Minggu, 29 Agustus 2010

DENNY MIZHAR DAN ALAM PUITIK GUNUNG KIDUL

Oleh: Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati
Denny Mizhar

Aku pernah memenggal nama tuhan
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya.

Batu-batu kerikil tajam melukai kakiku
di jalan menapaki pertapaan.

Kesunyian singgah dalam kesilaman masa
keharuan menebar putik-putik kamboja
lelah dengan mudah.

Bayangan-bayangan kematiannya
bergelayut di dinding nalarku penuh angka.

Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa.

Penempaan akan diri kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah.

Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi
di puncak perbukitan di mana tuhan pernah aku makamkan.

Seketika mulutku berkhotbah
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih.

                          ***

Membaca puisi Denny Mizhar, mengingatkanku seringnya terjadi orang kendat, atau bunuh diri di Gunung Kidul (GK). Dari persoalan bermacam-macam yang tampaknya ada kecenderungan nasib pahit, terpancar di balik bencah tanahnya. Kefahaman ini didukung penulis puisi, yang pernah bilang dirinya sedang di sana. Lantas diriku teringat lukisan beraliran dekoratif karya pelukis Harjiman (almarhum), yang seluruh obyek lukisannya mengenai alam GK yang gersang; cucuran air hujan jarang sampai menghijaukan pandang.

GK salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), alamnya dulu sangat kering, tanah merah bercampur bebatu. Padahal masyarakat kebanyakan mengandalkan pertanian, sebagai mata pencarian hidup. Tapi waktu demi waktu insan giat berfikir dan pekerja ulet. Mulai menapaki tangga keindahan, ada yang ke Ibukota dan di Yogyakarta sendiri, demi mencukupi hayatnya. Lantas pemerintahan DIY menggalakkan penghijauan, yang kini dapat dipanen lewat semilir bayu. Namun “tradisi” bunuh diri, masih berjalan di awal tahun 2000-an. Semoga tulisan ini turun, sudah tiada lagi yang mengecutkan nyawa tersebut.

Sebenarnya aku ingin kembarai warna pantai Kroasia lewat google, sebab diriku belum ke sana, terus kujumpai puisi Denny. Lalu kuarahkanlah pada warna lokal yang tidak kalah menariknya, meski laut selatan GK tiada permainan voli pantai dengan pemain yang aduhai. Tapi tanjung karang putihnya asyik juga dipandang mata. Aku mulai saja mengupas karyanya, demi tidak ngelantur tak karuan. Kuterjemahkan perbait, kuanggap Denny Mizhar sudah berkali-kali hatamkan Sabda Zarathustra -Nietzsche, sehingga kudapati lebih naik, meski dengan secarik catatan:

I
Kerap manusia mendapati kesadaran kelemahannya, ketika sudah melampaui batas dinaya, sampai memulangkah apa saja yang diyakini. Saat itu juga, yang ditanggalkan begitu kuat hadir, tapi tak merasakan puncak perjumpaan. Sebab tengah menyatukan kesaksian, semisal jiwa ateis masih merasai kehadiran-Nya, ketika nalar tak mampu menjangkau, melemparkan duga pada hayalan.

II
Di jalanan hidup berliku penuh duri-duri tajam, dari kebodohanlah terlihat adanya kelicikan. Di sini ketakmampuan mencerna terbayang, tapi dengan memasuki goa pertapaan bertafakkur, semuanya terang dalam keinsyafan pemahaman.

III
Dalam sunyi, nilai-nilai bathin yang sudah ditapaki, menyembul mencapai langit-langit goa menyatu ruangan. Memantulkan terang cahaya dari pintu selalu terbuka, sedari pelatarannya tercium bunga harum ingatan kamboja. Bau kewaspadaan disebut keheningan makmur, kelapangan jiwa menerima.

IV
Namun, nalar yang menghitung denting air menetesi batuan putih di lantai goa, melayarkan gambaran usianya. Rumusan hidup dari bacaan, ingatan kalender merayunya berfikir kausalitas. Hati tergoda membentangkan angka, memasukkan dalam makna kesatuan bersusah payah. Serupa peperangan di medan kemanusiawian.

