Selasa, 19 Juli 2011

Gemerlap Kampus


Perubahan-perubahan bangsa  lahir dari tempat pendidikan yang bernama kampus. Dan yang menjadi pengerak adalah penghuninya: mahasiswa. Segala bentuk aktivitas mahasiswa selalu dilakukan dalam kampus. Telah  banyak kreatifitas yang lahir dari mahasiswa baik dinamika ide dan praksis perubahan yang mereka apresiasikan di dalam kampus maupun bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dari kampus lahir tokoh-tokoh pemimpin bangsa dengan ide-ide cemerlang yang selalu mempengaruhi dalam  pembangunan bangsa. Ki Hajar Dewantara, Dr. Soetomo, Soekarno, Hatta, Syahrir adalah pejuang-pejuang sekaligus peletak berbagai ide tentang ke-Indonesiaan masa depan. Kampus bahkan telah banyak melahirkan tokoh pejuang muda dengan berbagai ide cemerlang; Arif Rahman Hakim, Soe Hok Gie, dan Ahmad Wahid adalah pejuang muda yang tak sempat merasakan buah perjuangan. Kampus bagi mereka adalah locus, wadah untuk mengembleng dan menguji ide-ide orisinil tentang kebangsaan maupun kerakyatan demi perubahan bangsa.

Semua itu lahir dari kebebasan yang dimiliki kampus dengan wacana-wacana intelektual yang dinamis dan mengalir dalam setiap detak kehidupan akademik. Dinamika pemikiran yang begitu harmonis dalam irama yang konsisten menjadikan kampus sebagai corong dalam penyikapan terhadap berbagai persoalan.  Gelora kebebasan ada didalamnya, sehigga semangat egalitarian tertanam disetiap Ekpresi orang-orang yang ada didalamnya. Dan ini yang membentuk dinamika pemikiran dan apresiasi dalam segala hal. Sehingga tecipta ruang kebebasan dalam berdinamika untuk selalu mengaggas perubahan dan perjuangan terhadap penindasan. dari kebebasan yang selalu dikumandangkan, mencul gejala-gejala yang mempengaruhi pola pikir mereka, sehingga membentuk komunitas-komunitas yang memiliki kesamaan prilaku. Ada sekelompok mahasiswa dengan kesamaan minat pada bidang tertentu lantas bergabung dalam organisasi intra kampus dan atau ekstra kampus.

Akan tetapi apabila kebasan tidak menjikan karekteristik terbentuk dan dialektika ide menjadi berkembang ini akan menjadi masalah terhadap pemaknaan kebebasan yang ada.Dan ini yang sedang melanda kampus-kampus yang ada di bangsa kita dan menjadi luntur nilai perjuangan yang seharusnya diperjuangkan. Ini terbukti ada juga yang salah mengartikan keebasan yang ada yakni berprilaku tidak selayaknya mahasiswa. Sehingga terbentuk karakteristik dan membentuk kelompok-kelompok yang membenarkan prilakunta atas nama kebebsan. Yakni ada mahasiswa yang dalam jadwal hariannya hanya kuliah - kost-kostan tanpa aktifitas tambahan yang lebih berarti. Bahkan, ini tipe paling parah, mahasiswa yang “agenda” utama hariannya adalah mejeng di siang hari dan dugem di malam hari, sedangkan kuliah hanya sampingan/selingan sambil “sosialisasi” atau cari gosip baru. Sehinga warna-warni dunia kampus membentuk spektrum kehidupan layaknya pelangi dengan komposisi warna mulai dari yang paling gelap sampai pada yang paling terang.

Dan kampus  semakin menjadi “gemerlapan”  prilaku mahasiswa di kampus. Gemerlapan disini dalam arti ada pergeseran prilaku yang dialami mahasiswa sebagai agen perubahan dan agen moralitas. Menjadi individualis, egois, cuek terhadap lingkungan, hedonis, konsumeris, dan tak lagi rasional. Kecenderungan ini mengarahkan mahasiswa berlawanan arah, kontra-produktif dengan idealismenya sendiri yang selalu menolak proses kapitalisasi kehidupan. yang selalu menjadikan sesuatu untuk komoditas.  Maka beragam gaya hidup, mode
mahasiswa untuk eksitensinya diruang publik bukan pada kemampuan yang dimilikinya.akan tetapi hal-hal yang sifatnya simbolis dan artificial yakni mode, gaya hidu, dan prilaku hedon. Seperti discotik yang digunakan untuk dugem (dunia gemerlapan ). Dan semuanya tidak terlepas derasnya arus modernitas yang melanda bangsa.
     
Kampus yang seharusnya menjadi tempat diskursus-diskursus ide untuk  perubahan telah bergeser menjadi dunia mode dan gaya hidup.  Tiap hari kita jumpai dalam kampus-kampus ketika mahasiswa mau ke kampus rela merogoh kantong dalam-dalam untuk mempercantik diri ke salon-salon, membeli pakaian-pakaian yang lagi ngetren, pemutih kulit, sun block, bahkan menyiapkan bahan-bahan gosip dari majalah-majalah. Perilaku seperti ini bukan hanya cewek yang melakukan dan rutin, tapi secara ironis cowok juga berprilaku “ke-cewek-an”. Maka tubuh yang berangkat ke kampus adalah tubuh yang tak lagi  alami lagi, telah berbaur dengan beragam zat kimia, terjamah tangan kasar modernitas. 

Naïfnya, beberapa  televise kebanyakan mengambarkan tentang aktifitas dunia kampus, lebih banyak menguak perilaku-perilaku yang tidak layak disebut sebagai cerminan orang berpendidikan di kampus. Tetapi hedonisme yang terlihat dengan apa yang mereka peragakan di klub-klub diskotik. Dugem sebuatnya dimana erotisme diperlihatkan dan tubuh-tubuh sensual dipertontonkan, dan pasti didampingi dengan minuman yang memabukakan sehingga mereka lupa apa yang harus dikerjakan untuk besoknya. Ini sangat berperan sekali,
bahwa media televisi sangat berpengaruh dalam peran pergeseran budaya manusia (Capra;2004 ).  Dan jarang sekali aktifitas seharusnya kampus dicitrakan misalnya dinamika ide, pembebasan rakyat. Belum lagi kalau kita melihat di kampus-kampus  bagaimana pola prilaku mereka, tanpa disadari kita telah melihat talk walk berpindah dan tak mengenal tempat. Berkeliaran busana-busana mewah yang lagi digemari kalangan mahasiswa. Dan tidak sedikit dari situ selalu mengkoleksi busana busana yang lagi ngetren.

Padahal apa yang dilakuakn adalah tidak mencerminkan sejatinya penghuni kampus. Mereka hanya manjadi “pencandu” gaya hidup yang tak sarat nilai. Dan menjadi konsumeristik yang selalu memuaskan keinginan-keinginannya demi mendapat pengakuan dari komunitasnya. Ketika salau satu individu di antaranya tidak mampu mengimbangi akhirnya mereka keluar dari komunitasnya dan diasingkan. Karena tidak memenuhi “syarat-syarat” untuk masuk dalam komunitas yang bergaya hidup tertentu. Yang selalu menonjolkan citra-citra material dari dirinya.

Dalam pola prilaku mahasiswa penghuni kampus tidak selayaknya harus terjadi karena bisa menurunkan citra kampus sebenarnya dan ini yang membuat semakin surutnya pejuangan-perjuangan kemanusianaan yang dilakukan. Dikarenakan mereka disibukkan untuk mempercantik diri dan terbius oleh prilaku yang mengadung unsur kesenangan sesaat.  Kampus menjadi “gemerlap” dan “menidurkan” mahasiswa sehingga mereka hanya memilki sikap bagai mana mendapatkan uang yang tidak dari mana saja, bahkan ada yang rela menjual  tubuhnya. Di karenakan Konsumerisme sudah mendarah daging dan harus dipenuhi setiap hari demi gaya hipup yang mereka tawarkan dalam berkomunitas. Dan kini mahasiswa sebagai penghuni kampus menjadi kehilangan idealisme dan identitas sebagai sejatinya  mahasiswa.

