Jumat, 24 Agustus 2012

Ramadhan dan Kemeriahan Musik Patrol


Oleh: Denny Mizhar*


Indonesia yang mayoritasnya adalah berpenduduk muslim tentu saja ketika bulan suci Ramadhan tiba akan disambut dengan meriah dan suka cita. Ramdhan adalah bulan penuh berkah dan amalan baik akan dilipatgandakan. Ramadhan di Indonesia tentu berbeda dengan belahan dunia lain aktivitas masyarakat muslimnya. Percampuran budaya lokal dalam beragama kerap kita jumpai di Indonesia, salah satunya adalah musik patrol. Kita tidak akan menjumpai musik patrol di negara-negara lain. Musik patrol itu berasal tradisi masyarakat Jember yang hampir memiliki kesamaan dengan tradisi masyarakat Madura perbedaanya adalah pada alat musiknya, kalau Madura mengunakan seroneng sedang Jember mengunakan seruling (http://jemberspot.blogspot.com/2008/12/musik-patrol-benarkah-musiknya-orang.html). 


Musik patrol digunakan oleh masyarakat muslim untuk membangunkan umat muslim lainya ketika waktu sahur tiba dengan berkeliling. Tetapi musik patrol tak hanya berhenti ketika waktu sahur tiba. Selain itu sering dipanggungkan di pentas-pentas kesenian hingga dilombakan. Meski indektik dengan tradisi masyarakat Jember atau Madura musik patrol juga dapat dijumpai di daerah-daerah lain di Jawa Timur dengan segala perkembangannya. 


Tak ketinggal juga di kota Malang di Kelurahan Bandulan yang sudah 7 kali mengadakan festival musik patrol. Tajuk lomba musik patrol tersebut adalah Festival Patrol Sahur Se-Malang Raya yang diselenggarakan oleh KARANG TARUNA WIRA BHAKTI Kelurahan Bandulan Kota Malang. Festival tersebut diikuti oleh kelompok-kelompok yang terbentuk dari perkumpulan RT/RW, Komunitas, Desa dan lain sebagainya. Tepat pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 21.00 digelar, kemeriaan tampak dengan ramainya masyarakat daerah Bandulan juga sekitarnya memadati jalan Kelurahan Bandulan untuk menyaksikan kelompok-kelompok musik patrol sahur yang terdiri dari 19 peserta.


Saling unjuk kebolehan membunyikan musiknya dan performentnya sehingga sangat menghibur untuk dinikmati, mulai dari kompoisi musiknya, aksesoris-aksesoris kereta yang dinaikinya hingga aktraksi-aktraksi di panggung juga di jalanan. Ekpresi-ekpresi bunyi sudah banyak tidak didominasi oleh kentongan tetapi bercampur dengan gamelan dan alat-alat perkusi lainnya. Hibriditas alat-alat bunyi menjadikan bunyi semakin memiliki banyak nuansa dari kearab-araban, kejawa-jawaan, banyuwangian dan lain sebagainya. 


Ketika beberapa kelompok melintas di jalan, saya sempat bertanya pada beberapa peserta tentang biaya produksi mereka. Ternyata tidak sedikit biaya produksi yang mereka keluarkan ada yang dua juta, lima juta hingga sepuluh juta. Hal tersebut tak sebanding dengan hadiah yang mereka dapatkan. Akan tetapi kesemarakan dan antusiasme masyarakat dalam meramaikan bulan suci Ramadhan tak bisa begitu saja di kalkulasi dengan biaya produksi. Pelestarian dan pengembangan musik patrol sahur bagi peserta adalah kepuasan secara tersendiri sehingga hitungan material bukan menjadi masyalah bagi mereka.


Pada puncak acara yakni pengumuman juara oleh para juri yang didasarkan pada kreatifitas, pemanggungan dan kostum pemenangnya pada urutan pertama aksi panggung diperoleh kelompok New Camps, Kedua Plateking dan Ketiga Alhidayah sedangkan aksi jalanan juara pertama diperoleh Lintang Songo, Kedua New Camps dan Ketiga Gema Remaja. Sehingga juara umum diperoleh News Camps. 


Pengumuman oleh juri yang terdiri dari Didik Harmadi, Iman Suwongso, Ragil Supriyatno Samid, Juawaini, M. Hidayatullah dan Anggota Lesbumi Malang tersebut menandai berakhirnya acara Festival Musik Patrol Sahur VII Se-Malang Raya. Kegembiraan pun nampak pada wajah-wajah para pemenang dan semangat masih tersisa pada kelompok-kelompok lainnya guna memperbaiki dan mengembangkan diri untuk Festival berikutnya.


*Penonton Festival Musik Patrol Sahur VII Se-Malang Raya

Selasa, 14 Agustus 2012

Perang Puisi dan Pesta Ulang Tahun Pelangi Sastra Malang ke 2

Oleh: Denny Mizhar*

Jejaring sosial tanpa batas memberikan jalan penulis-penulis mampu melompat jauh dari poisisi teretorialnya. Dengan begitu muncul pula komunitas-komunitas yang menamakan dirinya komunitas sastra ataupun individu-individu yang menyatakan dirinya penulis atau sastrawan.  Hal tersebut juga mempengaruhi dinamika sastra di Malang sehingga dialektika sastra di Malang kian hari kian dinamis yang sempat mengalami keheningan di riuhnya kesusastraan Jawa Timur, Indonesia ataupun Internasional.  Dunia cyber memberi andil besar atas kembali riuhnya sastra di Malang.  Dan keheningan itu mulai pecah, pesta kesusastraan digelar dan dirayakan lewat jejaring sosial. 

Merespon dinamika sastra Cyber maka muncullah salah satu komunitas sastra yang menamakan dirinya Pelangi Sastra Malang. Selain itu berangkat dari kegelisahan para pelaku atau pekerja sastra atas redupnya panggung-panggung sastra di Malang selain itu adanya keterputusan dari genersi-generasi pendahulunya. Penyair Ragil Supriyatno Samit mengajak beberapa penulis melakukan pembacaan atas karya Wahyu Prasetya salah satu penyair yang lahir di Malang dan sudah memiliki nama di kanca kesusastraan Indonesia. Dari situlah Pelangi Sastra Malang hadir dan mengisi ruang-ruang kosong dialektika sastra, pesta sastra di Malang yang dimulai pada bulan Juni tahun 2010.