V
Tatkala nalar dilayarkan dengan bukti rangkaian kata “Tak habis aku…” Maka keindahan kalbu yang rapi segugusan cahaya puitik, atas pencarian hakikat dikehendaki puisi itu, membuyar penyesalan tiada habis-habisnya. Kekecewaan tergambar padat, ke puncaknya warna gelap gulita menusuki bagian rasa.

VI
Ialah cahaya-gelap pun purnama, serta bayang-bayang kelebatan dahan, mematangkan makna. Dari gerak itu bukan berasal cahaya, tapi paduan angin perasaan bergetar menyempurnakan kehangatan. Serupa “tubuhku penuh darah” atau rasa meruh di luar, sedang menyaksikan ketelanjangan sendiri.

VII
Di bait ini, logika pemenggal tuhan tak berdaya, kembali ingin mendekapi sunyi, ke hati yang pernah ditinggalkan. Meski dalam tempo detikan, tapi jarak hati dan nalar sungguh jauh, kalau tak sedang merasai kegenapan. Sepadan penyatuan selaras, lalu keduanya (hati-fikiran), bergegas keluar dari goa pertapaan, ke bukit pemakaman tuhan. Perbendaharaan makna, lenyap dari hadapan aku lirik, bermuwajjaha kepada-Nya.

VIII
Akhirnya nasib berkesaksian, lewat mempertanyakan yang tak butuhkan jawaban para penyaksi. Apakah ada atau tidak, mulutnya berucap; bahwa tuhan yang hadir dalam wacana pun, perlu nafas-nafas ruh kehadiran demi kebesaran-Nya. Kalau bukan manusia sendiri tak akan sanggup memaknai, atau terkubur nuraninya di bukit putih.

Lamongan, Maret 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Upacara Kemerdekaan, Upaya Mengkritisi Bangsa

Denny Mizhar*

Jika menapaktilasi bangsa Indonesia, tak jua menemui perubahan. Kebobrokan para pengambil kebijakan sudah bukan hal asing disaksikan. Pada realitasnya bangsa ini belum menemukan titik perubahan segar sesudah reformasi 1998. Tapi malah memasuki babak kegelapan. Orde Baru memang telah tumbang, namun gaya prilakunya masih menghantui, bahkan semakin akut. Tampak pada realitas keseharian dapat dipandang melalui layar televisi pun di sekitar kita. Kesewenang-wenangan penguasa politik pula penguasa modal. Demokrasi yang diharapkan malah diam di tempat tak bergerak sama sekali.

Pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke 65, semua merayakan. Dari pesta kecil-kecilan sekedar makan ucapan syukur, pula perhelatan yang besar-besaran sehingga membetot banyak biaya. Mungkin saja lupa sesaat kasus-kasus yang tak kunjung usai. Salah satunya korupsi sengaja diambangkan agar masyarakat lalai.
Seharusnya malu pada para pahlawan, yang telah perjuangkan kedaulatan bangsa ini hingga titik darah penghabisan. Penjajahan kini bukan lagi dilakukan bangsa asing dengan agresi pendudukan wilayah tetapi dengan modal, budaya, dll. Semakin runyam kita dapati penjajahan dilakukan warganya sendiri yang terwakili pemegang kuasa. Saban hari, kita dapati kebrobrokan para penguasa bangsa ini.

Pada peringatan 17 Agustus 2010 kemarin, sebagian seniman di Malang menggelar ritual guna ikut andil merayakan kemerdekaan memilih cara lain. Upacara bendera di bawah jembatan Kali Brantas, Jl. Majapahit yang dimulai pukul 11 dan dilanjutkan dengan acara inti. Yakni membuat agenda yang direncanakan tahunan: Performance Art Malang Festival 2010, kali ini tema yang diangkat ialah penyikapan atas kemerdekaan bangsa Indonesia.