Dari itu semua kita merefleksikan kembali makna kampus yang sebenarnya. Dan idelisme tetap kita junjung tinggi dalam berdinamika di bangsa. Agar bangsa bisa keluar dari krisis-krisis yang telah melanda terutama krisis moral. Kalau ini tidak cepat-cepat disadari maka generasi penerus bangsa akan kehilangan sikap akan kondisi bangsa. Dan terus menerus harus melakukan pembenahan diri agar kualitas diri menampakan wujudnya dalam prilaku di keseharian. Dan lahirlah generasi penerus bangsa yangh cerdas dan mampu memberi sumbangsi pada perubahan bangsa.

Selasa, 12 Juli 2011

Menelusuri Perjalanan Sastra Di Malang* (Pengantar Singkat)

Sebelum saya mulai menulis tentang perjalanan sastra Malang, saya akan bercerita bagaimana saya sampai masuk pada pergumulan sastra di Malang. Tetapi sebenarnya saya, belum berani betul bicara soal perjalanan sastra di Malang. Disebabkan kawan Kholid Amrullah dari komunitas Lembah Ibarat meminta saya untuk menjadi pembicara mendampingi Pak Emil Sanosa untuk berbicara sejarah sastra di Malang. Padahal, saya telah merekomendasikan beberapa nama padanya, ini sebuah permintaan yang tak dapat saya tolak tetapi gamang bagi saya yang belum memiliki kapasitas memadahi berbicara sejarah sastra di Malang. Berbicara sejarah tentu saja ada masa lalu yang direkontruksi, ada masa kini dan ramalan masa akan datang. Saya yang baru mengenal sastra secara intens kurang lebih tiga tahun lalu. Sebelumnya saya banyak diam di kampus dan bergesekan dengan kesenian teater di dalam kampus. Pada tahun dua ribu tujuh, saya dengan modal yang pas-pas-an tentang sastra mencoba memberanikan diri untuk menulis (katanya) puisi yang saya terbitkan secara indie. Pada awal penerbitan buku saya dan dibedah oleh Tengsoe Tjahjonoh—saat itu puisi saya masih proses—saya mengganggap diri saya masih anak bau kencur dengan berani menerbitan puisi tersebut. Tetapi bagi saya adalah proses untuk belajar. Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra: puisi, cerpen, novel, kritik sastra serta buku-buku yang lain.
Dari situlah saya mulai mengenal beberapa kawan yang bergelut dalam dunia sastra. Hal ini sedikit mudah bagi saya, karena sebelumnya sudah banyak bertemu dengan beberapa sastrawan khususnya di Malang lewat perjumpaan-perjumpaan yang berangkat dari seni teater. Dari situlah saya coba telisik (masih belum dalam) sastra di Malang. Saya ingin tahu pendahulu-pendahulu saya berkiprah di Malang. Saya pun mulai aktif di komunitas sastra reboan Poestaka Rakjat yang waktu itu bertempat di Toko Buku Muhammad Nasir. Dari situ saya mengenal beberapa komunitas-kumunitas dan lembaga-lembaga kampus yang bergelut dalam dunia sastra. Pada tahun, sekitaran 2007/2008, beberapa kumintas sering bertemu (bergantian) untuk saling mengunjungi. Saya melihat ada potensi besar yang berada di UIN Malang, saya melihat ada beberapa komunitas di kampus tersebut yang tidak tersetruktur dengan kampus alias kelompok pinggiran (ini sebutan saya terhadap kumintas sastra kampus yang tidak menjadi lembaga intra) di antara nama-nama tersebut ada komunitas Tinta Langit, komunitas Promoedya Ananta Toer, Sastra Parkiran. Di kampus UIN Malang juga ada cerpenis yang pada waktu itu cukup produktif dan pernah memenangi lomba penulisan berskala Nasional bahkan dalam Jurnal Cerpen edisi Muda namanya Azizah Hefni. Selain UIN ada juga di UM yang memiliki lembaga kemahasiswaan kepenulisan yang juga cukup intens membicarakan sastra dan menerbitkan beberapa karya kumpulan puisi juga kumpulan cerpen secara Indie, yakni UKMP (Unit Kegiatan Mahasiswa Penulis). Di beberapa kampus lain saya tidak menjumpai, hanya nama-nama saja dan kebanyakan mereka aktif juga di Teater. Di UMM ada Johan Wahyu, di Unisma saya kurang menjumpai (ada, mungkin saya yang kurang bergesekan), di Universitas Brawijaya saya juga tidak menjumpai (mungkin saya kurang mencari tahu). Inilah pada awal-awal perkenalanku dengan dunia sastra di Malang.
Adapun mereka yang lebih dulu berkecimpung dalam dunia sastra di Malang dengan melakukan pergerakan sastra sebelum tahun 2007-an. Misalnya, perkumpulan Penyair Muda Malang diantaranya yang saya kenal, ada Lodzi Hady, Abdul Mukid, Ragil Suprianto dan beberapa nama yang (mungkin) belum saya kenal. Mereka penyair mudah Malang pada sekitaran tahun 2000-an sering mangadakan pembacaan puisi-puisi di Caffe-Caffe di tempat Umum. Bahkan mereka sempat membuat petisi penentangan sastra koran.
Saya mulai gelisah, muncul kesadaran sejarah tentang sastra. Karena saya hendak belajar tentang sastra, pada siapa saya harus belajar sedang yang saya rasa tidak adanya proses pengkaderan dalam bersastra. Yang saya rasakan, semua berjalan sendiri-sendiri dan sesekali berkumpul di komunitas-komunitas yang ada hanya untuk membacakan karya setelah itu sudah.
Dalam perjalanan akhir tahun 2010 saya mendapati buku Kronik Sastra Indonesia di Malang yang ditulis oleh Suripan Sadi Hutomo pada 1994. Suripan mengatakan, dia tidak bisa melacak sejarah sastra Malang secara pencapain-pencaian estetika sastra, karena sastra di Malang masih dalam bayang-bayang sastra yang berkembang di Jakarta. Adapun terpotong-potong. Lalu Suripan melakukan pembacaan dengan mengumpulkan media-media penyaluran sastra: Koran, Majalah, Buku, Stensilan, Ketikan dan Foto Kopian, dan sastra Melayu Tionghoa. Mari kita telisik perkembangan sastra dilihat dari penerbitan surat kabar atau pun majalah pada zaman kolonial dan sesudah kolonial kira-kira tahun 40-90an. Ada majalah Sasterawan, Majalah Kebudajaan, dan Masjarakat. Sedangkan surat kabar Soeara Masjrakat, Suara Indonesia dan Komunikasi. Semua majalah dan surat kabar tersebut memuat hasil karya sastra, kritik sastra maupun masalah kebudayaan (Suripan Sadi Hutomu; 1994). Sehingga pergesekan, distribusi karya terjadi, hal tersebut mampu memicu saling berkresi dan membaca. Karena yang diterbitkan dalam majalah dan surat kabar tersebut tidak hanya satrawan dari kota Malang akan tetapi sastrawan dari daerah lainnya. Sastra yang lahir dari daerah seperti Malang menjadi perhatian H.B Jassin yang memiliki julukan paus sastra Indoensia tersebut, ia mengatakan bahwa majalah sastra banyak yang lahir di daerah tidak hanya di ibu kota saja, salah satunya adalah Sastrawan Malang (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Hal tersebut menjadi mudah untuk melakukan pendokumentasian nantinya. Seperti yang dilakukan oleh Hutomu terhadap majalah yang tidak saya sebut di atas tetapi memberi sumbangsi juga yakni Brawijdjaja dan Widjaya yang berupa antologi saja, antologi cerita pendek, dan antologi kritik serta esai kesusastraan.