Beragam kegiatan telah digelar oleh Pelangi Sastra Malang dari pembacaan puisi, pembacaan prosa, diskusi buku sastra dan diskusi pemikiran sastra yang bekerja sama dengan komunitas-komunitas di Malang. Meski memiliki umur masih dua tahun pada bulan Juni 2012, keberadaan Pelangi Sastra Malang menurut beberapa sastrawan memberikan andil terhadap pertemuan-pertemuan sastrawan muda dan pendahulunya. Seperti yang di ungkapkan oleh Tengsoe Tjahjono dalam perayaan ulang tahun ke dua Pelangi Sastra Malang yang digelar pada tanggal 14 Juli 2012 di Art Rock cafe “Bahwa atmosfer sastra di Malang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Pelangi Sastra Malang” selain itu penyair dengan buku puisinya yang pernah Launching di acara Pelangi Sastra Malang memberikan kritik “Pelangi Sastra Malang tidak hanya sekedar melakukan kerja-kerja OE (Even Organizer) saja tetapi harus dilanjutkan dengan keberkaryaan sehingga bisa merumuskan capain estetika”. Setelah memberikan testimoni beliau melanjutkan membacakan puisi karya Chairil Anwar “AKU”, Karya Nanang Suryadi “Aku Datang Juga Cril” dan beberapa puisi karyanya sendiri.

Penyair Nanang Suryadi juga memberikan pendapat “Pelangi Sastra Malang memberikan kontribusi pertemuan-pertemuan komunitas Sastra di Malang sehingga dapat saling bertemu dan belajar. Maka pertemuan-pertemuan itu harus terus dikembangkan”. Salah satu Penyair Cyber ini sehabis berpendapat tentang keberadaan Pelangi Sastra Malang melanjutkan membaca puisi-puisi pendek karya Badri dari Bandung teman di Twitternya dan selanjutnya membacakan beberapa puisinya dari buku puisi karyanya “Cinta, Rindu dan Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya”.   

Pada kesempatan selanjutnya Yusri Fajar penulis kumpulan cerpen “Surat dari Praha” memberikan peryataan “Prulalitas Pelangi Sastra Malang yang menarik, adanya persinggungan dengan musisi, berbagai komunitas yang datang ketika acara-acaranya digelar di tengah situasi yang berkemabang tetap dinamis. Pelangi Sastra Malang tetap konsisten di tengah hedonisme yang kerap sekali beroposisi dengan sastra”. Sehabis memberikan pendapat atas keberadaan Pelangi Sastra Malang, beliaupun memberikan pendapat atas karya-karya sastrawan Malang “Isu lingkungan sangan menarik, misalnya saja karya alm. Ratna Indraswari Ibarahin yang berjudul Lemah Tanjung. Novel yang mengkritik persoalan lingkungan di Malang dan nyata kondisi saat ini Malang sering banjir karena persoalan Lingkungan tidak diperhatikan. Selain itu, puisi-puisi Nanang Suryadi juga banyak mengunakan metafor-metafor alam seperti dalam judul Tiba-tiba Aku Teringat Jakarta” dan Yusri Fajar melanjutkan membaca Puisi dari Karya Nanang Suryadi yang telah di bahasnya dilanjutkan membaca puisi Karya Ragil Supriyatno Samid yang paling beliau sukai yakni berjudul “Di Kahayan” untuk yang terakhir beliau membaca karyanya sendiri.

Selepas testimoni dari tiga sastrawan (Tengsoe, Nanang Suryadi dan Tengsoe Tjahjono) acara seremonial ulang tahun ke dua Pelangi Sastra Malang dengan memotong tumpeng. Pemotongan tumpeng dilakukan oleh Penyair Ragil Supriyatno Samid dan potongan tumpeng tersebut diberikan pada Arie Triaangga Sari  dengan mengatakan “Saya berikan pada penerus-penerus pegiat sastra, sehingga regenerasi terus terjaga” begitulah pendapatnya di Acara Pelangi Sastra Malang [On Stage] #21 “Words War V: Perang Kata dalam Puisi” dan dua tahun Pelangi Sastra Malang. Acara  yang di awali dengan penampilan dari kelompok musik “Dodo Erok” dan pembacaan dongeng dari Komunitas Dongeng Nusantara.

Ucapan-ucapan selamat untuk Pelangi Sastra Malang dan pesta puisi meriah di Art Rock Cafe dengan pemilik yang juga seniman musik juga memberi selamat dan memberikan  testimoni “Semoga Pelangi Sastra Malang tidak hanya membuat event tapi juga berkarya”. Adapun komunitas-komunitas yang hadir di antaranya: UKM Penulis UM, Komunitas Seni Ranggawarsita, Komintas Sastra Titik Unmer, LKP2M UIN, Komunitas Sastra Tinta Langit, Lingkar Sastra Unisma, Komunitas Sastra Ilalang Indonesia, Pegiat Warung Baca Ratna, Komunitas Dongeng Nusantara. Selain komunitas juga individu-individu yang bersinggungan dengan dunia sastra ataupun penulis di antaranya: Ibu Mundi Rahayu, Pak Sabar, Cacing Anil, Polo, Hasan, Rara dan lain sebagainya. Selain puisi gesekan biola dari Ugik Arbanat menemani puisi-puisi dibacakan, juga tembang-tembang dari kelompok musik SWARA (Antok Yunus dan Abia Kana) juga melantun dengan menyanyikan dua buah lagu dari Album Ketiga yang sedang diproses rekamannya.

Acarapun dipungkasi dengan pembacaan puisi oleh penyair yang baru saja menerbitkan buku puisinya yang berjudul “Avontur” yakni Ragil Supriyano Samid dan ditutup dengan makan-makan bersama. Sebuah pesta puisi dan perayaan dua tahun Pelangi Sastra Malang yang meninggalkan sisa pertanyaan akan kesusastraan di Malang dan menjadikan PR bersama bagi sastrawan dan pegiat sastra ataupun komunitas sastra di Malang. Sehingga sastra di Malang tetap dinamis dengan karya-karyanya, dengan pembaca-pembacanya, dengan pengkritik-pengkritiknya dengan pesta-pestanya. 

*Koordinator Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Malang Indonesia juga pengajar di SMK Muhammadiyah Dua Malang.



Selasa, 29 Mei 2012

Pengantar Memasuki Dunia Sastra

Oleh: Denny Mizhar

“Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama” (Maman S. Mahayana).

Memasuki dunia sastra itu menurut saya memasuki dunia yang penuh dengan keindahan dan makna di dalamnya ada bahasa, simbol, ekpresi-ekpresi pengalaman juga pemikiran manusia terhadap obyek keindahannya. Lalu apa definisi sastra itu pada umumnya, mari kita coba telisik: Sastra (Sangsekerta: shastra) merupakan serapan dari bahasa sangsekerta: sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan sastra dapat dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (oral). Adapun yang termasuk sastra menurut Binar Agni (2008) adalah pantun, puisi, sajak, pribahasa, kata mutiara, majas, novel, cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, sandiwara/drama. Selain itu menurut Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra adalah seni bahasa, ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam, ekspresi pikiran dalam bahasa, inspirasi kehidupan yang dimaterikan dalam sebuah bentuk keindahan, semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona. Ternyata luas sekali apa itu definisi sastra dan tentu masih banyak lagi definisi sastra menurut para ahli. Sekiranya itu dulu untuk mengenal apa yang dinamakan sastra.