                                                                       ***

Upacara di bawah jembatan dan di areal Kali Brantas memberi makna sendiri, bagi penyikapan kondisi bangsa ini, yang tak juga berubah lebih baik. Locus di bawah jembatan menggambarkan kemerdekaan yang dirasai belum naik ke atas. Meminjam logika biner strukturalisme Sausurian: atas x bawah. Atas menghadirkan nilai perubahan, sedang bawah tidak. Sungai mengalir mencipta pengertian agar segala permasalahan terhayut mengikuti arusnya terbawa tidak kembali sebagai harapan berbangsa terindah.

Di sini para seniman heppening art memberikan gambaran harapan lewat actingnya. Performance art pertama yaitu keterbungkaman bangsa dalam kasus korupsi yang tak kunjung usai. Adegan tersebut dilakukan aktor dengan menutup seluruh tubuhnya dengan plastis, menerbangkan pesawat-pesawatan yang terbuat dari kertas sedari atas jembatan. Lalu membawa tikus-tikus. Tikus-tikus digigit sehabis membuka balutan plastik yang menempeli badan aktor. Tetikus mati darah tercecer di plastik yang tadinya digunakan membalut tubuhnya, dan dikerek ke atas sambil aktor yang memainkan berteriak “merdeka”. Makna yang dapat tertangkap darinya adalah realitas korupsi yang tak kunjung selesai. Simbol membunuh tikus dapat diartikan, para koruptor harus segera dibasmi, ditarik ke atas hingga terjadi perubahan, guna wabah korupsi tidak membudaya sebagaimana yang melandai bangsa ini.

Berlanjut performance art yang kedua diperankan Eny Asrinawati, beradegan mencuci bendera lalu manabur bunga sambil berdoa untuk para pahlawan. Hal itu menggambarkan bangsa ini perlu dicuci, lantas berdo’a demi pahlawan bangsa agar perjuangannya dapat diteruskan. Performent art ke tiga diperankan Oktaviani Puspitasari, adegan yang diawali membagikan kertas kepada penonton untuk menuliskan harapan apa saja yang harus dihilangkan atas bangsa ini, misalkan korupsi, kebodohan, penindasan, dll. Kertas-kertas yang tertulis dibawanya ke tempat sepi, lalu aktor tersebut mengali. Masalah-masalah yang sudah tertuliskan dimasukkan ke liang yang sudah digalinya, serupa kegiatan mengubur ketika ada kawan meninggal dunia. Permasalahan yang membuat bangsa ini terpuruk harus segera dipendam. Sehabis itu diakhiri pelepasan burung yang menerbitkan pengertian; kebebasan telah didapatkan, karena seluruh musabab buruk sudah terkubur dalam.

Performance art selanjutnya, aktor mengajak pengunjung mengambili sampah yang berserakan di sekitarnya, lalu beramai-ramai membakarnya. Darinya diajak menyadari diri bahwa di sekeliling kita masih banyak soal membelit, segerahlah diselesaikan atau dibuang. Hal itu terwakili dengan adegan pembakaran tumpukan sampah. Performance art kelima, aksi dilakukan aktor memerankan: mencuci bendera dan mengibarkanya. Secara makna sama performance art di atas, akan keharusan dalam membersihkan prolem bangsa ini. Performance art terakhir dilakukan oleh Gembo, ini memberikan penegasan akan hakikat kemerdekaan yang sedang kita rayakan. Dengan adegan seorang aktor membawa kanvas lalu melukis bermedia lumpur. Yang terbaca bangsa ini masih berkubang di rimba masalah. Mungkin saja, kritik terhadap kasus lumpur Lapindo yang tak kunjung usai. Sehabis aktor melukis di kanvas dengan lumpur, ia membagikan bendera pada penonton yang bertuliskan “Sudakah Anda Merdeka?” Sebuah sindiran pada bangsa ini pun diri kita, apakah sudah mendapati kemerdekaan?