Perkembangan sastra di Malang pada era itu tidak hanya dapat dilihat dari majalah ataupun surat kabar saja, tetapi penerbitan buku juga menamba pembacan dokumentasi untuk melihat kesusastraan di Malang. Di antaranya buku tersebut adalah Angin Lalu buku antologi sajak yang diterbitkan oleh AMSENI (Angkatan Seniman Muda Indonesia, Malang) pada tahun 1955 dengan bantuan seksi Kebudayaan Kota Besar Malang. Bahkan Buku tersebut di ulas oleh Suripan Sadi Hutomo yang diterbitkan dalam Minggu Bhirawa (28, Juni 1980) dengan judul “Angin Lalu: Kumpulan Sajak yang Dilupakan” . Setelah itu muncul pada akhir 80’an muncul cerita pendek Bau (Sanggar Seni Slake, Batu Malang, 1989) karangan dari Tan Tjin Siong. Buku selanjutnya adalah kumpulan sajak Tengsoe Tjahjono, diterbitkan secara stensilan diantaranya adalah Hom Pim Pah (1983) dan Mata Kalian (1984) tetapi jauh sebelum itu penyair Henricus Suprijanto telah menerbitkan kumpulan sajaknya dengan cara stensilan juga yang berjudul “Episode”. Selain itu juga ada beberapa sajak stensilan “Simalakama” yang diltulis oleh Rahardi Purwanto pada tahun 1975, “Mekar” (1975) karya bersama Ven Wardhana, Hen Dr, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto, “Mataair (1977) karya Veven (1989) karya Surasono Rashar dan Eko Windarto (Suripan Sadi Hutomo; 1994). Selain majalah, koran, buku, buletin juga turut mewarnai pendukumentasian karya sastra di Malang, di antaranya ada “Buletin Sastra Aktif” yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer. Buletin ini sangat ampuh memberi ruang pada sastrawan muda Malang. Di batu pada tahun 90-an di Batu ada HP3N, Buletin Sastra Budaya “Kreatif”, Studio Seni Sastra Batu menerbitkan beberapa jurnal yang memuat sajak-sajak penyair nusantra beberapa kali. Forum Pekerja Kota Malang menerbitkan antologi puisi dan Cerpen “Sempalan” (1994), “Pelataran” (1995). Selain itu masih banyak penyair-penyair yang membuat buku secara stensilan. Di antaranya Nanang Suryadi “Orang Sendiri Membaca Diri” (1997), penyair satu ini sampai kini masih mewarnai kesusastraan secara nasional dengan menyemarakkan sastra di dunia cyber dengan mendirikan www.fordisastra.com yang dikelolanya hingga kini. Malang juga memiliki sastrawan yang produktif menulis cerpen hingga saat ini yakni Ratna Indraswari Ibrahim, ada juga seorang penyair dengan karya-karya fenomenal tetapi kini menghilang dari kanca sastra yakni Wahyu Prasetyo. Selain itu, nama fenomenal sastrawan Malang yang tidak bisa dilupakan adalah Hasim Amir walaupun beliau banyak dikenal pada kesenian teater, juga Emil Sanosa penulis naskah drama. Tidak bisa dilupakan juga Komunitas Kayu Tangan dengan gerakannya hingga memprakarsai pembuatan Patung Chairil Anwar di tahun 60-an.
Pada awal-awal tahun 2000-an Tengsoe Tjahjono menerbit buku puisi “Pertanyaan Daun” (2003), antologi puisi bersama yang berjudul SOI (Suara Orang Indonesi) yang ditulis oleh Fajar, Shinta, dan Safir (2004), ada juga buletin yang saya pikir menarik untuk dicermati yakni BACA yang diterbitkan oleh komunitas Bengkel Imajinasi di Komandoi oleh Abdul Mukid , Lozdi Hadi penyair yang kuliah di Unisma sempat juga membuat sastra stensilan “Infeksi” (2005), Komunitas Penyair Muda Malang, sempat juga membuat stensilan antologi puisi mereka. Abdul Mukid membukukan karyanya dalam “Tulis Namaku dengan Abu”, “Berharap di Senja Hari” oleh Denny Misharudin (2007), “Ketawang Puspa Warna” Kumpulan Cerpen oleh UKMP UM, “Indonesia Dalam Secangkir Kopi Pahit” Antologi Puisi Bersama (Poestaka Rakjat), “Do’a Akasa” Antologi Puisi Bersama (Lembah Ibarat), Kumpulan Cerpen (Forum Penulis Kota Malang), Itupun setelah tebit hilang, artinya tidak ada pembacaan dan ulasan-ulasan sehingga kritik dan masukan menjadi pergerakan dan perkembangan sastra yang menarik untuk dicermati. Langkah yang bagus di mulai oleh Komunitas Mozaik dengan membuat kumpulan cerpen yang memuat beberapa cerpenis muda Malang yang berjudul “Pledoi: pelangi sastra Malang dalam Cerpen”. Kumpulan cerpen yang diberi pengantar oleh Ajang Budiman (Derectur Pusat Study Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang), sedangkan nama-nama cerpenis yang termuat karyanya adalah Yusri Fajar, Titik Qomariah, Aga Herman, Azizah Hefni, Liga Alam, Muyasaroh El-Yasin, Abdul Mukid, Wawan Eko Yulianto, Susanty Oktavia, Supriyadi Hamzah, Yuni Kristyaningsih, A Elwiq Pr, Lubis Grafura, Iman Suwongso.
Tetapi semuanya seperti hilang ditelan angin, mencari kemana buku-buku tersebut semua kecuali pada penulis dan hanya beberapa yang saya temui di Toko Buku Kedai Sinau juga Toga Mas. Menjadi agenda bagi pihak yang terkait demi perkembangan sastra di Malang adalah, melakukan pembacaan perkembangan sastra di Malang melaui esai-esai kritik sastra, juga pembuatan jurnal-jurnal yang membincangkan karya sastra bisa juga melalui dunia cyber. Jika hal tersebut dilakukan mak gaya khas penyair dan cerpenis Malang akan muncul, dari perihal tema, pola ungkap, gaya kebahasaan dengan merespon realitas sosial, budaya yang ada di Malang. Maka Malang akan memiliki identitas sastra yang termaktub dalam karya-karya sastra pengarangnya. Hal tersebut bisa mematahkan pendapat Suripan di Waktu akan datang.
Pembacaan yang saya lalukan berdasar ingatan, perbincangan dengan pelaku sastra di Malang, membaca buku, dan tentu saja masih banyak karya-karya yang belum saya sebutkan dan masih banyak kekurangan. Pembacaan perjalanan ini adalah awal untuk membaca sastra di Malang lebih lanjut.