Jika kita sudah mengetahui sekilas apa itu sastra, alangkah baiknya juga mengenal para penulis sastra. Saya akan mencoba memperkenalkan beberap sastrawan mulai dari angkatan balai pustaka: Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, La Hami; Abdul Muis dengan karyanya Salah Asuhan, Surapati; Sutan Takdir Alisjabana dengan karyanya Tak Putus Dirundung Malang, Anak Perawan di Sarang Penyamun; Hamka dengan karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tengelamnya Kapal Van der Wijck dan masih banyak yang lainnya. Pada era ini sebenarnya tidak hanya ada sastrawan Balai Pustaka Saja tetapi ada juga bacaan “Liar” misalnya seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, Ia berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah jajahan Belanda adapun karyanya yang berjudul Mata Gelap, Syair Rempah-Rempah dan masih banyak lagi.

Setelah itu ada periode Pujangga Baru yang muncul karena adanya sensor dari Balai Pustaka terhadap karya sastrawan pada masa itu di antaranya: Arminj Pane dengan karyanya Belenggu, Jiwa Berjiwa; Tengku Amir Hamzah dengan karyanya Nyanyi Sunyi, Buah Rindu; Sanusi Pane dengan karyanya Pancaran Cinta, Puspa Mega; Muhamad Yamin dengan karyanya Ken Arok dan Ken Dedes, Tanah Air; Roestam Effendi dengan karyanya Pertjikan Permenungan, Bebasari (toneel dalam 3 pertundjukan) adapun nama yang termaktub dalam periode Balai Pustaka juga muncul kembali ada Sutan Takdir Alisjabana.

Setelah masa Pujangga Baru muncul Angkatan ’45. Angkatan ini karyanya diwarnai dengan gejolak – sosial politik adapun nama-nama pada periode angkatan ’45 adalah Chairil  Anwar dengan karyanya Kerikil Tadjam, Deru Campur Debu; Idrus dengan karyanya Dari Ave Maria ke Djalan Lain di Roma, Aki; Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya Bukan Pasar MalamGadis Pantai, Mereka Yang Dilumpuhkan, Mochtar Lubis dengan karyanya Tidak Ada Esok, Harimau-Harimau!; dan masih banyak lagi.

Kemunculan H.B Jassin memberikan dampak kemunculan sastrawan Angkatan 50-an dengan karya yang banyak didominasi puisi dan cerpen selain itu pada masa ini muncul gerakan Lekra (Lembaga Kebudyaan Rakyat). Adapun nama dan karya pada angkatan 50-an adalah Ajip Rosidi dengan karyanya Cari Muatan, Tahun-Tahun Kematian; A.A Navis dengan karyanya Hudjan Panas, Robohnya Surau Kami; 8 tjerita pendek pilihan; Nh. Dini dengan karyanya Dua Dunia, Hati jang Damai; Ramadhan K.H dengan karyanya Api dan Si Rangka; Sitor Sitomorang dengan karyanya Dalam Sadjak, Pertempuran dan Saldju di Paris; Subagio Sastrowardojo dengan karyanya Simphoni; W.S Rendra dengan karyanya Balada Orang-Orang Tertjinta, Empat Kumpulan Sajak. Angkatan 50-an disambut dengan angkatan 66-70-an adapun nama-nama Goenawan Muhammad dengan karyanya Interlude,Parikesit; Sapardi Djoko Damono dengan karyanya Dukamu Abadi, mata Pisau dan Akuarium; Umar Kayam dengan karyanya Seribu Kunang-Kunang di Mahattan, Sri Sumarah dan Bawuk; Arifin C Noor dengan karyanya Tengul, Sumur Tanpa dasar; Calzoum Bachri dengan karyanya O Amuk Kapak, Abdul Hadi WM dengan karyanya Laut Belum pasang, Meditasi, Putu Wijaya dengan karyanya Telegram. Sehabis itu muncul Angkatan 80-an dengan nama-nama Remy Silado, Seno Gumirang Adjidarma, Pipiet Senja, Kuniawan Junaidi, Tajidun Noor Ganie dan lain sebagainya.

Reformasi juga memberi penanda kemunculan angkatan diantaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan lain sebagainya. Hingga angkatan 2000-an mereka yang lama menulis muncul pada catatan angkatan di antaranya ada Afrizal Malna, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Setelah itu yang paling kontemporer yaitu era Cyber pada era ini banyak sekali kemunculan sastrawan-sastrawan diantaranya ada Saut Sitomorang, Nanag Suryadi, Hasan Aspahani dan lain sebagainya. Tentu saja masih panjang jika dijabarkan nama-nama sastrawan lainnya dan tidak termaktub dalam periodesasi sejarah sastra yang ditulis oleh para penulis sejarah sastra pun juga yang saya jabarkan di atas.

Begitu banyak para sastrawan di Indonesia, apa lagi di era Cyber saat ini. Jika kita masuk akan segera menjumpai ribuan penulis sastra. Apa yang menarik dengan sastra hingga banyak peminatnya. Tentu saja ada yang menstimulus untuk memasukinya. Sastra adalah seni menulis dan berkata-kata, siapapun memiliki kemampuan asalkan dapat membaca dan menulis dan mendengar dengan cara apapun. Sastra adalah dunia yang lentur semua pandangan dapat diutarakannya. Tentu saja semua tidak lahir dari dunia yang hampa, ada ruang pijakan secara personal ataupun sosial. Seperti yang saya kutip di atas apa yang ditulis oleh Maman S.Mahayana. Dengan simbol dan misteri bahasa yang dimiliki oleh penulis akan banyak memberikan arti dan tidak tunggal. Selain itu sastra juga dapat memberikan motivasi, ajaran, refleksi pada pembaca.  Refleksi dari masa lalu, pandangan masa datang ataupun kekinian. Imajinasi menjadi penting dalam menulis sastra, Karena dengan Imajinasi akan dapat menulis banyak hal. Obyek yang kita lihat disekitaran dapat ditulis dan menjadi hidup dalam tulisan.  Selain itu membaca adalah hal yang utama bagi penulis yang berkeinginan meningkatkan kualitasnya. Sejarah perlu dibaca untuk mengetahui diri penulis ada di mana. Pencapaian bahasa, tema juga perlu untuk dikembangkan dari situ seorang penulis akan menciptakan originilitas. Bagi penulis pemula yang terpenting adalah menulis, menulis dan menulis.  