Secara utuh semua adegan performance art yang dilakukan para aktor dalam acara Performent Art Malang Festival itu, mengungkap kegelisahan bangsa Indonesia yang tidak kunjung berubah dalam lawatannya yang ke 65. Selain memberi kesadaran, akan pertanyaan di batas penyadaran, betapa pentingnya perubahan harus dilakukan. Sebuah kritik lewat performent art di hari peringatan bangsa, dapat memberi kesan tersendiri makna kemerdekaan. Walaupun secara teknis dan penguasaan ruang masih radak kedodoran. Artinya pembacaan ruang yang kurang maksimal dengan kendala di lapangan. Serta tidak adanya buklet penjembatan atas pembacaan, sehingga penonton awam bertanya-tanya apa, yang dilakukan para aktor tersebut.

Agenda yang digagas MeizHtRuatiOn PeRfORmaNcE semoga berlangsung tahunan. Sehingga Malang memiliki agenda tetap yang dapat dirujuk seniman-seniman performance art sedari daerah lain. Dan akhirnya dinamika performance art di kota Malang kian semarak.

Malang, 18 Agustus 2010

*) Pegiat Seni Teater dan Sastra tinggal di Malang.

Minggu, 01 Agustus 2010

Parade Puisi-Puisi Cinta

Mencintai

menjelma menjadi matahari dalam diri
kelopak mawar mekar mengajarkan kesadaran
menebar harum wewangian dalam syair asmaradana.

hakekatnya adalah kebajikan
bersetubuh melingkar tanya akan keberadaan.

kadang kala menjelma hasrat
meletup dari keinginan semata─ tanpa kendali.
terbangunlah jembatan arah menuju kealpaan muasal.
dusta dan luka menempel pada tirai.
sebab harap tak sampai mendekat.
ada keterputusan rantai arah tuju.
limbung dibuatnya.

maka, bersegera menyeretnya
pada pintu harap semesta:
tentang keagungan tuhan,
tentang resah pertiwi.
pertanyakan letak diri.

:cakrawala terbentang
semangat tak pantang terkuras.
adalah bumi tak lelah terpijaki.
membuka diri menjadi matahari
terangi tak harap balas kasih.

Malang, juli 2010



Bulan Sabit di Balik Jendela

kau yang mengancamku dari balik jendela tak juga beranjak pergi. menerangi tak sempurna setapak hatiku. mengantung-gantung di pohon trembesi tempat aku menunggu bila matahari berlahan angslup di tepi barat rumah yang aku huni.

kau menghampiriku memberi kisah tak pernah tuntas menjadi kenang purnama. hanya pancarkan cahaya merah berkilauan membuatku silau.

(aku kembali pertayakan sepi yang bening)

kututup jendela. kau menahan dengan lancip sabit. menusuk suratan hati yang telah bercahaya kembali.

Malang, Juli 2010



Waktu Pisau Menikam Tubuh

detak rindu
melodi pilu

dari angka-angka ganjil
di dinding tubuh runtuh

mengepak
jejak waktu
memburu
menikam
resah kalbu

mawar di mata melahan jatuh
menggerimis darah berwarna ungu

jarum jam beku
sejarah tertulis
menebar amis

lukisan kupu-kupu di pipi
bermetamoforsif menjadi ulat dungu
merambat mengelilingi pusaran waktu

hilang satu
darah beku
hilang dua
kepala pecah
hilang tiga
leher patah
hilang empat
dada terbelah
hilang lima
perut mengembung
hilang enam
setengah tubuh
tak dapat dirasa

pisau masih mewaktu
dalam angka raga
hendak berdetak-detak
tetapi kalah
menyiasati jiwa

Malang, 2010



Memulangkan Resah
:lis

i
pada kata yang meretakkan gelisah
aku membuka lebar rongga sukma

segala desah tentang air mata
mengalir pada muaranya

bias cahaya menelusup di kediaman duka
memberi terang pada kegelapan rasa
sebab aku telah membasuh darah
yang meluber dari patahan hati merah muda

ii
hai, gadis bermata sayu
keluarlah dari ruang sunyimu
pandanglah gemerlapan lampu kota
hingga hilang segala resah

sebab aku tak mau gelisah
melihatmu murung memikirkan cinta
letakkan saja pada tempatnya
simpan rapat segala lara