Malang, 20 Maret 2011

*Di Sampaikan pada Diskusi “Sejarah Sastra Malang” Komunitas Lembah Ibarat Malang

Kabar di Hari Minggu

Hari minggu kali ini, menjadi hari yang tidak biasa bagi keluarga Arman. Kalau hari minggu biasanya mereka sekeluarga nyantai di rumah sambil nonton tv bersama-sama. Sulastri sebagai istri bekerja sebagai guru SD swasta di desa tempatnya tinggal juga libur. Dengan hari minggu mereka bisa berkumpul. Arman sebagai suami juga menghentikan semua pekerjaanya di sawah yang dipunya, walau cuma sepetak. Minggu yang tidak biasa, karena mereka di kagetkan surat yang datang dari anaknya. Surat tersebut dibawa oleh seorang laki-laki berbadan tinggi dan tegar. Tak sempat mengenalkan namanya. Ia bercerita. Sebelum bercerita tentang anak mereka, laki-laki itu membuka tasnya dan memberikan surat dari anak mereka.
Laras anak pertamanya, sejak lima tahun lalu tak pernah pulang. Ia pergi meninggalkan keluarganya. Waktu itu Lastri belum menjadi guru di SD yang terletak di kampungnya. Kepergian Laras memang berat buat keluarga yang ditinggalkannya. Laras punya adik dua, satu masih umur 4 tahun waktu itu, sedang adik ke duanya duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Kepergian laras adalah keterpaksaan yang harus dilakukannya karena ia beranggapan anak pertama punya tangung jawab pada keluarga. Keluarga pun harus merelakan demi hidup keluarganya. Pada masa-masa menjelang kepergian Laras, sawah yang dimiliki Arman terserang hama. Kenekatan Laras adalah jalan satu-satunya.
Lewat agen yang ada di kota dengan jarak tempuh kira-kira satu jam. Laras harus mengikuti pelatihan dahulu. Pelatihan ketrampilan bekerja: merawat anak, memasak, dan segala yang berkait dengan pekerjaannya. Laras dengan cepat bisa menguasai. Laras bisa pergi, karena agen yang mengurus segala administrasi buatnya segera membrangkatkan. Keinginan Laras bekerja dengan gaji yang banyak adalah harapannya. Laras pun pergi dengan pesawat dari agen tempatnya mendaftar menjadi pekerja. Sampai di tempat kerjanya, Laras dikenalkan dengan majikan yang telah memesan lewat agennya. Laras senang. Laras memang memiliki kebiasaan yang grapyak sama orang yang baru dia kenal. Begitu pula majikan yang baru dikenalnya. Majikannya punya seorang bayi sama persis seperti adiknya umur dari anak majikan barunya. Gaji Rp. 125.00 perhari, tapi gaji tersebut harus dipotong oleh agen yang memberikan pelatihan, menguruskan administrasinya hingga dia dapat bertemu dengan majikannya. Awal yang indah hingga tiga bulan berlangsung. Laras dapat mengirimkan uang gajinya pada ibunya ketika bulan pertama hingga ke tiga dilaluinya. Bulan-bulan selanjutnya, tak ada kabar lagi mengenai Laras. Sempat Arman menanyakan pada agen yang memberikan pelatihan dan mengurus administrasinya. Pengurus agen tersebut tak menjawab, bahkan tak tahu menahu. Saat itu satu tahun kepergian Laras. Agen tersebut mengatakan bahwa Laras sudah putus hubungan kemitraan sejak enam bulan yang lalu. Arman tak bisa berbuat sesuatu, harus meminta bantuan siapa dan di mana.
***
Anak muda yang tak sempat mengenalkan nama bercerita tentang Laras. Minggu menjadi duka bagi keluarga Arman dan Lastri. Berkali-kali mengucapkan penyesalan kenapa harus mengijinkan Laras pergi waktu itu. Di kampungnya baru pertama kali ada yang berangkat ke Malaysia, yakni Laras. Baru bulan ketiga laras di Malaysia banyak yang berangkat dari mulai anak-anak muda hingga orang-orang tua yang rela meninggalkan anak dan istrinya. Hal tersebut dilakukan karena melihat keberhasilan Laras mengirim uang pada keluarganya. Hampir sama yang dialami oleh tetangga Laras yang berangkat ke Malaysia. Datang-datang ada yang tak mebawa uang malahan membawa istri muda, begitupun anak-anak muda kampungnya Laras, ada yang berhasil dan kabar terus mengalir ke kampung. Ada juga yang bernasib sama seperti Laras, hanya sebulan, dua bulan memberi kabar lalu tak ada kabar.
Kesedian yang dirasakan oleh Arman berbuah senang walapun harus mengeluarkan air mata. Laras masih hidup.
“Lalu, laras sekarang di mana?”
“Ibu coba baca surat yang dari tadi Ibu pegang”
“Apa kabar Emak, Bapak, dan adek-adek. Laras harap sehat-sehat saja. Juga laras sekarang sehat. Ma’afkan Laras, tidak pernah memberi kabar. Laras sekarang sedang bekerja sebentar untuk cari uang buat pulang. Ma’af mak, nanti kalau Laras pulang tak membawa apa-apa. Hanya sesuatu yang berharga buat Laras. Semoga Mak juga senang. Bila ingin tahu kondisi Laras secara detail. Tanyalah pada yang membawa surat ini. Tahun depan mungkin Laras pulang. Sudah ya Emak, Bapak dan adik-adik. Laras mau bekerja dahulu. Bekerja seadanya untuk mencari uang saku. Semoga Tuhan masih mempertemukan kita.”
Singkat sekali surat yang ditulis Laras. Hingga keluarganya masih menyimpan tanya.
“Dik, ceritakan. Ada apa dengan Laras”
“Bu Lastri dan Pak Arman, harus tabah. Sejak empat bulan awal, Laras sudah tidak bisa berkirim surat dan mengirim uang lagi. Laras tidak digaji. Laras diawasi oleh majikannya. Jangn kaget ya, Bu. Laras diperkosa oleh anak majikannya. Lalu laras melambaikan tangan dari cendela. Jika ada isyarat begitu, maka itu adalah seseorang minta bantuan. Lalu kami mencari akal, bagaimana menyelamatkan Laras. Sebelum itu, Laras menjatuhkan kertas ke bawah lewat cenjela yang terbuka. Dari situ kami tahu, ada saudara sebangsa minta tolong. Kami masih berunding dengan teman-teman. Tapi ketika akan melaksanakan rencana kami. Laras sudah di bawa oleh polisi Malaysia. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mau melapor juga sudah jerah. Tak pernah mendapat perhatian dari petugas negara kita yang ada di sana”
Tangis Lastri semakin menjadi-jadi, Arman menenangkan bersama adik-adik Laras.
“Lalu, apa yang kalian lakukan”
“Kami tak berani mengunjungi Laras di penjarah. Kami juga takut sebab paspor kami mati. Kalau paspor mati, kami juga bisa masuk penjara”
“Apa, Adik, dan teman-teman adik tak mengurusnya”
“Kami sempat hendak mengurusnya. Ketika itu KBRI yang ada di Malaysia berjubel orang-orang sebangsa mengurus administrasi di sana. Tapi perlakuan petugas KBRI pada kami tidak membuat kami senang. Terutama saya. Bahkan saya hampir saja berkelahi karena harus menangkis pukulan tongkat yang hendak dijatuhkan di kepala saya. Hambir semua kena pukul. Karena saya merasa manusia yang harus diperlakukan layaknya manusia dan kecewa dengan perlakuan petugas KBRI yang ada di Malaysia. Saya pun balik tak mengurus paspor saya. Keberadaan saya pun ilegal. Saya merasa tidak aman diterotorial harusnya melindungi kami tapi malahan membuat kami menderita”
“Oh, ya dik. Saya lupa menanyakan nama njenengan”
“Nama saya Ahmad Pak. Tolong Pak, beritahukan pada tetangga bapak. Lebih baik bekerja di kampung sebagai petani dari pada harus pergi ke negeri orang yang tidak aman buat keselamatan. Tapi kalaupun harus bekerja di Malaysia lebih baik diperjelas agen yang akan membawanya. Kerja yang lumayan aman adalah bekerja di pabrik yang ada di sana. Keterjaminan tersebut karena ada undang-undang yang mengaturnya. Tapi lebih baik tidak Pak”
Pak Arman dan Bu Lastri senang tetapi juga resah. Apa yang dibawa anaknya. Kenapa harus terjadi begitu.
***
Minggu di tiga bulan sesudah Ahmad ke rumah mereka. Seorang anak kecil mengetuk pintu rumah mereka. Semua yang ada di dalam terheran. Siapa anak itu. Mereka bertanya-tanya. Dari belakang Laras dengan mententeng tas. Seketika air matanya keluar.Bedungan ketabahannya tak menahan. Mereka saling rangkul dan peluk.
“Itu yang Laras bilang di surat, Mak. Laras hanya bisa membawa itu. Mak dan Bapak pasti sudah dapat cerita dari Ahmad. Mak, ma’afkan Laras Mak. Laras tidak bisa berbuat sesuatu. Laras sedang berfikir. Bagaimana Fatoni kalau sudah besar nanti menanyakan bapaknya. Laras tidak tahu Mak”
Sulastri mengusap air matanya.
“Sudalah, nduk. Sekarang kamu istirahat dulu. Tenangkan dirimu. Ketika kondisi sudah membaik. Kita fikirkan nasib Fatoni. Emak dan Bapak telah menerima kamu dengan segala hal yang terjadi. Terpenting bagi Emak adalah kamu selamat”.
Fatoni berlarian di halaman rumah. Laras duduk menunguinya. Sambil menerawang matanya. Membayangkan nasib Fatoni di masa akan datang.
Lamongan-Malang, November-Desember 2010
(Terinspirasi dari cerita teman, mantan TKI di Malaysia)