Bahan Bacaan:
Agni Binar, Sastra Indonesia Lengkap. Hi-Fest Publishing, Jakarta 2008
Aspahani Hasa. Menapak Ke Puncak Sajak. Penerbit Koekoesan, Depok 2007
Rosidi Ajip, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bina Cipta, Bandung 1968
www.sastra-indonesia.com

Rabu, 23 Mei 2012

Muadzin

Oleh: Denny Mizhar

Suara dedaunan bambu bergemerisik diterpa angin.  Batang-batang bambu saling berbenturan. Suasana hening dan temaram. Rumah yang berdinding gedek. Seorang lelaki paruh baya menerawang memandang langit-langit rumahnya. Ia terbangun sehabis bermimpi buruk. Dalam mimpinya ia didatangi seorang yang bernama Bilal Bin Rabah, nama yang tak asing baginya. Bilal membawa sebuah kapak yang akan dihujamkan padanya jika ia tak kembali mendengungkan suara adzan. Ia berlari sekencang-kencangnya dan akhirnya terbangun.

Ia mengingat-ingat nama itu, ingatannya melintas batas waktu masa kecilnya saat masih sekolah madrasa, sekolah setingkat dengan sekolah dasar. Wajah guru agamanya pertama kali muncul dalam ingatannya. Syakur, guru agama yang punya kumis tebal dengan tampang menakutkan. Tetapi sebenarnya hatinya penyabar. Syakur bercerita tentang sahabat Nabi yang dibebaskan dari perbudakan dan bertugas sebagai muadzin, tugasnya adalah  mengingatkan bila waktunya sholat tiba dengan suara ajakan sholat serta pengagunggan pada Sang Khalik serta Sang Panglima Umat Islam.

Seusai pulang sekolah, ia bilang pada emaknya. Bahwa ia ingin jadi muadzin seperti Bilal. Lalu emaknya mengambil buku peninggalan bapaknya. Bapakya meninggal dunia karena petir menyambar ketika hujan deras ketika itu bapaknya sedang menjadi buruh tani menggarap tanah Pak Markus. Pak Markus adalah tuan tanah di desanya. Maklum masih kelas 1 sekolah Madrasah membaca pun masih belum lancar. Emaknya mengajari dari buku yang ditinggalkan bapaknya yang juga seorang Muadzin di Surau dekat rumahnya. Ia juga ingin menggantikan bapaknya, meski kerja di sawah masih menyempatkan pulang dan pergi ke Surau ketika adzan dzuhur tiba. Tak semua teman bapaknya menyempatkan pulang ketika siang menyapa.

Bahkan pada gurunya pak Syakur, ia utarakan keinginannya. Pak Syakur pun tersenyum, sebab sepeninggal bapaknya yang menggantikan jadi muadzim adalah pak Syakur. Tak banyak orang ingin jadi muadzim, anak pak Syakur sendiri saja tak mau, meski anak guru agama. Tak hanya ibunya yang mengajari tapi guru agamanya pun ikut mengajari melafazdkan kalimat adzan.

“Sahlan, nanti siang kamu coba adzan di Surau” Ujar guru agamanya sebelum meninggalkan pagar sekolah. “Siap, pak” sahutnya dengan semangat. Jalannya ia cepatnya tak sabar memberi kabar pada ibunya. Tas ia lemparkan di kursi dan mencari ibunya yang sedang mencuci pakaian milik keluarga pak Markus. Salah satu pendapatan keluarga sepeninggal bapaknya, emakya menjadi buruh cuci.

“Mak, saya nanti mau adzan Dzuhur. Gantikan pak syakur” sambil teriak. Sesegera emaknya meninggalkan sumur yang terletak di belakang rumahnya untuk menghampirinya. “Apa, kamu sudah siap Le” tanya dengan ragu oleh emaknya. “Sudah mak, tadi pak Syakur sudah menguji saya di sekolah dan saya lulus” ia katakan dengan banga.

“Allahuakbar...  Allahuakbar...” dari pengeras suara yang ada di surau terdengar suara anak kecil. Orang-orang desa heran dan bertanya-tanya. Suara siapa itu? Mana suara adzan pak Syakur? Anak siapa yang lancang dan berani adzan? Beberapa orang akhirnya demi ingin tahu suara siapa yang azdan yang sebenarnya tidak pernah sholat jama’ah di surau datang juga. Tidak biasanya jumlah jama’ah dzuhur terdiri dari tiga shaf, biasanya hanya satu sampai dua shaf baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi semua bingung. Siapa yang jadi imam sholat, karena Pak Syakur yang biasanya jadi imam tak datang. Orang-orang mulai risau. Tiba-tiba datang pak Syakur dan langsung menuju tempatnya untuk menjadi imam. Dan Ia pun juga mengumandangkan iqomah. Sesudah sholat usai pak Syakur mengatakan sesuatu pada jama’ah sholat dzuhur. “Bapak, Ibu dan saudara-saudari yang saya hormati. Mari kita ramaikan surau ini, kita bangun biar jadi lebih baik. Fasilitas-fasilitas kita adakan agar semakin nyaman dan ibadah kita semakin bertambah khusuk untuk kita laksanakan di surau ini, itu saja yang ingin saya katakan. Oh, ya satu lagi. Muadzin kita baru, saya hanya akan jadi imam dan ceramah saja yang adzan biar si Tole itu” mengakhiri ceramanya sambil memandang Tole yang duduk di samping mic.

***

Surau kini semakin bagus, orang-orang berlomba-lomba beramal demi pembangunan surau tak juga ketinggalan pak Markus orang terkaya di desa menyumbang paling banyak hingga akhirnya surau ditembok bukan dari kayu dan bambu lagi. Usia Tole pun sudah besar, Ia tak meneruskan sekolah setamat sekolah menegah pertama sebab tak punya biaya. Ia pun mendapat upah atas jasa suara adzannya dan menjadi tugas kebersihan surau.

Desa yang dihuninya tak seperti ia masih kecil yakni desa yang sepi, tetapi  kini sudah ramai sejak dibangun pasar oleh pemerintah kota di lahan yang berdampingan dengan desanya. Awalnya milik Pak Markus yang dijual pada orang kaya dari kota yang hendak membuat lahan pasar yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Orang-orang mulai melupakan bekerja di sawah. Sebab tanah pak Syakur pun tidak banyak lagi. Pak Markus juga membuat lapak-lapak untuk berjualan. Lapak yang didapat dari kompensasi menjual tanahnya. 
Emaknya tetap bekerja sebagi pencuci pakaian keluarga Pak Markus sebab yang bisa dilakukan emaknya cuma mencuci. Tapi hal ini membuat emaknya kaget karena Pak Markus minggu depan akan memberhentikan emaknya. Sebab pak Markus akan beli mesin cuci yang dijual di pasar yang baru saja didirikan. Kini orang-orang pun banyak yang meniru gaya hidup keluarga pak Markus yakni suka berbelanja baju, alat elektronik sebab gaji yang didapat lebih banyak dari pada menjadi buruh tani.

