarkan pisau dengan harga tidak lebih dan tidak kurang dari uang yang diperoleh Farfa dengan menjual sepatunya. Farfa tanpa berfikir panjang, langsung menerima tawaran penjual pisau.

Entah angin apa yang membisiki. Farfa berhenti sedikit lama, berdiri memandang pisaunya. Farfa membalik langkahnya, berjalan dengan cepat. Farfa kembali ke tempat latihan menari. Tempat latihan yang diperolehnya tanpa membayar seperserpun karena kepandaiannya menari. Hanya saja ketika ada perlombaan Farfa harus ikut dan ketika memperoleh juara hadiah yang diperoleh menjadi hak tempat latihan menari.

Kini masuk dan ikut menari lagi. Farfa tahu betul ketika separuh jam latihan para pendamping berada diluar. Iringan Mozart dengan tempo cepat mendorong lompatan dan gerakan tangan Farfa mengikuti dengan cepat. Melahirkan teriakan dan tarian berdarah. Farfa menusuk bergantian teman-temannya yang menghina tadi. Semua memegang bekas tusukan, bercak darah di lantai tergaris dalam ruang tari. Farfa tertawa. Memejamkan mata saat sayatan pisau juga membelah urat nadi tangannya.

Malang, Januari 2010

http://www.sastra-indonesia.com/2010/03/metamoforsis-sepatu-lubang/

Kangen

pandang hari
dengan peluk keyakinan

jaga tubuh
agar tetap pada kendali

tiada mematai
kecuali pemilik diri

ringkih memanjat tebing
menjulang tinggi

senja berlabuh
tiba pada puncak pasrah

menikmati daya air suci
hapus dahaga sehari tadi
sehabis bersemedi

kerinduan aku tanam
sejak di ambang pagi
kini berpulang kembali

Malang, Maret 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Tangga Waktu

Masa Kanak
Adalah letak pondasi  
cermin di mana kini

Masa Muda
Adalah permenungan hati 
laku menambatkan cita-cinta

Masa Tua
Adalah petik bunga-bunga
tertanam dalam tangga masa

Malang, April 2010

Kamis, 15 Juli 2010

Cerpen: Surat dari Mei

AKU membaca surat yang kau kirim padaku seminggu yang lalu. Setelah lama kau tak ada kabarnya. Sempat waktu itu, aku bertanya pada semua kawanmu. Tetapi mereka diam tak memberi jawaban, di mana keberadaanmu.

Dua tahun kau menghilang tanpa jejak. Sehabis Aku meninggalkan kota tempat menyelesaikan kuliah. Pergi mengadu nasib di Ibu kota. Mencari pekerjaan demi memperbaiki hidup yang layak. Tapi aku tak tahan di Ibu kota, akhirnya aku putuskan untuk pulang kembali. Aku lebih suka di kota yang sudah lama aku singgahi, dan akan sering bertemu dengamu yakni kota Malang. Nama kota seperti nama nasibnya.

Membaca suratmu, penyesalanku kembali datang. Kenapa aku dulu harus pergi ke Ibu Kota, padahal kau sangat membutuhkanku. Aku merasa bersalah, meninggalkanmu sendirian tanpa kawan. Kau pendiam dan kritis dan tentu saja manis. Sehingga kawan-kawan sekerjamu takut berkawan denganmu atau sekedar mendekat kepadamu padahal mereka terpesona dengan kecantikanmu. Seperti aku, tetapi bukan hanya kecantikanmu juga sikap dan pendirianmu.

Terakhir kita bertemu. Kau bilang ada yang tidak beres di perusahaan, tempatmu bekerja.

"Kenapa gaji karyawan tidak sepadan dengan pendapatan perusahaan, ini jelas mereka menghisap para karyawan. Harusnya pemerintah ambil bagian dalam masalah ini, tetapi malah membela pemilik perusahaan. Atau memang takut, penanam modalnya akan kabur. Perusahaanku sudah dikuasai orang-orang asing." Wajahmu memerah padam ketika kau bercerita kepadaku, sambil kau mengepal-ngepalkan tangan. Kejengkelanmu memuncak.

"Bila ada masalah, bilang padaku. Tetapi harus ada data-data yang kuat. Kawan-kawanku banyak yang aktivis, mereka juga ada yang memperjuangkan hak-hak buruh. Lebih baik kau cari data-data untuk meperkuat pendapatmu" sambil aku menepuk punggungmu dan membelai rambut panjangmu.
"Hem... tidak salah kau menjadi kekasihku, tidak pernah makan bangku kampus. Tapi kau tahu itu teori Marx, tentang nilai lebih yang harus diperjuangkan sebab itu adalah hak buruh." Aku menenangkanmu untuk bertindak tidak gegabah dan berfikir jernih.

***
Surat yang kau kirim seminggu yang lalu, masih aku pandangi. Aku benar-benar menyesal. Atas kepergianku waktu itu. Aku berkali-kali baca pada halaman ke dua ─yang tak habis aku pikir─kau nekat sekali

" Mas, sudah dua tahun kurang satu minggu aku di penjara. Seminggu ketika Mas pergi ke Ibu Kota. Aku meprotes gaji yang tak adil. Aku mendapatkan data-data yang aku curi dari komputer bagian keuangan ketika aku kerja lembur. Membuatku menjadi geram tak tertahan. Aku tak inggat lagi nasehat Mas untuk membawa data tersebut ke teman-teman Mas yang aktivis buruh. Aku tak kuat Mas, melihat ketidakadilan itu. Apalagi buat karyawan kontrak yang sudah lama bekerja tak juga diangkat menjadi pkerja tetap. Sengaja aku tak pulang. Aku tidur di ruang iastirahat. Hingga pagi tiba dan kebetulan waktu itu ada rapat besar para steak holder perusahaanku. Aku masuk ruang rapat mereka dan berteriak-teriak. Anehnya teman-temanku tidak ada satupun yang membela aku. Mereka takut, kalau dikeluarkan dari perusahaanku. Sebab kau tahu kan Mas, mencari kerja sangatlah susah di Negeri ini".