Senin, 11 Juli 2011

Aku tersesat di Rambutmu, dalam Kitab Suciku

adinda, kemana kau pergi.
rambutmu berjatuhan di jembatan rinduku.
baru saja aku dengar lantunan ayat-ayat suci
dari jejak kakimu. seketika itu, kau menghilang.
aku lihat kelelawar berterbangan di kamarku.
kelelawarkah yang membawamu pergi dari
rumahku. senja datang, aku kesepian.
mataku terpejam, hari menjadi malam.
kamarku kosong, langit malam menanti.
ada bintang sendiri, ketika rembulan tak datang.
angin tak berkutik sembunyi di bibir hidungku.
aku tarik nafas panjang agar kau datang kembali.
tetapi rembulan yang datang. padahal, bukan
rembulan yang kuharapkan. sebab aku bukanlah bintang.
aku melihat bidadari menari bersama datangnya rembulan.
bintang menyambutnya dengan menyodorkan tangannya
pada bidadari. aku masih tetap sendiri, dengan nafas yang
terjenggal menantimu. aku melihat wajahmu ada di punggung
bidadari sambil menggeraikan rambutmu.
kenapa kau tak turun adinda, teriakku.
gerak tubuh bidadari sedang bercinta dengan rembulan
dan bintang, ada kau di sana. rupanya kau ikut bercinta
dengan mereka. aku terdiam dengan kecemburuan.
memukul kepala berkali-kali hingga tumpah menjadi
sebuah peta yang gelap tak bisa terbaca. walau lampu
penerang memberikan cahaya dalam kamarku.
adinda, kalau saja kau katakan lebih awal tentang percintaan.
tentunya aku akan mengadu pada rerumputan yang bergoyang
di savana, saat kita sedang bercinta dulu.
kau menulis kata-kata puisi yang membuatku sakit hati.
kau kirim dengan menyambung rambutmu menjadi temali.
adinda, harum kamarku saat kau disini. kini tak ada lagi.
aku membuka kitab suci. ada rambutmu. apakah ini
jembatan yang menghubungkan surga buatku.
apakah kau menungguku di surga bersama bidadari.
ah, aku menyusuri huruf hijaiyah mencari dirimu
di sela harokat-harokat yang menjadi bunyian indah
di dadaku. aku bertemu maryam. ia menghiburku
dengan kesetiaannya pada tuhan. hingga tak mau ada
lelaki bercinta dengannya, kecuali tuhan. ah, apakah tuhan
laki-laki tanyaku. dia akan menjelma pada siapa saja yang sepi
hatinya merindukan peluknya. maka datanglah tuhan
mencari hati yang tergetar. aku pun tergetar, katanya.
maryam mengusirku sebab ia akan bercinta dengan tuhan.
aku pun melihat tuhan dalam diri maryam.
aku masih saja memotong-motong huruf
yang ada dalam kitab suci. ada aisyah sembunyi
sedang bernyanyi bersama muhammad, takut
tuhan akan tahu. bahwa ia sedang selingkuh.
desah nafas aisyah seperti nafasku yang tersenggal.
aisyah mendekat padaku, memberikan nafas
sejenggal padaku meninggalkan muhammad.
lalu pergi mengantarkanku pada fatimah. diam-
diam ia membawa selimut buatku yang kedinginan
tanpa pelukmu, adinda.
adinda, dimana kamu? tubuhku lelah mencarimu.
datang khotijah padaku, membelikan aku sepeda
untuk mencarimu. aku mengayuh terus hingga
perutku lapar. aku temui masitah. ia menjadi menu
makan siangku. dalam tangis yang matang tubuhnya
ia memberikan aku semangkuk rindu, mengantarkanku
pada rabi’ah. ah, aku tak mau. aku masih belum mampu,
untuk tak bersama dengamu, adinda. rabi’ah mengusirku
melemparkan aku pada tengah-tengah rambutmu dan
memberikan aku api dan air. aku tak bisa. masih belum bisa,
aku tak bisa lihat wajahmu, aku tersesat di rambutmu, adinda.
bidadari yang mengajakmu bercinta dengan rembulan
dan bintang menepuk dadaku. aku diam. ada kamu di kitab
suciku. dan rambutmu patah. aku tersesat olehmu.
Malang, 20 November 2010

Pengusuran Dalam Pementasan Teater

Setan ora doyan
Demit ora dulit
Banyak orang mabuk duwit
Njarah milik banyak orang


Dimulai dengan pengucapan mantra di atas, lampu sedikit mulai mencahayai pentas. Berdiri lima patung dan seorang sedang memimpin ritual serta dua orang mengikutinya. Sebuah hal biasa kita jumpai jika sebagian masyarakat kita, meminta bantuan dukun untuk menyelesaikan permasalahannya.

Tetapi yang menjadi sesembahan mereka adalah patung pejuang, dengan adanya ritual tersebut patung-patung tersebut tidak terima. “Bukannya di lanjutkan perjuangannya tetapi di sembah dengan meminta permintaan-permintaan yang tidak rasional” dialog para patung monumen.
Itulah awal gambaran sebuah pementasan Monumen Karya Indra Tanggono yang di adaptasi dan di sutradarai oleh Leo Zaini dalam acara ulang tahun Teater Pelangi Universitas Negeri Malang.
Dua setting tempat untuk memisah dua alam yang berbeda, pertama adalah roh-roh patung monumen dan kedua adalah kehidupan masyarakat yang mendiami daerah sekitar patung monumen untuk bekerja sebagai pelajur, sembunyinya para pencompet dan gelandangan.
Gaya karikatural yang dimainkan oleh para roh-roh patung sangat menarik dan cair sehingga penonton di buat gelak tawa yakni kenangan-kenangan waktu berjuang, serta siapa yang layak di sebut sebagai pahlawan diantara lima patung pejuang monumen tersebut. Tidak hanya saling ejek, para pejuang tersebut juga mengungkapkan keluh kesah dengan nada-nada liris: berpuisi, tidak kalah mengahrukannya.
Di sisi lain kehidupan para pelacur dan pencopet serta gelandangan tidak kalah menyedikan dengan di utarakan kisah-kisah kehidupan mereka yang pedih harus memperjuangkan hidup yang layak.
Serta ketakutan-ketakutan mereka ketika salah satu diantara mereka menerima uang dari seseorang pejabat yang tadinya minta diselamatkan oleh Yu Seblak yakni salah satu pelacur yang menyamar jadi dukun. dikarenakan uang yang diberikan adalah hasil dari korupsi. Dalam hal ini walaupun mereka pekerjaanya melanggar norma sosial atau norma susila tetap mereka tidak berani menanggung resiko lebih besar denga menerima uang korupsi.