:semakin membayang semakin tak dapat hilang semakin dekat. oh, semakin aku yakin. kau rupanya dan kau akhirnya. aku pun diam dalam puisi mengukuhkan diri memulangkan resah

Malang, Juli 2010



Lonceng Malam

aku adalah rindu
berdenting melengking
memanggil kekasih
di balik sepi

menyibak pekat malam
arungi angin berdesir
merinding pada hening
mengigil pada bunyi

aku adalah kekasih
tak dapat berlari
dari peluk tubuh
dari basah kata
dari suara resah

Malang, 2010



Sajak Untuk Aku

Hai, aku. Lihatlah kunang-kunang yang kau simpan tak berkerlipan. Lepaskanlah pada udara bebas agar ia dapat melesat pada ketinggian. Biarkan langit menggapai segala asanya yang ia endapkan.

Hai, aku. Tak usah lagi kau tulis jejak lukamu yang membuatnya tak betah tinggal denganmu walau hanya mencium bau anyir darahmu. Rebahkanlah ia jauh dari tubuhmu yang penuh darah dari duka masa lalumu hingga kini masih belum mengering.

Hai, aku. Selami sukmamu sedalam kau membaca Tuhanmu. Agar harum mawar menebar wewangian kebahagiaan yang lama ia idam-idamkan. Tak usah kau kunci egomu dengan gembok yang kuat hingga tak ada lagi cela untuk keluar.

:Sebab aku memandangmu, wahai kunang-kunangku dengan kebebasan membiaskan venus menuju rumahNya. Berkerliplah di gelap malam di taman kamboja hingga sepi menjadi riang tanpa kelam.

Malang, 2010



Cinta Di Bulan Juni

Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.

O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.

Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.

Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.

Malang, Juni 2010

*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)



Sajak Untuk Neng
:lis

Betapa lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.

Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.

Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.

Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.

Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu─tak ada.

Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Ilahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. Pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.

Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.

Malang, Juni 2010



Gadis Bermata Burung Hering

aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.

debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku

dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.

aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.

terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan

Malang, 2010



Pada Gadis Serupa Layla
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku

lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.

o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.

kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.

romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.

ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.

mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.

Malang, 2010



Surat Untuk Kekasihku

pada siang menerawang
wajahmu membiru layu

kusaksikan gerimis berguguran
membasahi dukaku yang kaku

kenang dirimu
dengan gemuruh sesalku

aku meninggalkanmu
tanpa kecup terakhir
di keningmu.

luka kepergian tanpa ikatan
kini menyeringaiku akan kegilaan
sebab tiada tempat
aku berkisah
tentang darah,
luka,
air mata
anak-anak gembala.

lihatlah langit Gaza:
debu-debu mesiu
mengotori keputihan
dan kebiruannya.

gelap menyapa:
tangis gadis-gadis kecil ,
ratapan seorang ibu,
bapak dan anak perjakanya
sibuk mengumpulkan batu-batu
membalas luka
tiada ujungnya

kekasihku,
singkaplah tabir rahasia
yang menutupi dirimu
biar rindu ini
sampai padamu

rasakanlah nyeri tubuhku
meletupkan rindu
ingin berkisah
tentang kesunyian
bercinta dengan darah

seperti dulu
di bawah pohon trembesi
kau rebah aku bercerita

duka pun memeluk tubuh
dan kita semakin mesrah
dengan duka luka air mata
tak lelah-lelah
menjadi kisah
kita.


Malang, 2 Juni 2010



Kepada Ana

Ana, adakah tempat singgah buatku yang kini merasa lelah. Jalan panjang nan berkelok telah aku lalui. Rindu-benci pernah memanahku hingga tembus ke dinding hati. Ana, aku menunggu bibirmu bernyanyi. Walau tak merdu, tetap kudengar dengan hatiku. Atau kau tak suka bila aku melepas lelah dan berhenti pada jalan akhir meninggalkan jejak cintaku padamu.

Ana, biarkan punggungku dan punggungmu bertatap-tatapan di bangku taman, lalu kita bercerita tentang pertunjukan yang habis kita mainkan: Sesudahnya aku harap, kita tulis lagi jalan cerita dengan kisah nyata.