Aku menghela nafas, betapa nekatnya dirimu.

"Tiba-tiba kepala perusahaan, memerintahkan untuk pulang seluruh karyawan. Tinggal aku sendiri yang tak pulang. Berharap mendapat jawaban dari pimpinan perusahaan. Tetapi, yang datang malah dua orang petugas polisi. Mereka menangkapku. katanya aku membuat ketidaknyamanan ditempat umum, merisaukan para karyawan yang lain."

Mei, air mataku menetes. Aku ternyata orang tolol, tak bisa berbuat apa-apa pada kekasihnya yang mengalami ketidakadilan. Kepadamu saja aku tidak bisa menolong, apalagi pada orang lain.

Benar-benar harus dipertanyakan pengabdianku pada mereka yang tidak dipihak oleh keadaan─politik, sosial, budaya dan agama.

Mei, sebenarnya aku ingin menjengukmu walau seminggu lagi kau pulang. tapi kalimat dalam suratmu tidak mengijinkan aku mengunjungimu. Rinduku yang selama ini tak tahu jalan kini ada cahaya terang. Tapi bagaimana aku memulangkannya. Pintamu tak mengharap aku datang.

***

Sejak semasa kuliah, aku menjadi aktivis yang sering demontrasi. Menyuarakan hak-hak kemanusian. Itu yang menjadi awal perkenalanku dengamu. Saat demontrasi memperingati hari buruh. Tepatnya tanggal 1 Mei empat tahun yang lalu. Aku bersama kawan-kawanku Mahasiswa bergabung dengan kelompok buruh. Kau menghampiri aku sehabis aku berorasi
Kau terpukau dengan isi dan orasiku.
“Kau mirip Soekarno mas, saat dipodium tadi.” Sambil memberi minum air gelas meniral padaku.
Aku mengira kau anak kuliahan sama denganku. Sebab kau tak pakai kaos seragam kerja seperti buruh-buruh lain yang bergabung saat demonstarsi. Kau mengenalkan dirimu adalah buruh dari perusahaan terbesar di kota Malang. Kau membolos kerja padahal harusnya tidak libur. Kau juga mengeluh, teman sekerjamu tidak ada yang mau ikut menyuarakan hak buruh. Sebab ada peringatan dari perusahaan, barang siapa yang akan ikut merayakan hari buruh akan dapat surat peringatan. Jika sudah dapat peringatan tiga kali. maka akan dikeluarkan dari perusahaan.
Kau bilang sudah mendapat surat peringatan sekali dan masih ada dua kali lagi perusahaan dapat mengeluarkanmu. Sebentar lagi dua kali, kau tetap tersenyum, tak ada risau sama sekali. Kau berharap ketika hari buruh tiba, semua perusahaan meliburkan karyawannya atau mengadakan semacam refleksi atas perjuangan buruh. Sayangnya itu masih isapan jempol di perusahaanmu. Karena libur pada tanggal 1 Mei masih menjadi tuntutan untuk diperjuangakan, juga demontrasi kali ini.
Ketika itu aku bertanya tentang asal usulmu. Kau menjawab “Namaku Mei, lahir di bulan Mei pada tanggal 1, aku ulang tahun Mas”
Aku jabat tanganmu kedua kalinya sambil mengucapkan
“Selamat ulang tahun”.
Entah ada apa dengan kata Mei. Nama bulan juga namamu serasa ganjil mendengarnya.
Lalu kita istirahat sambil makan rujak di sebelah stadion sepak bola. Kau menaljutkan ceritamu “Aku anak desa yang mencoba mengadu nasib ke kota. Sebenarnya aku ingin kuliah. Tapi kandas di tengah jalan. Sebab orang tuaku tak punya biaya. Sebenarnya Aku berharapan ingin melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan hukum dan cita-citaku ingin mengabdi pada negara dengan memperbaiki hukum yang tak pernah jelas di negara kita ini, mas”.

***

Mei, sekarang hari kau pulang. Para buruh telah menantimu. “Kau harus bersuara dengan lantang di hadapan kawan-kawanmu” Gumamku ketika hendak pergi bersiap-siap demontrasi peringatan hari buruh. Aku masih inggat pesanmu dalam surat yang kau kirim padaku. Untuk menunggumu di kerumunan para buruh demontrasi. Kau akan datang dan melambaikan tangan.
Para buruh sudah berdatangan, para Mahasiswa sudah berdatangan. Orasi sudah bergantian. Suara-suara buruh kian menggelegar di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kota. Aku terus memandang kesana kemari, tak juga ada lambaian tanganmu.
Demontrasi telah usai, kau tak tampak juga. Lalu aku putuskan untuk menjemputmu. Tapi, ketika sipir yang menjaga rumah tahanan aku tanya.
“Bu, apa ada tahanan yang keluar dari sini hari ini?” Lama tak ada jawaban, sambil mebuka-buka buku arsip Ibu sipir menjawab
“Tak ada mas”.
“Coba lihat lagi Bu, namanya Mei”
“Oh, Mei. Dia sudah keluar kemarin dan dijemput oleh mobil”
“Ibu tahu kemana perginya?”
“Kami di sini tidak tahu. Sebab setelah tahanan keluar dari sini, bukan urusan kami”

Langkahku gontai, sambil cepat-cepat aku ambil telepon genggam menghubungi kawan-kawanku untuk membongkar kasus Mei.
Kita datangi perusahaan Mei. Tapi hasilnya kosong. Sebab tak ada catatan dan data bahwa Mei pernah bekerja di perusahaan tersebut. Aku mayakinkan kawan-kawanku dengan surat yang aku simpan di kantongku. Tapi, itu bukan bukti yang cukup kuat. Adapun bukti kuat adalah teman-teman sekerja sama Mei. Tentu mereka juga akan bumkam. Sebab takut untuk di keluarkan dari perusahaan.