Emaknya terkena serangangan jantung. Emaknya meninggal dunia. Hanya dia sendiri tinggal di rumah warisan bapaknya yang terbuat dari bambu.

***

Ia bangun dari tempat tidurnya. Ingatannya tentang masa lalunya membuatnya sesak. Ia meneteskan air mata, lalu bersistiqfar. Ia keluar rumah, melihat masjid megah tapi tak terdengar suara adzan sejak setahun lalu. Saat ia beberapa kali adzan tapi tak ada orang yang datang untuk menuaikan sholat jama’ah. Anak-anak lebih asyik menyaksikan televisi, orang-orang tua lebih asyik bekerja, anak-anak muda asyik nongkrong di warung pasar. Dan itu terjadi ketika pak Syakur meninggal dunia berjarak seminggu dengan emaknya.

Ia pun frustasi, meninggalkan masjid yang megah dibangun dari sumbangan warga desa. Mereka semua kini berpendapatan lumayan sejak adanya pasar. Mereka berfikiran bahwa mereka telah beramal jariyah dengan menyumbangkan uangnya untuk pembangunan masjid. Amal yang kata mereka tak pernah putus meski meinggal dunia.

Ia berjalan bergegas menuju masjid yang awalnya Surau. Ia menuju tempat soud sistem berada. Tempat yang berdebu dan penuh sarang laba-laba. Ia mulai membersihkan, menata dan menyalakan sound sistemnya. Masih baik, ia mencobanya. Waktu subuh tiba. Adzan terdengar. Orang-orang desa yang berangkat ke pasar terkaget. Sebab sudah lama tidak terdengar adzan. Mereka pun hanya berhenti di depan pagar masjid. Tak ada yang masuk. Ia sholat subuh sendiri. Hingga matahari menampakkan diri. Ia masih di masjid. Dan tampak beberapa orang berseragam serupa petugas listrik datang bersama pak Markus.

“Le, kamu tidak usah capek-capek lagi adzan. Saya sudah berencana membelikan alat yang akan berbunyi adzan dengan otomotis ketika waktunya tiba. Mereka ini petugas yang akan memasang alat tersebut” sambil menunjukkan tempat pesangan alat yang dibelinya sewaktu pergi ke kota.

Ia duduk lunglai, serasa kapak Bilal membela dadanya.

Malang, 14 Januari 2012.     

(Pernah Dimuat Majalah MATAN PWM Jawa Timur)


Senin, 21 Mei 2012

Ekpedisi Monyet Panderman


Pada awalnya adalah sebuah tawaran dari Galuh biasa dipanggil “Kriwul” mengajak saya pergi ke puncak Panderman. Sebuah gunung dengan ketinggian 2000m di atas permukaan laut yang terletak di daerah Kota Batu. Inisiatif tersebut sebenarnya dari Rio biasa dipanggil “Ndom”. Saya pun bersedia untuk turut serta. Selain itu, saya menghubungi beberapa teman untuk bergabung dengan pendakian kami ke Panderman tapi beberapa teman tak bisa turut serta karena memang bukan hari libur. Saya bertemu dengan Geby dan Febri di acara pentas monolog. Saya tawarkan untuk bergabung dengan kami. Mereka pun mengiyakan, tetapi Geby harus ijin kakaknya dan ternyata dibolehkan.  Kami memiliki kedekatan karena kami berasal dari salah satu organisasi kesenian teater yakni teater HomPimPah.

Selasa, 8 Mei 2012 sore kami saling kontak soal keberangkatan. Semua sudah ok, alat-alat pendakian dipersiapkan oleh Galuh. Kami pun berkumpul di Kontrakan Galuh yang berada di daerah Dinoyo. Di sana sudah ada Yudit, Norman, Ndom dan Galuh setelah itu Geby dan Febri datang. Tapi sayang, Norman tak bisa ikut karena kendaraan menuju Pesanggrahan cukup buat kami berenam (saya, Galuh, Geby, Yudit, Ndom, dan Febri).

Tepat pukul 21.00 kami berangkat menuju Pesanggrahan dan sampai di sana pukul 21.30. Kami sampai di rumah penitipan sepeda dan regrestrasi pendakian. Motor kami parkir dan kami berjalan. Kami berhenti di sumber air untuk mengisi persediaan air guna perbekalan kami di atas. Perjalanan kami lanjutkan saat itu pukul 22.30.


Senter kami nyalakan kembali, berada di depan sebagai penunjuk jalan kami memilih Galuh karena dia sudah beberapa kali naik Gunung dan juga Panderman meski saya juga pernah naik ke Panderman tapi saya agak-agak lupa jalan. Berada pada urutan ke dua ada Geby, lalu saya, Febri, Ndom dan Yudit.  

Jalannya bersemak dan menanjak juga licin karena sehabis hujan. Tapi malam itu kami beruntung karena bulan masih bersinar membantu senter kami menerangi jalan. Bagi saya dan Galuh karena sudah beberapa kali naik Gunung maka sudah sedikit terbiasa. Tetapi bagi Geby,teman kami perempuan sering mengeluh kecapek’an. Maklum baru pertama kali mendaki. Tapi ia tak menyesal merasa lelah karena pemandangan melihat gemerlip lampu kota dari perbukitan sungguh indah juga pesona alamnya.

Masih menjadi teka-teki, apakah langsung mendaki ke puncak Panderman atau berhenti dulu di Latar Omboh. Saya memiliki pertanyaan yang sampai sekarang belum mendapat jawaban, soal nama lokasi-lokasi yang ada di dalam perjalanan pendakian ke puncak Paderman. Ada Latar Omboh, Watu Gajah siapakah yang memberi nama tersebut pada lokasi-lakasi itu.

Kami pun sampai di Latar Omboh. Kami berhenti dan berfoto-foto dengan cahaya bulan yang bersinar di bagian batu-batu yang ada di sana. Saya meminta Ndom memotret saya tak ketinggalan Yudit juga berfoto. Saya pun mengeluarkan kamera digital dan memotret juga. Febri, Geby dan Galuh juga ikut berfoto-foto. Sungguh pemandangan yang indah meski sebenarnya ada yang lebih indah di pendakian gunung-gunung lainnya yang pernah saya daki.