Kau masih ingat ketika kita memainkan lakon Romeo dan Juliet. Aku begitu suka sekali ketika Romeo aku perankan dan Juliet kau perankan. Kita merubah kisah di akhir pertunjukan: Bahwa mempertahankan cinta tak harus berakhir dengan kematian.

Ana, dunia serasa berbeda. Ketika kakiku sudah mulai menginjakkan pintu luar gedung pertunjukan. Kisah nyata pun tak ada, sebab hidup kita serupa sandiwara.

Oh, Ana haruskah aku ungkap dengan kata. Bukankah kau bisa baca langkahku. Di situ ada rasa cinta yang menggelora.

Malang, Mei 2010



Kesurupan Cinta

kembang tujuh rupa
terikat di rambutmu

harum dupa di wajahmu
memeluk mistis rindu

lahirkan misteri
wingit tubuhmu

:aku mencium
dari ruang kesunyianku.

wajah dan rambutmu
merasuki tubuhku

o, padamu padma
aku kesurupan cinta

bermacam mantra
melantun dari hatiku

tak juga pergi dariku

Malang, Mei 2010



Patah Hati

Waktu hantar pada getaran detak jantung menjemput kematian.
Simpan misteri bunga kamboja yang terselip pada detiknya.
Jejak-jejak luka tak dapat terhapus wangi aroma dupa.

Sakral membuka garis nasib pertautan hati mengambang pada tanya.
Mulai meneteskan gerimis darah.

Oh, asmaradana kutembangkan merdu melalui tubuh padma.
Hanya selintas lalu amblas.

Serupa waktu menjemput ajalnya.
Detaknya mendiami diriku dalam hampa.

Malang, Mei 2010



Luka-Luka Kepedihan

ketika waktu tersingkap
ku teguk arak pengobat luka

tak pernah ada sesal
ketika pedih mendera
sebab pedih adalah hidupku

jika pergi itu karenaku
tentu aku melepasmu
tapi kau memotong
benang di hatiku

bunga-bunga layu
dalam kamarku
kegelapan menebas tubuhku
tersudut dalam laci terkunci

bukankah segalanya telah ada
aku percaya siklus semesta
berputar pada porosnya
hanya engsel yang lepas
dapat semburat segalanya

tetapi aku masih di garis
garis kepedihan

luka waktu kepergian
luka rindu bunga layu
luka pedih hati mati
luka sajak
sajak luka
luka sajaku
sajak lukaku

Malang, 2010



Untuk Air Mata
:Echa

kau meneteskan air mata
aku melangkah ke mana
jika jejak kau hapus begitu saja

hujan sedari tadi
memelukku dalam kepasrahan
rerintik pilu menembus dada rinduku
memainkan denting tanya tentangmu

O, gelisahmu tak dapat aku tembus
pintu rumahmu kau tutup
sejak kapan itu?

aku hanya menelusuri petualanganmu
menangkap isyarat-isyarat ragu

kau hilang di jalan pulang
tak ada sisa aku kenang

senja di tubuh padma

aku tahu aroma bibirmu
kental dengan waktu

ketika resah menaungi sukmaku
sel sadarku berselendang rindu

dimanakah aku?
hilang dalam karung ragu

jejak tertinggal
pedang memenggal

di lekuk tubuh Padma
tergambar risalah kata
menafsir makna luka
senja begitu kuasa

Jogja, 2010



Terlewat Waktu Aku Merindu

Demi waktu
Pemilik pena
Penguasa:
Malam - siang
Pagi - senja

Mencumbumu:
menyetubuhi
dengan sungguh

Tersapu tak menentu
dalam kelenaan rindu

Aku selalu keliru
mempertanyakan tubuhku
meletakkan dalam detak-detiknya

Hingga penggalan membelah dadaku
tak mampu menjumpaimu

Sesadar dalam ragu
ingin kembali memelukmu
hangat mesra meretas beku

Mengoreskan rindu dengan penamu
melewati waktu dalam genggaman cumbu.