Mei, telah hilang seperti nasib Marsinah, Seperti Nasib Widji Thukul, seperti Nasib Kawan-kawanku yang tak tahu rimbahnya. Mereka menguap seperti asap, tak ada jejak. Serupa tuntutan buruh ketika berdemonstrasi, tak pernah ada jawab.

Malang, 21 April – 1 Mei 2010

Bulan Hujan

I
menanti rindu
pecah pada basah

Ia menyapa, saat senja berangsur sirna.
Meniupkan nafas pada rerumputan resah.
Sejenak saja, aku gembira.

Hirup rindu sesaji gersang bergemuru

II
pecah rindu
amarah memburuh

Atap kamarku marah padaku.
Melalui celah genting  pecah.
Basah sudah seluruh jiwa.

Hirup riak amarah basah bergemuru.

Malang, November 2009

Mencari Jejak Terakhir

Pada garam yang tersebar di pantaimu aku memunguti satu-persatu. Tanahmu tak lagi bisa membekukan asin di tanganku. Membuat jejak kakiku tertinggal di perjalanan ke rumahmu. 

Masihkah kau ingat waktu itu. Aku menari malambai memanggil namamu. Dari kejauhan. Ketika kau hendak mengubur jejakku di pantaimu.

Langit menghitam angin kencang. Meniupmu ke tepi laut yang tak asin lagi. Sebab, rasa asinnya. Telah aku telan semuanya. Tak ada lambaian tanganmu, karna kau sibuk mengubur jejakku dengan air laut yang kau ambil dari dasarnya.

Sudahkah kau tahu, di mana letak jejak terakhirku?

Kau masih sibuk mencarinya. Bersamaan dengan petir, kau ambil  dan hujan menderu. Kau tertawa tak pernah kembali. Sehabis kau menuliskan pesan di pasir tentang jejak terakhirku. 

Aku mengunyah asin garam laut dari pantaimu.

Malang, 2009

mitos jalanan

perjalanan panjang
melewati perbukitan 
terlempar ke lembah
lewati padang pasir.
kehausan.

cahaya kebiru-biruan
berlarian
menggiring anak-anak dungu perkotaan.
mejadi saksi kemlaratan
ditiupkan jilatan naga merah
menyala-nyala.

iblis berpesta pora
bersetubuh di ruang mewah
dengan para naga.

anak-anak berhujan-hujan
menyiram api sisa naga raja
menyemburkan darah pada
dada di jalanan.

apa nyata atau khayalan
begitulah adanya.
perjalanan:
tapak-tapak kaki
tanda untuk dimengerti.

malang, desember 2009

Cerpen: Surat Terakhir di Almari

Semalaman Ia tak pulang ke rumah. Tidak biasanya menginap di luar. Biasanya pamit dan memberi tahu jika ada kepentingan di luar rumah─ bila tak pulang. Anaknya juga bertanya ke mana Bapaknya tak kelihatan seharian. Sebab ketika Ia tak pulang, tidak lupa menelpon anaknya, sekedar tanya kabar dan menanyakan sudah makan atau belum. Aku semakin khawatir saja, apalagi tadi sore ada telphon misterius, menanyakan suamiku di mana, aku tanya siapa namanya tidak menjawab. Semakin ngotot saja, padahal sudah aku bilang Ia tidak di rumah. Di akhir telphonnya dia mengunakan ancaman.

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00, Rahma sudah tidur, tak betah menahan kantuk untuk menunggu Bapaknya pulang. Aku semakin merinding saja, angin di luar kencang sekali menambah keheningan malam semakin menakutkan.

Bunyi dau-daun bergesekan, tak tahan aku mengikuti kesepian ini. Nanti kalau ada apa-apa, yang aku khawatirkan anakku. Tetangga juga tak lagi di rumah, mereka berpamitan untuk pulang kampung menjenguk keluarganya. Mereka adalah tentangga satu-satunya. Rumahku memang kota tapi tepatnya di pinggiran, beberapa rumah yang dulu berdiri kini telah raib. Alasan tidak tertib, datang satu truk orang berpakaian seragam. Membongkar paksa rumah-rumah tersebut. Menjadi keheranku, kenapa rumahku tidak digusur, serta rumah di sebelahku. Banyak yang bilang itu semua karena suamiku. Sampai sekarang aku belum tahu betul, kenapa suamiku ditakuti oleh pemerintah daerah ini. Pernah suatu hari aku bertanya, tapi tak ada jawan yang jelas. Malahan Ia berbalik tanya "Kata siapa?" Akupun menghentikan pertanyaanku dengan jengkel.

Kesepianku purna dan ketakutanku menimbul dalam kesadaran. Aku melihat almari kecil yang tidak pernah aku buka. Almari itu adalah milik suamiku, tapi kenapa membuka. Dengan langkah sedikit terburu kakiku mendekat ke almari tersebut. Tidak ada apa-apa, hanya kertas-kertas yang sudah kusam dan map-map sepertinya berisi dokumen-dokumen penting. Aku mulai membuka berlahan-lahan. Satu lembar, aku menatanya supaya rapi. Isinya hanya keliping-keliping berita dari media massa tentang pengusuran rumah,  pengusuran pedakang kaki lima dan kasus-kasus pejabat kota ini.