Di tempat itu, kami ngobrol tentang lanjut atau tidaknya pendakian menuju puncak. Akhirnya kami tanya Geby, ternyata dia berkeinginan berhenti dahulu di Latar Ombo dan dilanjutkan naik besok pagi. Serantan, kami membuka tenda dan memasangnya sebagai tempat berteduh. Udara dingin dan rasa lapar menghinggapi kami dan langsung kami keluarkan logistik yang kami bawa juga memakai pakaian penghalau dingin. Tak lupa membuat kopi dan makanan yang kami masak adalah mie instan.

Nikmat sekali meminum kopi di atas gunung dan makan mie. Selepas itu, kami nyanyi-nyanyi hingga rasa lelah datang pada tubuh kami dan akhirnya kami tidur.

Langit menampakkan kemerah-merahan tanda matahari akan muncul. Ada Geby, yang sudah bangun duluan, lalu saya dan Ndom juga Febri. Rasa dingin semalaman masih terasa di tubuh kami dan siap-siap menghanggatkannya dengan sinar matahari. Pagi yang indah menjelang matahari terbit. Langit cerah warna merah di bagian timur dan wajah bulan di bagian barat masih menampakkan dirinya.

Suasana tersebut tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan momen dengan jepretan kamera. Pagi yang indah dan bunga yang tumbuh di sekeliling Latar Omboh juga kumbang-kumbang yang bermain-main dengan sayapnya untuk terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Tapi saya masih penasaran jenis bunga-bunga yang dihinggapi kumbang-kumbang tersebut. Saya memetiknya satu, lalu aku taruh di rambut Geby. Aku melihatnya seperti gadis Bali dan Geby pun memegangnya lalu saya jepret menggunakan kamera digital.

Selepas kami menikmati pagi di Latar Ombo yang indah lalu kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Panderman. Sebelum perjalanan kami lanjutkan, kami mengemasi barang-barang. Dengan sisa tenaga kami berjalan dengan medan yang sedikit licin. Sesekali kami berhenti untuk menyusun tenaga. Hal tersebut dikarenakan jalan yang cukup menanjak. Di perhentian-perhentian, kami menikmati udara yang segar dan pemandangan kota. Nampak rumah-rumah yang berjejer dan terlihat kecil-kecil. Tapi sayang, hutan di sekitar Panderman tidak lebat. Saya melihat pohon-pohon menjadi arang sisa kebaran beberapa bulan yang lalu. Untung saja saat perjalanan langit sedang mendung jadi kami tidak merasa panas akibat sinar matahari.

Sampai kami di tempat yang banyak batu-batunya. Tetapi masih di bawah lokasi Watu Gajah. Kami istirahat cukup lumayan sambil berfoto-foto. Lalu kami lanjutkan perjalanan hingga sampai pada puncak Panderman. Ada tugu buatan batalyon tentara, saya lupa dari kesatuan apa. Saya berjalan-jalan mencari tempat untuk melihat pemandangan yang indah. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10.00.

Perut kami terasa lapar, akhirnya kami menyiapkan kompor gas dan membuka perbekalan kami. Selagi kami memasak air, tiba-tiba ada seekor monyet datang dan membawa sekresek makanan kami. Di dalam kresek tersebut bersisi beberapa mie instan, beberapa saset susu dan roti.  Itu semua adalah perbekalan kami yang terakhir. Kami kebingungan dan takut. Mau mengambil langsung dan merebut dari monyet takut dicakar olehnya. Kami hanya bisa melihat monyet tersebut mengabil mie instan dan mebukanya lalu memakannya. Di antara kami yang paling takut adalah Geby. Dia takut sekali dengan monyet karena pernah punya pengalaman buruk dengan monyet.

Saya berfikir, bagaimana mengambil perbekalan kami yang dibawa monyet. Sebab kalau tidak diambil berarti kami tidak makan, padahal itu adalah perbelakan terakhir. Kami ingat, bahwa monyet takut dengan api. Kami pun membuat api. Saya mengeluarkan kertas dari dalam tas dan membakarnya. Setelah terbakar saya mendekatkan api tersebut pada monyet yang sedang asyik makan mie instan. Akhirnya monyet tersebut berlahan mundur dan Galuh mengambil perbekalan kami. Setelah perbekalan kami dapat kami ambil kembali, kami memutuskan untuk masak di bawah saja.

Air yang kami masak tadi mendidik, kami ingin mebuat minuman susu. Saya nyari-nyari susu saset yang ada dalam kresek tapi tidak ketemu. Akhirnya saya menyuruh Galuh untuk mencarinya. Tapi di tengah pencarian saset susu oleh Galuh, mie yang di makan oleh monyet habis. Ia terus memandang ke arah Galuh dan lebih mendekat. Kejadian lagi, monyet tersebut hendak merebut kresek tempat perbekalan makanan kami, untung saja Galuh dengan tangkas lari dari tempatnya sampai terjatuh dan memasukkan beberapa makanan dalam bajunya. Kami memancing monyet tersebut agar tidak mendekat ke Galuh dengan melempar roti ke arah yang lain. Galuh pun dapat menyelamatkan makanan kami. Tak berhenti di situ, tiba-tiba sekawanan monyet datang yang jumlahnya cukup banyak. Mereka berebut roti yang kami lempar. Ada juga monyet dengan tubuh lebih kecil dari pada yang lain dengan warna putih.

Kami tak jenak singgah dan istirahat di atas puncak Panderman karena monyet banyak sekali. Akhirnya kami putuskan untuk turun. Sebelum turun kami mengabadikan diri di tugu yang ada di puncak Panderman.

Saya masih berfikir, kenapa monyet-monyet itu seperti ganas dan suka merebut makanan pendaki. Saya berbincang dengan Galuh saat perjalanan turun. Galuh juga pernah mangalami hal yang serupa ketika mendaki dengan teman-temannya. Bahkan beras pun diambil oleh monyet-monyet Panderman.

Saya pun mengira keganasan monyet-monyet Panderman tentu ada sebabnya. Menurut saya karena ekosistem yang tidak stabil. Monyet kalau di dalam hutan pada dasarnya kan memakan bijian tumbuh-tumbuhan dan mebutuhkan tumbuhan yang rindang. Kemungkinan karena kerap kali ada kebaran dan ekosistem yang tidak seimbang dan rantai makanan yang patah hingga monyet Panderman menjadi seperti yang kami lihat. Tak hanya itu, Galuh bercerita seringnya ada penembak liar yang menembaki monyet-monyet untuk kepentingan komersial atau pribadi. Hal tersebut nampak ketika mata sinis monyet-monyet Panderman saat melihat manusia.  Kejadian itulah akhirnya kami memberi nama perjalanan pendakian dengan “Ekpedisi Monyet Panderman”.