Malang, 2010



Aku Hendak Merangkai Kamboja
pada Gadis Meninggalkan Luka


aku tak hendak menanam mawar
tapi ingin merankai kamboja

pada gadis menyayat luka
harummu serupa dupa

berkali-kali mandi kembang tuju rupa
tak juga sempurna

oh, dimanakah kembang kamboja
biar kurangkai menjadi kalung surga
sebab sepi selalu menyapa

pada kenangan selalu berpendar
menunggui hari-hari rindu
nyanyikan lagu perdu

menggarami sobekan luka
rangkaian kambojaku tertata

Malang, 2010



Gadis di Balik Pintu Berkaca Bening
Dan Aku yang Mebuka Jendela Berselambu Biru

:tetangga rumah

di balik pintu
berkaca bening rumahmu
kau belai rambutmu
menghitung helai demi helai
berapakah jumlahnya?

kau menerbangkan burung kertas biru
masuk di jendela rumahku
aku menangkap dengan terburu-buru

lahan-berlahan aku buka
tak ada goresan pena membilang makna

serupa mataku
tak lelah mengintip gelisahmu
dari satu jengkal tanganku membuka selambu biru

rumahku-rumahmu saling bertatap-tatapan
tapi mata kita tak saling bertautan
bukankah hidup untuk saling bersapaan

aku pun mengikuti hari
menghitung pagi
membuka jendela lagi
memandangmu kembali
berharap mataku-matamu saling menepi

derat bunyi pintu dari rumahmu
aku cepat membuka jendela berselambu biru
kembali aku tatap lagi

ah, teryata ibumu
senyum-senyum sambil menatapku

Malang, Januari 2010



Membaca Garis Retakan Resahmu di Bibirku
;E.R

Pada kelelahanmu menapaki jalan bukit pikir resah. Aku melihat senyum mengulum tak pernah kalah. Hati membaca waktu untuk merabah. Menanggalkan gerimis tubuh dengan mesra.

Kau menyimpan sejarah luka dalam buku harian di lemari berdinding besi tergaris pecah. Tak berharap siapanpun akan membongkar kisah. Kau tanam bunga melati putih tangkainya patah.

Aku bertanya padamu, maukah meletakkan beban di kepalamu pada pundaku? Sambil membisu kau menulis retakan nasib di bibirku. Seribu bahasa tak ada aksara untuk mengungkap puisi-syairmu yang bergemuru tentang rindu.



Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir

pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga

kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis

ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.

belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.

ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.



isyarat mimpi

sepasang ikan hampir mati di air keruh. kau mengambilnya. kau memasukkan dalam aquarium.

berbinar sisik-sisiknya memancarkan cahaya saling berkejaran dan berlompatan

aku memandang bayangan ikan dalam cermin. tampak aku-kau saling berduaan dalam cincin.

isyaratnya. harap aku temui bunga tidur harum mewangi

Malang, Juli 2010



Coklat Hati

hatimu berrasa coklat
menyimpan tanya
tak pernah aku mengerti

“kau bawa pergi
juga hatiku?”

“harapku kau di sini
memasak kasih
rasa coklat hati”

Malang, Juli 2010



kau menaiki dokar

suara sepatu kuda
menarik jejakku
melangkah pergi

kau menaikinya
dengan hati resah

sedang aku
masih menunggu
dalam sunyi
riang bernyanyi
mengharap kau kembali
dengan dokar yang kau naiki
membawa kata pasti
untuk aku pahami

Malang, Juli 2010



dalam tas warna hati

dalam tas warna hati
tersimpan kasih

aku meletakkan
rasa rindu di dalamnya
biar kau tenteng
dalam hari-harimu
dengan senyum
berseri-seri

Malang, Juli 2010



Menanam Coklat

menanam sebiji coklat di ranum bibirmu.

bila musim rindu aku pandangi.

nampak indah di bibirmu.

aku menunggu musim masak
kan kucetak dengan bentuk mata
agar nampak bila dipandang rasa.

:rinduku menjelma coklat mata beraromah darah.

Malang, 2010