Aku mulai membuka, di map yang terakhir. Tertumpuk di almari suamiku. Foto-foto kawan lamanya yang sering singgah kemari, tetapi aneh di foto yang terlipat separuh. Aku membukanya berlahan, sebab agak menempel. Kalau dibuka dengan kasar pasti gambarnya rusak. Orang yang tidak asing bagiku.

Ketukan pintu membuat aku lekas-lekas memngembalikan dengan baik agar seperti semula dan lekas-lekas aku menuju pintu. Tetapi aku tahan sebentar, kalau saja bukan suamiku. Bulu-buluku mulai menegang, aku ketakutan. Tetapi semua aku tahan, korden aku pegang, dan aku mengesernya berlahan-lahan supaya dapat terlihat siapa di depan pintu yang tadi mengetuk. Kaget bukan kepalang, darah melumuri baju putih kesayangannya. Aku hafal betul dari motif garis-garis hitam di bagian lengannya. Mataku gelap, serasa tak mungkin semua ini terjadi. Sebilah pisau masih menancap tepat di perutnya. Aku menahanan diri untuk tak jatuh. Sekuat tenaga aku tarik tubuhnya masuk kedalam rumah. Bau anyir darahnya, membuat ingin muntah.

Segalanya aku kuatkan, demi suamiku yang tercinta. Kegelapan dan keinginan muntah tiba-tiba sirnah. Aku ke dapur mengambil air hangat yang biasa aku sediakan untuk minum kopinya. Kebetulan masih ada sisa alkohol dan kain kasa, sisa buat anakku yang sebulan lalu habis jatuh terpeleset di depan rumah. Bergegas aku membuka bajunya dan mebersihkan darah serta berlahan mencabut pisau yang menancap di perutnya, untung saja tidak dalam batang pisau masuk ke perutnya. Sepertinya Ia menahan dengan tangannya. Itu terlihat dari sayatan pisau membelah tipis di kedua telapak tangannya.

Dengan berlahan mulai ku basuh dengan air hangat dan member alkohol agar tidak infeksi. Ia mulai sadar dengan mengerang kesakitan. Sambil memanggil namaku "Nita.. kaukah itu"

"Sudah jangan banyak bicara, kita harus ke rumah sakit, sehabis aku membersikan seluruh darah yang menempel di tubuhmu. Untuk sementara aku perban dulu, agar darahnya tidak keluar terus. Kau mulai kehabisan darah"

Ia tahu apa yang menjadi harapanku, sebelum anakku bangun. Aku menelpon taksi untuk membawanya kerumah sakit. Sesampai rumah sakit langsung aku mendaftar dan para perawat langsung menuju ruang operasi. Suamiku diopersi kecil, membersihkan luka bekas tusukan. Lalu dokter menjahitnya. Sehabis semua selesai dan obat-obatnya sudah aku beli, lansung aku pulang. Takut anakku bangun dan tidak ada siapa-siapa dirumah.

Azdan subuh berkumandang dari masjis besar yang terletak 2 kilo meter dari rumahmu. Suamiku telah rebah, sepertinya Ia lelah sekali.

Sebelum memejamkan mata, Ia berbisik. “Nit, kamu dan Rahma harus meninggalkan rumah ini. Bair aku di sini sendiri. pergilah ke rumah Ibu di kampung”. Sengaja aku tak mau membalas bisikannya. Hanya melihatnya dengan rasa kasihan dan penarasan.


Anakku bangun. Ia lekas mandi. Seperti biasanya. Aku melihat anakku mewarisi karakter Bapaknya. Mandiri, tak mau menyerah. Aku suka tetapi kadang juga khawatir. Sambil menunggu anakku yang semata wayang mandi. Aku kembali melihat isi lemari suamiku. Ada amplok dan surat. Kalau melihat dari warna putihnya masih baru. Aku mengambilnya. Berlahan membuka dan membaca.

“Yanto, cepat tinggalkan rumahmu. Kita sedang di kejar-kejar orang suruan Wali Kota. Mereka berbahaya. Gabungan polisi, militer dan preman. Ini tidak seperti biasanya. Kita sudah tidak punya perlingdungan lagi. Sehabis Pak Marlan dimasukkan penjara. Kita juga tidak tahu. Tepatnya di penjara sebelah mana. Sehabis Ia di tuduh membunuh Pak Zaki, rekannya sendiri yang vokal menyuarakan ketidakadilan di Ibu Kota Alasan penangkapannya adalah kasus rebutan perempuan. Memang semua tak masuk akal.

Kau harus secepatnya. Sesampai surat ini kau baca. Dalam waktu 24 jam kau harus pergi sejauh-jauhnya.”

Aku bingung, dan kalang kabut. Sampai di tengah-tengah isi surat dari Yudi. Kawan yang biasa kemari ketika tengah malam.

Terdengar di luar suara dobrakan pintu. Aku lari mencari anakku. Tetapi pistol menodong kepalaku. “Serahkan berkas-berkas suamimu” dengan wajah garang 5 orang menatapku dengan tajam. Sebagian rambutnya cepak dan sebagian lagi berambut panjang.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Entah berapa orang yang masuk rumahku. Aku terus berfikir, anakku, suamiku tak ada suaranya.

Semua berkas-berkas suamiku di bawah. 
Tiba-tiba terdengar suara 
“ceps.. ceps..ceps” darahku keluar. 
Aku tak bisa berteriak. 
Mulutku dibungkam. 
“Suamiku... Anakku....
Mas Yanto... Rahma....”