Perut kami lapar hingga sesampai di watu Gajah kami istirahat dan memasak sisa perbekalan yang selamat dari rampasan monyet Panderman. Kami cukup lama istirahat di Watu Gajah, sampai-sampai Geby tertidur dan terbangun ketika makanan sudah matang dan siap disantap. Setelah makan, kami berfoto dulu dan akhirnya melanjutkan perjalanan pulang.

Sampai juga kami di pos 2, tempat sumber mengalir. Kami membersihkan diri lalu menuju tempat penitipan sepeda. Kami istirahat sebentar lalu kami pulang dan sebelum pulang ketempat kediaman masing-masing kami ngopi dulu di warung Mak. Sehabis ngopi kami pun pulang dengan menyimpan kenangan-kenangan yang masing-masing tentang sesuatau yang kami alami: tentang perjalanan malam, tentang suasana malam yang dingin, tentang kehangatan ketika dingin menyerbu tubuh, tentang kisah-kisah yang tak selesai untuk dikenang.

Malang, 14 Mei 2012

Jumat, 13 April 2012

Belajar Dari Cerita Pinokio: Sebuah Refleksi Nilai Kejujuran dalam Praktek Pendidikan

Oleh: Denny Misharudin

Sudah bukan menjadi rahasia, dunia pendidikan kita kerap sekali menanggalkan kejujuran dalam prosesnya. Hal tersebut tentunya mencoreng dunia pendidikan yang sejatinya menjadikan manusia lebih berkualitas dan bermoral atau dalam bahasa lainya dapat memanusiakan manusia. Apalagi bangsa kita ini bangsa yang menjujung tinggi nilai agama dan kebanyakan adalah penganut agama Islam tentu saja akan dipertanyakan kadar keislamannya bila ketidakjujuran merebak dimana-mana bila kenyataan terjadi pada institusi yang dikelola umat Islam. Sebagai umat Islam tentunya tentunya menanggung malu parktek perbuatan tersebut.
  
Pada dasarnya dunia pendidikan adalah kawah candra di muka dalam pengodokan manusia agar lebih menjadi beradab. Dunia pendidikan adalah tempat traformasi nilai, tempat menanamkan budaya, tempat belajar dan mengajar. Seharusnya dunia pendidikan mampu melahirkan orang-orang yang berkualitas dan berguna bagi bangsa juga menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas yang lahir dari nilai-nilai agama ataupun nilai-nilai sosial demi terciptanya peradapan yang mulia.

Tetapi pada kenyataanya dunia pendidikan belum mampu mengantarkannya. Dapat dilihat hasil lulusan dunia pendidikan lewat prilaku para pejabat di bangsa kita. Para pejabat bangsa kita semuanya pernah mengenyam dunia pendidikan tetapi prilaku korup serupa jamur dimusim hujan tumbuh subur di mana-mana. Prilaku tersebut mengebiri nilai kejujuran yang harus di junjung tinggi sebagai nilai karakter bangsa. Tak hanya pejabat negara, para guru atau mereka yang terjun dalam urusan pendidikan sejatinya menjadi tauladan juga mengajarkan ketidakjujuran, bahkan mempraktekkan nilai-nilai ketidakjujuran demi kepentingan pribadi. Misalnya korupsi dana pendidikan, pemalsuan sertifikat demi gaji yang tinggi, menilai hasil pembelajaran pada hasil akhir bukan pada prosesnya padahal hasil yang didapatkan tidak dengan cara yang halal.

Kalau kondisi terus dibiarkan tetap seperti ini maka karakter kujujuran yang akhir-akhir menjadi wacana serius dan harus dilaksanakan akan menjadi omong kosong belaka. Padahal karakter kejujuran adalah salah satu nilai yang harus dimiliki setiap manusia demi menjaga martabat diri sendiri ataupun bangsa demi menjaga nilai kemanusiaanya. Apalagi umat Islam harus mentauladani sifat-sifat Nabi Muhammad SAW salah satunya adala kejujuran.  Meminjam pendapat Prof. Dr. Notonegoro dalam pembagian nilai dimana nilai kejujuran adalah termasuk dalam nilai kerohanian, yang meliputi nilai kebenaran (rasio), nilai keindahan (estetika), nilai moral (etika) dan Nilai KeTuhanan (religius). Nilai kejujuran merupakan ajaran daripada nilai keTuhanan dimana orang tidak jujur disebut dalam islam sebagai munafik.

Belajar Dari Dongeng Pinokio

Pinokio sebuah dongeng yang pernah difilmkan memiliki pesan yang sangat penting direnungkan dalam mencermati dunia pendidikan kita berkaitan dengan kejujuran. Dongeng yang mengisahkan patung kayu yang benama Pinokio pada akhirnya menjadi manusia sungguhan. Perjalanan untuk jadi manusia tidaklah mudah, Pinokio harus selalu jujur jika tidak selain hidungnya akan memanjang juga keinginan menjadi manusia tidak akan berhasil. Dongeng yang ditulis oleh Carlo Collodi pada tahun 1883, sang boneka kayu dijanjikan oleh peri bahwa dirinya bisa menjadi manusia jika mendengar suara hatinya. Suara hati itulah yang dinamakan kejujuran.

Saya membayangkan seandainya kita semua adalah Pinokio, kita berkeinginan manjadi manusia tentu saja kita akan terus mendengar suara hati kita. Suara hati adalah suara kebajikan sebab di situ terletak bisikan –bisikan Tuhan. Selain itu ketika kita berbohong maka hidung kita akan memanjang. Maka dari kasus ketidakjujuran  yang kerap terjadi tentu banyak yang memiliki hidung panjang. Mengenai hidung panjang adalah sebuah pemisalan hukuman atas ketidakjujuran. Dengan begitu hukuman akan ketidakjujuran harus benar-benar dilakukan. Apabila seorang guru melihat murid tidak jujur maka teguran yang keras harus diberikan. Dan mencari cara agar murid tersebut jujur. Karena ada beberapa hal menurut saya ketidakjujuran kerap terjadi yakni pemaklukman, lemahnya tindakan hukum serta tauladan yang kurang.  

Guru sebagai tauladan harus meniru Gapento rela berkorban meski nyawanya harus dipertaruhkan. Rela melakukan apa saja agar anak didiknya menjadi baik. Misalnya mengajar anak didiknya sampai bisa, bukan malahan yang tidak bisa dan lambat dalam belajar ditinggalkan. Sehingga anak didik merasa tertinggal dan mengejar ketertinggalan dengan cara-cara tidak benar ketika ujian dilaksanakan misalnya dengan mencontek.