Mengangkat Tema Kontektual


Pangung mulai menegangkan dengan adanya isu pengusuran yang akan dilakukan pemerintah daerah setempat, hal tersebut di-dapatkan-nya informasi dari koran oleh salah satu tokoh gelandangan. Ada yang percaya dan ada yang tidak percaya, para penghuni sekitar monumen tersebut saling berdiskusi. Kalaupun benar apa yang harus mereka lakukan salah satu pembahasan mereka.
Akhirnya datang dua orang tokoh yang memerankan sebagai orang pemerintahan yang bekerja di dinas kebudayaan dan pariwisata, melihat lokasi tersebut. Kegelisahan para penghuni sekitar monumen terbuktikan.
Konflik-pun semakin memuncak ketika kedatangan tokoh yang memerankan kepala daerah setempat di dampingi seorang pemilik modal dari asing. Kepentingan mereka adalah menggusur monumen tersebut dan mengantikannya dengan pertokoan. Namanya penguasa kota, apapun kebijakannya pasti terlaksana, apalagi akan mendapat uang banyak dari pemilik modal yang mendanai proyek tersebut. .
Tidak hanya para penghuni monumen mulai resah, tetapi roh-roh para monumen pun resah dan harus melakukan perlawanan. Tetapi apa daya alat-alat berat datang dalam bayangan imaji para tokoh. Mereka semua tidak berdaya dan porak-poranda monument tersebut.
Riuh tepuk tangan mengakhiri pementasan monumen dari Teater Pelangi Universitas Negeri Malang. Penonton-pun bernafas lega sehabis bersesak-sesakan demi untuk menonton pertunjukan tersebut. Maklum gedung perkantoran dan perkuliahan di sulap menjadi gedung pertunjukan. Bahkan ada yang tidak bisa masuk sebab tidak muatnya gedung tersebut.
Sebuah pertunjuangan yang penuh apresiasi tetapi tidak di barengi dengan fasilitas yang layak. Sebab di kota malang untuk menyelenggarakan pertunjukan teater harus banyak akal untuk menyulap gedung-gedung perkulihaan ataupun lorong-lorong perkantoran di beberapa kampus di Malang adalah hal biasa, sebab tidak tersedianya gedung seperti Cak Durasim, atau Balai Pemuda di Surabaya.
Pementasan yang tidak hanya sekali, sebelumnya khusus di saksikan pelajar-pelajar kota malang tanggal 16 Februari 2009 sore dan Untuk Umum tanggal 17 malam untuk umum. Tema yang di angkat juga kontekstual dengan kondisi di Malang. Seiring adanya banyak pengusuran serta alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah kota demi kepentingan modal. Contohnya: Matos, Mog, dan Rampal, Tanjung. Padahal tempat-tempat tersebut adalah tanah serapan yang menolong ketika hujan tiba, akan tetapi sekarang berdiri pusat pembelanjaan dan tempat hiburan.
Untuk mengakhiri tulisan ini ada beberapa catatan secara teknis dari pementasan monumen oleh teater pelangi yakni tata cahanya yang kurang mendukung pergerakan tokoh-tokoh di panggung serta sedikit lemah penokohan pemain yang memerankan masyarakat sekitar monumenen. 

Minggu, 10 Juli 2011

Parade Puisi

Ular yang Keluar dari Jubah Zirah

kun. katakanlah, segalanya jadi ada.
melilit turun dari sorga. membawa kitab
suci yang tercuri dari jubah zirah. 
kulitnya mengelupas, permuda wajahnya.

kun. katanlah, bisa racuni kata dengan protes
mantra . sebab, tak ada sungai mengalir dan
bidadari cantik dengan tubuh telanjang
sedang memanjanya.

adam dan eva kembali ke sorga.
berkendara ular yang keluar dari jubah zirah.
meninggalkan kitab suci keabadian cinta.

Malang, 2010


Khuldi di Ranum Bibirmu

aku terbius
oleh tubuhmu. 
mengecup mesra

pada bibirmu. 
ingatanku membaca
adam dan eva. 

rasa pahit
ketika buah khuldi
ada di lidah. 

aku dan kamu
naik ke sorga. 
sebab aku
bukan adam
dan kau bukan eva. 

aku menjadi ular
masuk lewat pintun sorga
dan kau yang membuka.

Malang,2010

Tabiat Ular

memasuki mimpi perjaka
berkejaran di awan jingga.

Iqlima perawan sogra menyapa
membangun singgasana pengantin purba. 
mencipta lubang ular-ular untuk bertelur luka
menetaskan kebencian Qobil serta Habil. 

persembahan sesaji tak sempurna
sebab bisa memeluk tak sampai purna.

Malang, 2010

Lubang Ular

jalan menuju sorga
dengan desah dan air mata

Malang, 2010

Parade Puisi

Ketika Kereta Membawa Rembulan

batu-batu diterpa bayangan  
dari tubuhku pandang purnama  
berkilauan membias wajah 
besi tua berciuman dengan terang

cahaya bulan 
 
sebentar lagi kereta melaju  
lewat jalur lurus sedikit menikung 
 
balok-balok kayu penyanggah  
hampir rapuh masih utuh 
dari pohon jati masa lalu 
sebagian sudah berubah

dari beton masa kini 
 
stasiun yang menghentikan kereta  
sepi dari hiruk pikuk petugas penjual karcis─  
loket tutup  
 
(rembulan masih terang dengan bidadari  
dan kucingnya berayunan menunggu  
kereta langit menuju bumi) 
 
deru kereta melintas  
dari ujung arah berlawanan 
 
melinang air dari mata kali  
sumber mengabdi  
pada dongeng kala kenangan

menyapa 
 
kereta melaju  
aku terdiam kaku 
 
rembulan terseret rantai besi  
bidadari dan kucing menggelinding  
ke arah barat dan tidak kembali.
 
menunggu mereka─ 
aku masih bermain bunyi  
dari batu yang aku lempar pada batang rel kereta 
mengharap kembali bidadari dan kucingnya  
bermain ayunan ketika purnama  
 
akan kupandang─ 
rinduku mengeja 
pada dongeng moyangku. 

Malang, 2010 
 
 
Membakar Waktu

ada muasal kata  
lewat dedaunan layu  
diterpah kehangantan  
saling gesek bergesek  
memainkan nyanyian  
kekeringan  
dalam tanya  
pepohonan  
sedang meranggas kesepian. 
 
waktu melahan berkunjung  
pada arah matahari sunyi  
beri kabar betah untuk tinggal  
di bingkai:  
tanah retak  
rumput kering  
daun jatuh  
buah jagung berkembang.  
 
adakah yang paling sepi  
saat waktu terbakar  
menyangsikan musim hujan 
terburu-buru pergi 
 
pohon jati berdiri 
menahan tubuh perih 
rontok daun membelai 
api.

Malang, 2010


Pada Gadis Serupa Layla 
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku 
 
lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.  
o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku. 
 
kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama. 
 
romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi. 
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya. 
 
ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.  
 
mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu. 
 