Malang, 2009-2010

Rabu, 14 Juli 2010

Esai: Kapitalisme Sebagai Sitem Tanda: pembacaan di era kapitalisme purna

Tak bisa memungkiri, kapitalisme telah menghegemoni di mana-mana. Mempertukarkan tanda untuk dikonsumsi. Tanda yang melahirkan sistem makna. Dalam kajian sturuturalisme, dunia adalah rangakian strukktur berupa tanda.Yakni tanda independen ataupun hasil buatan manusia. Tanda dalam kapitalisme telah direkayasa oleh poros maskulinitas. Hingga tanda sebagai rangkaian struktur atau makna, memiliki kedirian sesuatu atas identitas sesuatu.
Rangakaian struktur kapitalisme adalah modal sebagai tanda dan manusia penanda. Hingga seberapa mampu manusia mengharuskan atau seberapa mampu mengakses hal material dalam nominasi hedonisme. Misal: informasi--sistem--modal--
informasi—modal.

Modal bukanlah kepentingan produsen tetapi modal berputar dalam dirinya sendiri dan terus berputar (perputaran abtrak). Modal tidak ada yang menguasai, modal tidak bertuan. Manusia tidak bisa menentukan modal akan ke mana (modal->produses->modal).

Dalam hal peralihan modal tidak akan terlihat pretensi untuk mengeklpoitasi. Kasus ini dapat kita amanti dalam negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kapitalisme mencengkram tanpa pretensi karena telah dibantu adanya MNCs, yang terus mengeklpoitasi negara dunia ketiga atau negara berkembang.

Bagaiman dalam sistem makna (bahasa). Kita tidak pernah mengenal untung rugi lagi tetapi pereduksian. Makna yang dikembangkan manusia telah banyak mengalami pereduksian. Hal tersebut karena pengaruh faktor antroposentrisme, faham yang keluar dari ranah materalisme. Yakni manusia menjadi subyek punya kewenangan mutlak dalam penafsiran obyek. Sehingga apapun di luar manusia mampu di kontrol.

Karakter kapitalisme cenderung maskulin atau mendominasi (pallogo sentris). Sehingga kepitalisme diselimuti lapisan makna laki-laki. Seorang perempuan harus memiliki nilai jual tinggi dalam pasar sedangkan pasar sifatnya maskulin.

Demikian juga dengan bahasa memliki legitimasi menjadi alat kapitalisme untuk menghegemoni. contoh: Growth yakni negera memiliki aset tinggi maka negara dikatakan berkembang.

Sedang logika yang berjalan adalah logika biner. Untuk mencapai makna harus menghilangkan lain atau jadi yang asing. Hal tersebut adalah zero sumgame (permainan saling meniadakan) dapat di amati dalam budaya juga politik dan sosial. Melewati peran lembaga-lembaga sosial bentukan kapitalisme yang memiliki tujuan merubah prilaku. Dalam opresionalnya cenderung empiris dan prakmatis.
Modal menjadi poros bergerak keranah mana saja dan tak terlihat. Di produksi terus menerus melewati tanda-tanda yang tesebar, mempertukarkan makna.

Puisi Cintaku Mati

bertahun-tahun aku menunggumu di bukit sepi
ditemani gelisah para pujangga dengan puisi-puisi
mabuk angur do’a cinta kutenggak sendiri

prosesi hidup memang lain
tak seperti apa yang kita fikirkan, mungkin
(jalan Tuhan pun tak terhitung jumlahnya)

di persimpangan jalan, hendak kuambil air minum dari sumur abadi
jumpai kau penuh keanggunan hendak berjalan ke arahku

seketika itu kau tertahan
berjuta tanya akan ku
sedang dimabuk cinta

kau mendekat
lembut tanganmu
hendak menyentuh keningku
tertahan dalam jalan anganmu
tak mampu temukan di jalan fikirku

(untuk apa kau datang kemari kalau kau kembali lagi)

persimpangan jalan menjadi catatan sejarah cintaku yang mati dibuatnya
hati telah merekat melebur menjadi partikel-partikel kecil lalu mengumpal menjadi satu
tertahan di tengorokan hendak melangkah pada jalan akal

aku buntu dibuatnya

kemabukanku menjadi sia-sia
sebab tak sampai melayang-layang
menggapai kitab keabadian sejarah cinta

jalan lain kau kehendaki
kubunuh waktu di bukit ini
bersama pujangga
dengan puisi cintannya

Zaratustra memanggil dan memberikan kado padaku
berlahan lembaran-lembaran puisi cintaku berguguran
terbang menembus celah-celah bebatuan
hinggap di pekuburan lalu mati di hutan

Malang, Desember 2008

Kenang Semanggi

luka
darah
tubuh rakyat
berlawan baja.

mati sudah
tak ada nama.

kenang
tinggal kenangan
sejarah.

Semanggi
tak terbaca
kian lama.

dua belas tahun
menyimpan misteri

duh,
pak tentara.
siapa yang bersalah.

wakil rakyat
tak punya tata krama.

para mentri cari muka.

pak presiden
sibuk meletakkan bibir termanisnya.

oh,
Republik darah
di mana rasa kemanusiaan singgah

Malang, 12 Mei 2010

Cerpen: Pengelana

“Sakit ini tak juga sembuh. Sudah Aku minum obat tapi tak juga lenyap. Haruskah tetap Aku biarkan menyelimuti tubuhku. Padahal Aku harus menyelesaikan sajak-sajakku tentang pembacaan akan diri.”

Sawah masih menyuguhkan musim panen. Para petani bergembira seusai mendapatkan rezeki yang melimpah. Begitupun para buruh tani tak juga ketinggalan merayakan pesta dari upah yang diberikan pemilik sawah. Walau tak ada kembang api, kue tart, dan lilin sudah cukup meriah.