Relasi antara Gepetto, si tukang kayu yang menjadikan Pinokio hidup dan menjadi manusia perlu dijadikan pelajaran. Gapetto memiliki harapan bahwa Pinokio menjadi manusia seutuhnya. Hal tersebut dibuktikan dengan kerelaan mempertaruhkan nyawa demi mencari Pinokio dan mereka bertemu di dalam perut seokor ikan paus. Cinta dan pengorbanan Gapento akhirnya menjadi titik balik Pinokio menjadi manusia seutuhnya.

Seandainya guru-guru kita berprilaku serupa Gapento rela berkorban demi kebajikan dan tak memandang resiko apapun yang diterima maka dunia pendidikan kita akan dapat menghasilkan manusia yang terdidik dan menjadi manusia yang tinggi derajatnya. Selalu memberi tauladan tentang kejujuran pada anak didiknya, menanamkan rasa cinta kasih pada anak didiknya. Otomatis peran guru akan benar-benar terasa dampaknya pada anak didiknya.

Dengan begitu, praktek-praktek akademik dalam dunia pendidikan selalu akan mendahulukan kejujuran dari pada hasil baik tetapi didapat dengan cara tidak benar. Proses menjadikan peserta didik jujur adalah hal yang utama. Karena ketika kejujuran sudah menjadi karakter secara otomatis rasa percaya diri, semangat menjadi mandiri tanpa ketergantungan juga akan tertanam dengan baik. Dunia pendidikan akhirnya dapat melahirkan manusia-manusia yang unggul dalam intelektualitas dan anggun dalam moralitas. Maka gambaran saya seandainya kita semua pinokio saya tak mendapati hidung-hidung yang selalu memanjang. Selain itu juga kita telah menerapkan nilai agama yakni kejujuran dan kita tidak menjadi orang munafik suatu perbuatan yang dilarang dalam agama Islam.

*Guru SMK Muhammadiyah 2 Kota Malang

Kamis, 12 Januari 2012

Sajak-Sajak Denny Mizhar

Memapah Kota Yang Dibangun Dari Harum Tubuh
:Untuk  Gadis Banyuwangi

Adinda, masihkah kau mengelilingi
danau rindu tempat Surati bersemayam.
Harum Surati menebar wewangian
pada malam ganjil aku mengenang wajahmu.
Mata yang ditumbuhi bunga-bunga kenanga
pada kota yang di bangun dari tubuhnya.
Maut yang lahir dari rasa sesal atas laku diri
dan cinta menjadi duka.

Adinda, kenapa kau tak lagi bisa
menggambar wajah dengan warna
wangi atas kematian Surati. Apakah kau
diam-diam membalaskan dendamnya.
Menenggelamkan Raden Banterang
Di danau tempatmu bersemayam.

:Saat kau mengenal laki-laki, kau singkap tabirnya
dengan kealpaan atas muasalnya.

Mengulang kisah mengulang rindu.
Membangun kembali kota harum dari kematian.
Berulang dari haru memburu masa lalu yang terlupa.
Harum menghilang dengan bangkai terbaca.

Dupa-dupa tak lagi menyala.
Rintik hujan mengakhirinya.

Air membasuh tubuh bersetubuh
dengan kembang kamboja.
Wangi kembali wangi kecipraknya
ketika rambutmu tak mampu terdekati.
Persinggahan pada kota yang dibangun
dari air yang harum pada kisahnya.

:Adinda, kemana memapah wangi kotamu
Jika matamu menutup rona-rona rindu.
Malang, 2011

Malang-Surabaya


Malang aku tinggalkan
saat subuh berkumandang
kabut pagi membelaiku
mengantarkan pada kepergian
dingin memelukku temani perjalanan

Laju kendaraan berebutan di depan.
aku mencari sela menghirup asap-asap knalpot
dadaku sesak berdesakan dengan waktu

Aku hirup aroma lumpur di tengah perjalanan
porong-lapindo. Ah, sampai kapan akan usai
derita di tanah yang bertanggul. kini jadi tontonan

Buruh-buruh pabrik berjejeran di jalan
lonceng hidup segera dibunyikan
cerobong-cerobong menghembuskan nafas

Surabaya, aku disambutnya dengan kemacetan
sebentar lagi, panas mengajak dansa denganku

Surabaya aku datang. mencari semangat pahlawan

Surabaya, 2011


Perjalanan


I
di lintasan waktuMu terlarut dalam tanya takdirMu.
memecahkan tubuh yang tumbuh dalam kota tua.
kerapuhan lahir dari masa lalu yang ditetaskan ingatan
pada jalan hitam membaca tanda-tanda.

keberlarian menjadi ingin.
sembunyi dari kenyataan
bahwa hidup adalah
keyakinan.

Malang, Januari 2011

II
di kota tua ini tereja garis nasib yang tak menemui takdirNya
sepi masih saja bertandang dengan gempita di setiap hirupan nafas.
jalan mana harus terlewati mananggalkan tubuh yang rapuh.
hiruk pikuk klakson kendaraan yang berebut celah menuju garis finis.
lampu berkerlipan ketika malam mengetuk pintu waktu
dan orang-orang sibuk mencari celana dalam di mall-mall 
yang dibangun dengan menumbangkan pohon-pohon
dan mengusir kunang-kunang. aku tersudut di pojok jalan
yang bersimpang. mengaduh gaduh pada tuan kota tua
dan tak ada jawabnya. sangsi aku pada diriku. 
pada Tuhan yang katanya bersemayam didekat urat leherku.
aku masih manyembut namaMu. walau kesangsian berkelindan
menyusuri pertanyaan-pertanyaan keraguanku.

Malang, Januari 2011

III
aku telah memilih jalan. tapi aku takut berjalan. jalan yang menikung tajam. tajamnya seperti mata pisau yang baru saja terasah. bila aku tak berjalan. aku mati dalam angka. bila aku berjalan kakiku akan luka, karena tikungan kian membuatku gelisah. apakah aku harus diam dalam angka yang tak berubah atau berjalan melewati luka. dilema dalam ketakutan. apakah Tuhan bersama bersama orang takut. seketika itu, cahaya berpendar-pendar menuntunku melewati luka. kakiku berdarah. aku menahan dengan keyakinan. aku akan merubah angka. angka akan terus bertambah. bertambah dalam gerak. terus bergerak. kakiku patah dalam angka.

Malang, Februari 2011

IV
aku kalah dengan gerak fikir yang berjalan menjumpaiku
hingga daya tahan akan keyakinan tergedor roboh seketika

masihkah ada hati yang bersijingkat memeluknya, aku harap.
hanya ia yang tertinggal ketika kerapuhan menjumpai, 
ketika Tuhan yang aku bunuh tak dapat mati.

keabadiannya ada selalu

aku hanyalah rangka tak berdaya
dan daya itu hanya Tuhan yang punya

Malang, Februari 2011