Malang, 2010


Perjamuan Senja
:khotbah zarathustra di atas bukit 
memberi kabar kematian tuhan dari hutan 
 
mengambil langkah jejak-jejak resah 
kalbu dirundung sepi menepiskan gadisnya 
tak ada syahwat terbaca hanya lingkar tanya 
 
kuda-kuda meringkik dalam gelombang masa 
membawa ujaran dari hikma sang petapa 
melengking di dinding-dinding telinga 
membasuh pada gugatan amarah  
mencari daya dari diri yang membara 
 
waktu pada ujungnya melawat 
menemui ajal atas kematian 
antara tuhan dan mahluknya 
merekat dekat dalam kalbu hati 
saling bicara dan merasa 
 
menelesap pada senja kuasa 
zarathustra mati jatuh pada jurangnya 
dan tuhan pun mati dalam khotbahnya 

Malang, 2010 
 
 
Waktu Membatu

aku menatap batu cadas 
di atas bukit rindu 
mengaca pada bongkahan ragu 
 
menanti masa 
aku membatu dalam gagu 
bukit mengalunkan nada-nada perdu 
lewat angin: bergesekan dedaunan biru 
dalam penjara waktu 
 
waktu bergeser 
saat rintih hujan 
menyeruh runtuh 
 
sadar beku tak menentu 
sadarkan diri pada waktu 
menanti: memecahkan hati batu 
 
Malang, Mei 2008


Waktu dan Buku

Bukankah ia berjalan tak berhenti 
Melintasi sejarah detik-detik pejalan kaki 
Sambil memunguti pertanyaan dan jawaban bekal mati 
 
Gelap bila tak ada kendali 
Terbawa begitu saja tanpa tersentuh hati 
 
Terang bila punya mimpi 
Membawa langkah berserah diri 
 
Aku yang mewaktu  
Sembunyi dalam buku 
Tak sempat bercumbu 
Sudah luka terburu-buru 
 
Bukankah itu dulu? 
Ketika kebebasan terpenjara dalam waktu beku 
 
Kenapa menjadi kini?  
Belum sempat aku kenali sudah mati 
 
Aku dalam buku 
Beku mewaktu 
Ketika detik terbunuh 
Sejarah berulang lalu 
 
Malang, Desember 2009


Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati

Aku pernah memenggal nama tuhan  
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya 
 
Batu batu kerikil tajam melukai kakiku  
di jalan menapaki pertapaan. 
 
Kesunyian singgah dalam kesilaman masa 
keharuan menebar putik-putik kamboja  
lelah dengan mudah 
 
Bayangan-bayangan kematiannya 
bergelayut di dinding nalarku penuh angka 
 
Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah 
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa 
 
Penempaan akan diri  
kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama 
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah. 
 
Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi  
di puncak perbukitan dimana tuhan pernah aku makamkan.  
 
Seketika mulutku berkhotbah 
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih 


Jogja-Gunung Kidul 2010 
 

Kun

dari pepohonan  
terselip cahaya  
berpendar-pendar 
membelah dedahanan  
dari muasal kata  
kehendak merabah. 
 
mencipta kegoyahan 
bila tak dapat peluk sinarnya  
 
hanya kekosongan  
akan dekati raga 
 
tak ada yang indah  
selain kemilaunya 
 
tertangkap batin  
menjelma kesempurnaan daya 
 
mengenali kulit ari dan getah  
melekat pada dada. 
 
satu, dua, nama terbaca  
dalam kenang muasal ada. 
 
api dan tanah bergelora  
mengikatnya dari kehampaan  
memasak menjadi kisah. 
 
tiupan angin 
belaian dedaunan  
bergesek-gesekan ranting  
patah jatuh menimpa wajah 
 
kun,  
mata terbuka 
terlihat nyata

roh dan jasad 
berkelana menelusup  
belantara kata-kata 
 
Malang, 2010


Mencari Jejak Terakhir
 
Pada garam yang tersebar di pantaimu aku memunguti satu-persatu. Tanahmu tak lagi bisa membekukan asin di tanganku. Membuat jejak kakiku tertinggal di perjalanan ke rumahmu. 

Masihkah kau ingat waktu itu. Aku menari malambai memanggil namamu. Dari kejauhan. Ketika kau hendak mengubur jejakku di pantaimu. 
 
Langit menghitam angin kencang. Meniupmu ke tepi laut yang tak asin lagi. Sebab, rasa asinnya. Telah aku telan semuanya. Tak ada lambaian tanganmu, karna kau sibuk mengubur jejakku dengan air laut yang kau ambil dari dasarnya. 
 
Sudahkah kau tahu, di mana letak jejak terakhirku?

Kau masih sibuk mencarinya. Bersamaan dengan petir, kau ambil  dan hujan menderu. Kau tertawa tak pernah kembali. Sehabis kau menuliskan pesan di pasir tentang jejak terakhirku.  
Aku mengunyah asin garam laut dari pantaimu. 
 
Malang, 2009 
 
 
Balada Putri Sido Maya 

takdir kasih adalah keniscayaan anak manusia 
pada pilihan  tambatkan diri  
merebahkan dalam buaian rindu 
laksana kekumbang dengan bebungaan 
cahaya memancar berkilauan: purnama cinta 
 
sewaktu asmara memancang kuat 
tergiringnya pada tarian duka 
apalah hendak dikata tak punya kuasa 
atas nama kehormatan, kandas harapannya

keris serta darah putih menyatuh:

penyesalan pemilik tahta 
bertahun tahun-tahun mengharap 
malaikat mendiami singgah di kampungnya 
wasiat sang alam padanya

untuk dicarinya 
 
(di tangan sang raja tubuh malaikat dibunuhnya) 
 
sang putri berlari mendiami bukit 
cahaya kemerahan telah padam 
tak kuat menghadap siksa mesrah yang terbelah 
atas kegelapan sang bapak membaca petanda  
hendak meminangkan pada pemilik tahta dan harta 
 
perbukitan menjuluk* tempat ia bersemedi 
bertahun-tahun menyiksa diri dalam sepi 
kekal dalam ayu perempuan suci 
menghantui kisah waktu
sejarah masa dulu 
 
Malang-Lamongan, 2009 

*gunung yang ada di daerah sedayu lawas
putri sido maya=putri sido ayu sekarang sebagai nama desa di lamongan pesisir yakni Sedayu Lawas. cerita ini beberapa versi.