Bulan pun menambah indah. Di halaman rumah tergelar tikar terbuat dari pandan. Saling bercengkrama dengan tawa. Tak ada duka menggantung di mata. Orang-orang tua bercerita bidadari yang sedang menggendong kucing bersemayam di bulan. Sambil menyanyikan lagu indah tentang desa.

“Harusnya Aku mati saja. Padahal, Aku telah membunuh diriku dalam sajak-sajak yang Aku tuang dalam buku-bukuku. Kini telah tersebar di rak-rak toko buku, bufet pencinta rindu, atau mungkin masuk di kolong tempat tidur para penyair yang menyatakan dirinya pujangga dan tak pernah menganggap diriku ada. Aku tak peduli dengan serapa. Aku hanya berharap pada diriku untuk tetap menulis sajak. Sebab Aku menjadi hidup ketika Aku melukis dengan kata dalam kertas-kertas putih. Walau sudah jadi, esok tetap aku pelajari, menyempurnakan bangunan diri di dalamnya.”

Bulan purnama bergeser menengah tepat di atas kepala. Para penduduk desa memejamkan mata. Meletakkan tubuh yang lelah di atas bayang yang terbuat dari bambu. Diiringi musik-musikan yang dimainkan alam melalui pukulan-pukulan angin yang membelainya. Juga hewan-hewan tak ketinggalan melantunkan lagu indah dari organ tubuh yang dimilikinya.

“Ah, kemanakah gundah ini aku kirimkan. Sakit tak membuatku sabar pada jemariku menari. Sedari tadi musik telah berbunyi dari kotak kesadaran fikir dan hatiku. Tuhan, bukannya Engkau pemberi sembuh. Maka sembuhkanlah Aku. Sebab Aku tak ingin ketinggalan ide yang berseliweran membayang di dinding-dinding kamarku.”

Senyap dan sepi desa kini telah datang. Tak ada tanda-tanda hiruk pikuk dari manusia-manusia penghuninya. Mimpi-mimpi pun berdatangan bagi mereka yang menanamkan bunga-bunga pada tidurnya. Ada kengerian, ada ketakutan, ada senyuman, ada yang basah di celana, ada juga igauan tentang keinginan yang tak tersampaikan.

Sedang di kamar rumah yang menghadap ke arah masjid tidak serupah rumah-rumah lainnya. Semua telah mematikan lampunya. Rumah itu masih menyala dengan terang, tetapi hanya di kamar depan. Kebiasaan orang desa bila tidur lampu tak pernah menyala. Bila masih menyala berarti tuan rumah masih membuka mata. Hal tersebut menjadi biasa karena dulu ketika masih menggunakan lampu templek yang berisi minyak tanah. Kalau tidur, harus meniupnya bila tidak akan membuat asap dan tak nyaman buat hidung bila pagi tiba atau saat membuka mata.

Rumah itu milik pengelana. Ia selalu menyebut dirinya pengelana. Sebab ketika masih umur belasan dan dua puluhan Ia suka bepergian ke mana-mana. Sambil membawa buku-buku sebagai bekal untuk dibaca. Selain pengelana Ia juga suka menulis sajak-sajak yang Ia buhul menjadi buku. Tanpa bantuan, buku-bukunya pun jadi. Lalu Ia memasarkannya sendiri. Ke kota-kota yang Ia anggap orang-orangnya suka baca. Kadang cacian kerap menampar mukanya. Tapi, Ia tak peduli. Hanya menulis dan membukukannya. Ia juga tak ramah dengan koran. Hingga namanya tak pernah muncul menjadi perbincangan para sastrawan. Ia tak suka keramaian, yang Ia lakukan hanya menulis menggambar dirinya dalam sajak-sajaknya.

Ia pernah sempat membuat para pembaca terkagum-kagum dengan sajak-sajak baladanya dan Ia juga pernah menuliskan sayap-sayap malaikat dalam sajak-sajaknya yang membuat orang-orang kerap mengundangnya. Tetap saja Ia menganggap dirinya pengelana. Ia tak suka sanjungan atau pujian. Begitulah kalau membaca dirinya. Ia mengujarkan itu pada tamu-tamunya yang kerap kali bertemu ataupun datang kerumahnya.

“Aku, sudah mulai gila sepertinya. Baiklah akan Aku bakar saja buku-buku yang membuatku menjadi kesurupan begini”

Ia mulai merintih, merasakan sakitnya. Menahan sakit tak kuat. Kini semakin berteriak.

“Aku harus menulis. Aku harus menulis. Aku tak mau sakit ini. Tuhan, apa benar kau telah mati. Seperti kitab yang pernah Aku baca. Hingga Kau tak mau menolongku”

Orang-orang yang tinggal serumah dengannya mulai bangun. Mengetuk pintu kamarnya. Tapi tak juga terbuka. Teriakan semakin kencang, hingga desa yang sepi karena waktu memang mengisyaratkan kesepian. Kini mulai ramai. Orang-orang pada saling bertanya.( Ada apa?, kenapa?, dan siapa?) berhamburan dari mulut ke mulut.

Rumah-rumah mulai lagi menyalakan lampu-lampu listriknya. Kedamaian terusik dengan teriakan. Jalan depan masjid ramai bergerombol orang-orang. Dan pintu kamar pun terbuka. Tetapi saat terbuka Ia sudah tidak sadarkan diri, tertidur di atas tumpukan buku-buku dan mesin ketik antiknya.

Salah satu keluarganya membopongnya untuk dipindahkan ke masjid depan rumah. Semua menganggap kesurupan setan desa dari sawah sebab padi-padi sudah di panennya dan tak ada persinggahan bagi demit penunggu sawah. Akhirnya lari memeluk orang yang suka berkhayal. Begitulah cerita yang melegenda di desa.