Jumat, 08 Juli 2011

Lakon Sandiwara

Ketika gedung sudah menjadi gelap dan cahaya remang-remang memancar di panggung yang serba hitam dengan properti meja kursi serta ranjang tempat tidur. Nampak gadis sedang memandang resah dengan tatapan kosong. Aku sebagai penonton terus memperhatikan ekpresi wajahnya. Tak berubah dari detik pertama hingga menit ke lima. Musik biola mengalun menyayat. Gadis di atas panggung nampak jelas, lampu biru dan merah tertangkap oleh tubuhnya. Ia mulai memukul-mukul ranjang tempat tidur yang terletak di bagian belakang sebelah kanan pangung. Suaranya terdengar lirih menyambut nada biola yang menyayat, berlahan sirna. Ia memangil-mangil nama yang tak asing bagiku. Nama-nama yang aku temui dalam cerita dongeng kecilku, dari kakek menjelang tidur malamku. Mataku mulai kosong, pangung menjadi gelap. Wajah kakekku muncul tepat di tengah pangung, ia sedang mendongeng seperti masa di mana aku kecil dulu. Sebentar saja, tidak lama. Tubuh gadis terlihat kembali dengan darah di tangannya dan pisau yang meneteskan warna merah di ujung lancipnya.
Gadis, Kakek. Bergantian memeras kata masa-masa aku kecil dan dongeng yang aku tak pernah ingat detail kisahnya. Nama-nama masih disebutnya. Antara dulu dan sekarang tak ada batasnya. Mungkin saja dunia pangung itulah yang menciptakan ruang maju dan ruang mundur saling bersilang dalam satu waktu. Ah, aku masih heran dengan gadis yang memainkan lakon sandiwara. Tiba-tiba ia lenyap berganti perempuan tua dengan kulit keriput mendendangkan mantra-mantra penolak bala yang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Perempuan tuapun merebahkan dirinya di ranjang—sebentar-bentar bangun-- duduk di meja sebelah kiri depan di panggung. Menuang air dan minum mendesahkan nafas panjang. Matanya menjadi merah, cahaya lampu dari depan memfokus wajahnya. Ia mulai mengiba-iba pada nasibnya. Pada kekasih masa mudanya yang entah ke mana. Dalam mimpinya, ia bercerita, pernah betemu dengan kekasihnya mengajaknya menari-nari sambil berkidung-kidungan. Saat itulah kidung dandang gula menyapa telingaku. Ingatanku kembali pada nenek yang saban malam suka mengidung di samping kakek, ketika hendak menidurkanku. Dongen dan kidung bergantian mengantarkan mataku terpejam saat itu.
Suara gendang yang berdentang rancak. Aku tersadar. Gadis yang aku lihat pertama tadi sudah berubah menjadi gadis manis wajahnya riang sambil membawa bunga mawar. Entah mawar dari mana? Aku menjadi heran dengan diriku kenapa waktu bisa menjadi patah. Apa karena mata gadis lakon sandiwara yang tajam menatapku menarik ke masa lalu. Memanggil nama-nama dari dongen yang aku pernah dengar dari kakekku juga kidung-kidung dari nenekku. Siapa sebenarnya gadis itu. Tokoh siapa yang sedang perankannya? Pertanyaan tentangnya masih berkecamuk: antara ingatan dan mata memandang pangung pertunjukan.
Gadis lakon sandiwara kembali memanggil-mangil nama-nama dari dongeng masa lau.
“Arok, ke mana saja kau. Empu gandring sedang menunggu untuk beradu kesaktian. Saktikah kau tanpa tipu daya. Bila kesaktianmu masih ada lekaslah ke kalangan. Orang-orang menatimu, membawa bunga mawar untukmu. Untuk menunduk pada siasatmu. Siasatmu ampuh. Kekasihku juga mengagumimu. Dia menyuruhku membawa mawar untukmu. Agar aku merayumu hingga Ken Dedes cemburu”
Aku merasa aneh, kalimat yang diucapkan oleh gadis di atas pangung. Kisahnya yang pernah aku tahu tidak begitu. Pertunjukan macam apa? Lakon apa? Gadis itu berperan sebagai apa?.
Dari balik balik gelap gedung pertunjukan di belakangku. Aku melihat wajah merah menyala tanpa tubuh. Aku berteriak-teriak tak ada yang mendegar. Semua penonton masih asyik melihat adegan gadis sedang meratap-ratap, sebab pangilan yang ia ucapkan tadi tak ada yang menghiraukan. Wajah merah menyala terjatuh di atas pangkuan gadis. Aku berteriak ketakutan. Tetapi semua penonton tertawa terbahak-bahak. Gadis yang ada di atas pangung tersenyum. Membelai rambutnya, wajah merah menyala. Tanpa tubuh hanya kepala. Gadis tidak takut. Penonton tertawa. Aku berteriak tak ada yang melihat.
Gadis lakon sandiwara kembali membuka mulut. Sambil mententeng kepala wajah merah menyala. Ia duduk diatas ranjang.
“Ametung, ke mana saja kamu. Kakandaku telah menunggumu di sini. Kemarilah jangan diam di dalam rahim Ken Dedes. Bukan berarti aku mengingatkanmu pada istrimu itu. Hanya saja Ken Dedes Hamil. Dalam kandungannya itu adalah kamu dengan wujud baru”
Ah, apa lagi ini. Dialog yang tak jelas. Gadis di atas pangung telah mengobrak-abrik Pararaton. Kisah yang dulu di dongengkan Kakekku.
Seruling jawa memainkan harmoninya. Tiupannya sampai ke dalam jiwa. Harum bunga-bunga berterbaran di atas pangung. Perempuan itu tertidur di atas ranjang. Wajah yang merah menyala tergeletak dikursi. Aku mengambil nafas panjang. Menyentuh penonton sebelahku. Aku menatapnya. Wajah yang sama aku lihat dengan Gadis lakon sandiwara yang aku tonton.
                                                                ***
Sebelum pertunjukan usai, aku lari keluar gedung pertunjukan. Sampai ditempat aku membeli tiket masuk pertunjukan. Aku melihat gadis lakon sandiwara di depan sambil merenung. Hah, apalagi ini. Siapa yang di panggung dan siapa itu, hatiku berkecamuk antara takut dan ingin tahu. Aku pun memberanikan diri mendekatinya. Tetapi masih saja bergelut dalam diriku, antara keberanian dan ciut nyali. Kakiku sudah berjarak 30 cm darinya, ada beban berat. Aku angkat kakiku, mendekat dan aku pegang rambutnya. Sambir membiarkan rasa penasaranku. Aku bertanya
“Kenapa tak masuk?”
Tak ada suara yang membalasa pertanyaanku. Aku menjadi takut, harus aku lari atau bertahan untuk mengetahui kejelasan siapa dia dan apa hubungannya dengan pertunjukan sandiwara di dalam gedung.
“Kau tak suka sandiwara?”
Aneh, masih belum mau bersuara. Biasanya kalau ada seorang duduk di luar gedung pertunjukan ketika ada pertunjukan sandiwara, dia mengantar kekasihnya yang sedang menonton sedang dia tak suka sandiwara atau dia mengalami kejenuhan menonton lalu dia keluar. Tapi, wajahnya mirip sekali dengan gadis pemain lakon sandiwara di dalam gedung tadi.
“Kau menunggu siapa?”
Aku menanti beberapa detik kemudian. Bukan jawaban yang aku dapatkan, suara tangis. Suara tangis yang berlahan mulai keras. Ketakutanku muncul kembali, hendak aku lari, tanggannya memegang kakiku. Tangisnya semakin keras, aku berusaha melepaskan genggaman tanganya yang berada di kakiku. Tapi sia-sia, semakin kencang, aku jatuh. Tangisnya berlahan meredah. Aku tak sadar, ada lampu menyala dari atap depan gedung pertunjukan. Lampu yang menyala merah. Tiba-tiba saja gelap, lalu nyala. Aku berada di atas pangung pertunjukan. Aku harus berbuat apa, seratus lebih pasang mata menatapku di sini. Gadis itu tak lagi memegang tanganku. Tapi tetap sesenggukan.
“Mas, kau yang telah membunuh suamiku”
“Kapan, aku membunuh suamimu?”
“Mas, masih saja tidak mengaku”
“Aku benar-benar tak tahu”
“Ya, sudah. Kalau mas tak mau mengaku”
Gadis itu berlahan membuka jarit yang ia kenakan. Aku hendak lari tak bisa. Mulai terbuka,  ada wajah-wajah masa lalu. Ada wajahku.
“Ya, aku tahu. Waktu itu, aku telah mebunuh suamimu. Tapi semua sepadan dengan kutukan yang aku terima. Kau juga menerimanya. Kita adalah sama-sama serakah”.
“Malang, sekali kau sayang. Sungguh malang. Mari kita tuntaskan kisah kita”
Gadis itu memegang keris. Gadis itu hendak mebunuhku.
“Clep.., mampus kau”
Ada wajah masa lalu, saling bergantian menampakkan dirinya. Wajah kakek, wajah nenek, wajah orang-orang yang aku temui dalam cerita, wajah orang-orang yang aku temui di kotaku singgah.
                                                                    ***
Lampu gedung pertunjukan menyala terang. Orang-orang sedang sibuk membereskan panggung. Tak ada satupun penonton yang tertinggal, kecuali aku. Lalu aku melangkah keluar gedung. Aku melihat wajah gadis lakon sandiwara duduk merenung. Aku menyapanya
“Kok, sendirian?”
“Iya, lagi ingin sendiri mas. oh ya, actingmu tadi bagus”
Aku terheran. Sambil lalu aku melangkah pulang.

Malang, Januari 2011