Orang-orang masih mulai pindah ke masjid. Ada yang melaksanakan sholat, Ada yang membaca kitab suci. Tak ketinggalan para orang pintar di desa itu meracik sesaji untuk diantarkan ke sawah sebagai penolak bala.

Tetapi Ia masih saja belum siuman. Entah tamu dari mana. Seorang tua sambil mengendong kucing putih dan memeluk buku menyibak kerumunan. Seketika orang-orang desa penasaran dan terus memandang dengan mata penuh tanya.

Orang tua yang baru datang tadi mendekat padanya. Ia masih terbaring tak sadar. Orang tua tersebut membuka buku yang dibawanya dan membaca sambil berbisik tepat di telinganya. Ia mulai merintih kesakitan. Sambil mendesah

“Kitab gila...... kitab gila.... musnah”. Ia lemas dan terpejam lagi.

Orang tua tadi meninggalkan kitab dan kucing di sebelahnya. Kucingnya mengeong seperti membangunkan Ia yang lagi tertidur tak sadarkan diri.

Orang tua itu keluar dari masjid melewati orang-orang desa. Hilang di balik tikungan jalan menuju kuburun yang letaknya dekat persawahan.

Orang-orang desa mulai pulang meninggalkan masjid. Ia dan keluarganya masih di masjid. Entah ada apa keluarganya yang menunggunya tertidur semua.

“Kenapa Aku di sini?. Apa yang terjadi?”

Ia memeluk kucing putih. Dan membuka kitab yang dibawah orang tua tadi. Sepertinya Ia mengenali hewan dan kitab itu.

Seorang Muadzin datang untuk mengumandangkan adzan. Dan keluarganya pun bangun serasa tak terjadi apa-apa. Karena terkadang suka tidur di masjid sehabis sholat malam berjama'ah. Hal itu biasa.

Ia pun mengambil wudlu dan duduk di barisan paling depan. Menyeka air mata yang berkali-kali menetes menginsyafi fikiran-fikiran gilanya. Ia menulis lagi dengan mesra bercinta dengan kata yang Ia pungut dari percakapan orang-orang desa. Juga tak lupa mencium buku yang dikasih orang tua tadi. Yakni orang tua yang menghilang di persimpangan jalan menuju kuburan dekat persawaan.

Lamongan, 30 Mei 2010

kun

dari pepohonan
terselip cahaya
berpendar-pendar
membelah dedahanan
dari muasal kata
kehendak merabah.

mencipta kegoyahan
bila tak dapat peluk sinarnya

hanya kekosongan
akan dekati raga

tak ada yang indah
selain kemilaunya

tertangkap batin
menjelma kesempurnaan daya

mengenali kulit ari dan getah
melekat pada dada.

satu, dua, nama terbaca
dalam kenang muasal ada.

api dan tanah bergelora
mengikatnya dari kehampaan
memasak menjadi kisah.

tiupan angin
belaian dedaunan
bergesek-gesekan ranting
patah jatuh menimpa wajah

kun,
mata terbuka
terlihat nyata
roh dan jasad
berkelana menelusup
belantara kata-kata

malang, 2010

pada gadis serupa layla

:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku

lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.

o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.

kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.

romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.

ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.

mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.

malang, juni 2010

Puisiku Hendak Kemana

:ia yang melahirkan aku

Entah kemana ia berlari.
Sedang aku masih di sini

Pernah aku menghampiri
Dengan suci bahasa Ilahi
Menderetkan kata hati
untuk menundukkan diri

Tetap saja ia tak mau terkunci

Sekali bersua kembali
Ia menangisi melati
Tangkainya patah lagi
Tak ada harum mewangi

Sebab itu ia tak mau mendekam dalam diri

Sempat juga ia sembunyi
Dalam perut tak berisi
Beryanyi-nyanyi tantang negeri
Dan memaki-maki
Mengharap keadilan kembali

Karena itu ia tak mau bungkam sendiri

Kadang juga menelusup di alam sepi
Menjerat suasana sunyi
Mengasingkan diri dengan bersemedi
Dalam pekat malam hari

Dengan itu ia tak mau dicari

Kemana puisiku pergi
Ku harap ia kembali
Mematuki tubuh ini

Malang, Juni 2010

terbakar waktu

ada muasal kata
lewat dedaunan layu
diterpah kehangantan
saling gesek bergesekan
memainkan nyanyian: kekeringan
pepohonan sedang meranggas kesepian.

waktu melahan berkunjung
pada arah matahari sunyi
beri kabar betah untuk tinggal
di bingkai: tanah retak
rumput kering
daun jatuh
buah jagung mengembang.

adakah yang paling sepi
saat waktu terbakar
menyangsikan musim hujan
terburu-buru pergi

pohon jati berdiri
menahan tubuh perih
rontok daun membelai
api.

malang, juni 2010

Esai: Berawal dari Kesunyian Menuju Keramaian

Aku membaca gerak yang berawal dari kelahiran adam dan hawa mereka berada dalam ruang kesunyian—dekat dengan Tuhan – surga. Karena lena maka kemurkaan didapatnya. Menanggung akibatnya maka turunlah pada ruang kesunyian yang ke dua – dunia – mengenal benda-benda dengan petunjukNya. Entah itu yang disebut zaman purba atau tidak saya menganggapnya begitu: zaman purba. Prilaku anak-anak adam dalam perihal cinta yang diperebutkan, akhirnya mati satu di antaranya. Adam-hawa terus membuat keturunan-keturunan hingga saya. Entah keturunan yang ke berapa saya tak pernah menghitungnya.

Teryata kesunyian dapat melahirkan kesunyian kedua dalam rumus fisika atau matematika biasa disebut dengan aksen (a-->a’). Penahapan dan pertambahan. Saya berfikir demikian. Dalam sejarah agama islam. Muhammad juga menerima wahyu dalam kesunyian. Waktu itu menyembunyikan diri dari orang-orang yang mengejarnya hingga masuk dalam gua hiro’. Saya membayangkan gua itu sunyi bahkan konon katanya sarang laba-laba menutupinya membuat orang-orang yang mengejarnya tidak tahu bahwa Muhammad ada di dalamnya. Wahyu pertama diturunkankan dengan ayat yang memberi isyarat untuk membaca (belajar). Akhirnya Muhammad dinobatkan sebagai Nabi. Membawa risalah dari Tuhan untuk di sampaikan pada umatnya. Hingga sampai kita hari ini. Banyak yang sudah membuat pembacaan pada gerak penyampaian risalah-risalah Muhammad. Saya hanya menitik beratkan pada kondisi ruang sunyi proses terjadinya dialog Muhammad dengan Jibril.

Zaman bergerak pemahaman atas kenabian dan keTuhanan beragam. Semua berusaha mendekat pada Tuhan sebagai nilai-nilai untuk diejahwantahkan. Filsafat (mistisisme) metafisika membawa ke arah kesunyian lebih dalam. Maka lahirlah tokoh-tokoh sufi menelanjangi (memahami) diri bagaimana agar dekat dengan yang haq. Maka ruang sunyi adalah tempat perstubuhan manusia dengan Tuhan.

Saya pun membaca dan menafsir atas segala kesunyian orang-orang terdahulu. Yang merelakan diri bersepi-sepi (bertapa, bersemedi) untuk membaca kesadaran diri dengan Tuhan dan zaman. Teryata nilai-nilai keTuhanan mengisyaratkan kebajikan dan pembebasan untuk menuju manusia yang sempurna. Yakni manusia pembebas: memiliki visi kenabian (profetik).

Maka ruang sunyi memerlukan ruang ramai (segala aktivitas kehidupan manusia). Kenapa? Hal tersebut untuk menebarkan hikmah dari kontlempalsi atau bersemedi agar apa yang diperoleh dapat juga dinikmati manusia-manusia lainnya selain dirinya. Jika itu adalah tuilsan maka akan dapat dibaca dan direnungkan atau mungkin memberi inspirasi pada pembacanya.sehingga pembaca juga dapat bergerak.
Kesunyian adalah ruang privat bagi seseorang. Maka jika mengharap kesunyian bisa jadi harus menyendiri. Berjibaku dengan segala daya yang dipunyai. Atau mungkin ruang sunyi adalah ruang pengasingan bagi seseorang hingga dapat melahirkan renungan yang mengetarkan pembaca. Misalnya Mulla Sadra, dia mengasingkan diri untuk menemukan pemikiran-pemikiran filsafat islamnya tentang keirfanan yang cenderung eksistensialisme. Kalau di bangsa kita ada Pramoedya Ananta Toer dari balik jeruji dapat menghasilkan karya-karya yang spektakuler. Dan masih banyak lagi dari dalam ataupun luar negeri.

Maka sebenarnya ruang sunyi dapat diciptakan sendiri atau bisa jadi karena keadaan dan kondisi yang menghedaki lahirnya ruang sunyi.

Kalaupun melihat mereka yang menempah diri dalam kesunyian tetapi hasil dari renungan mereka tak bisa dipungkiri didapat dari melihat realitas sekitarnya atau melihat sejarah yang berjalan. Keaktivan dalam perjalanan sejarah juga menjadi penting. Keaktivan sejarah dapat dilakukan dengan membaca buku-buku, menapaktilasi benda-benda sejarah, tempat-tempat bersejarah, berdialektika dengan pelaku sejarah dan ikut juga nimbrung dalam pergolakan sejarah yang sedang terjadi atau proses pembuatan sejarah. Sejarah diri sendiri ataupun sejarah dinamika sosial, pemikiran, politik bangsa., dll Itulah ruang keramaian, hiruk pikuk para pejalan menapaki kehidupan. Maka segalanya tidak ada yang lahir dari ruang hampa.

Dalam gerak kesunyian menuju keramaian atau sebaliknya diperlukan kematangan diri dalam tempaan yang terus menerus hingga daya tak ada, jika berharap memiliki makna dalam hidup lebih berarti.


Malang, 2010

kuselipkan nafasku

kuselipkan nafasku
dalam celana dalamMu.
menghirup harum kelaminMu

ada pucuk bunga surga menebar aroma
mendekam aku di sela selangkanganMu
tak harap beranjak hingga nadi tak berdenyut

malang, juli 2010

kepada kata

:nanang suryadi

dalam hening senja yang menua
aku nisbatkan doa-doa
pada kata yang melesat padaNya.

malang, 08 juli 2010

diabetes dalam piring putih

kau menyuguhkan padaku makanan dari gula merah hati tetapi kau takut makan sendiri. rasa manis kau beri rasa benci kau lari lalu kau meracik puisi dalam piring putih. diabetes kau cuci taburi gengsi agar terlihat sexy.

malang, juli 2010

pada air mata

dia membawa air mataku pergi sembunyi. dalam tanya hidup serupa timbangan tak imbang. menutup tubuh dengan batu. dada pun membeku. melintasi sejarah keluh dari rasa empedu. mang timang timang duh gadisku sayang. bila masih ada sayang kenapa menghilang. duh rindu. air mataku malang saban hari selalu berlinang.

malang, juli 2010