Selasa, 29 Mei 2012

Pengantar Memasuki Dunia Sastra

Oleh: Denny Mizhar

“Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan agama” (Maman S. Mahayana).

Memasuki dunia sastra itu menurut saya memasuki dunia yang penuh dengan keindahan dan makna di dalamnya ada bahasa, simbol, ekpresi-ekpresi pengalaman juga pemikiran manusia terhadap obyek keindahannya. Lalu apa definisi sastra itu pada umumnya, mari kita coba telisik: Sastra (Sangsekerta: shastra) merupakan serapan dari bahasa sangsekerta: sastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” dari kata dasar sas- yang berarti “intruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan sastra dapat dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (oral). Adapun yang termasuk sastra menurut Binar Agni (2008) adalah pantun, puisi, sajak, pribahasa, kata mutiara, majas, novel, cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, sandiwara/drama. Selain itu menurut Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra adalah seni bahasa, ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam, ekspresi pikiran dalam bahasa, inspirasi kehidupan yang dimaterikan dalam sebuah bentuk keindahan, semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yang mempesona. Ternyata luas sekali apa itu definisi sastra dan tentu masih banyak lagi definisi sastra menurut para ahli. Sekiranya itu dulu untuk mengenal apa yang dinamakan sastra.

Jika kita sudah mengetahui sekilas apa itu sastra, alangkah baiknya juga mengenal para penulis sastra. Saya akan mencoba memperkenalkan beberap sastrawan mulai dari angkatan balai pustaka: Marah Rusli dengan karyanya Siti Nurbaya, La Hami; Abdul Muis dengan karyanya Salah Asuhan, Surapati; Sutan Takdir Alisjabana dengan karyanya Tak Putus Dirundung Malang, Anak Perawan di Sarang Penyamun; Hamka dengan karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tengelamnya Kapal Van der Wijck dan masih banyak yang lainnya. Pada era ini sebenarnya tidak hanya ada sastrawan Balai Pustaka Saja tetapi ada juga bacaan “Liar” misalnya seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, Ia berkali-kali dijatuhi hukuman oleh pemerintah jajahan Belanda adapun karyanya yang berjudul Mata Gelap, Syair Rempah-Rempah dan masih banyak lagi.

Setelah itu ada periode Pujangga Baru yang muncul karena adanya sensor dari Balai Pustaka terhadap karya sastrawan pada masa itu di antaranya: Arminj Pane dengan karyanya Belenggu, Jiwa Berjiwa; Tengku Amir Hamzah dengan karyanya Nyanyi Sunyi, Buah Rindu; Sanusi Pane dengan karyanya Pancaran Cinta, Puspa Mega; Muhamad Yamin dengan karyanya Ken Arok dan Ken Dedes, Tanah Air; Roestam Effendi dengan karyanya Pertjikan Permenungan, Bebasari (toneel dalam 3 pertundjukan) adapun nama yang termaktub dalam periode Balai Pustaka juga muncul kembali ada Sutan Takdir Alisjabana.

Setelah masa Pujangga Baru muncul Angkatan ’45. Angkatan ini karyanya diwarnai dengan gejolak – sosial politik adapun nama-nama pada periode angkatan ’45 adalah Chairil  Anwar dengan karyanya Kerikil Tadjam, Deru Campur Debu; Idrus dengan karyanya Dari Ave Maria ke Djalan Lain di Roma, Aki; Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya Bukan Pasar MalamGadis Pantai, Mereka Yang Dilumpuhkan, Mochtar Lubis dengan karyanya Tidak Ada Esok, Harimau-Harimau!; dan masih banyak lagi.

Kemunculan H.B Jassin memberikan dampak kemunculan sastrawan Angkatan 50-an dengan karya yang banyak didominasi puisi dan cerpen selain itu pada masa ini muncul gerakan Lekra (Lembaga Kebudyaan Rakyat). Adapun nama dan karya pada angkatan 50-an adalah Ajip Rosidi dengan karyanya Cari Muatan, Tahun-Tahun Kematian; A.A Navis dengan karyanya Hudjan Panas, Robohnya Surau Kami; 8 tjerita pendek pilihan; Nh. Dini dengan karyanya Dua Dunia, Hati jang Damai; Ramadhan K.H dengan karyanya Api dan Si Rangka; Sitor Sitomorang dengan karyanya Dalam Sadjak, Pertempuran dan Saldju di Paris; Subagio Sastrowardojo dengan karyanya Simphoni; W.S Rendra dengan karyanya Balada Orang-Orang Tertjinta, Empat Kumpulan Sajak. Angkatan 50-an disambut dengan angkatan 66-70-an adapun nama-nama Goenawan Muhammad dengan karyanya Interlude,Parikesit; Sapardi Djoko Damono dengan karyanya Dukamu Abadi, mata Pisau dan Akuarium; Umar Kayam dengan karyanya Seribu Kunang-Kunang di Mahattan, Sri Sumarah dan Bawuk; Arifin C Noor dengan karyanya Tengul, Sumur Tanpa dasar; Calzoum Bachri dengan karyanya O Amuk Kapak, Abdul Hadi WM dengan karyanya Laut Belum pasang, Meditasi, Putu Wijaya dengan karyanya Telegram. Sehabis itu muncul Angkatan 80-an dengan nama-nama Remy Silado, Seno Gumirang Adjidarma, Pipiet Senja, Kuniawan Junaidi, Tajidun Noor Ganie dan lain sebagainya.

Reformasi juga memberi penanda kemunculan angkatan diantaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan lain sebagainya. Hingga angkatan 2000-an mereka yang lama menulis muncul pada catatan angkatan di antaranya ada Afrizal Malna, Ayu Utami, Dorothea Rosa Herliany. Setelah itu yang paling kontemporer yaitu era Cyber pada era ini banyak sekali kemunculan sastrawan-sastrawan diantaranya ada Saut Sitomorang, Nanag Suryadi, Hasan Aspahani dan lain sebagainya. Tentu saja masih panjang jika dijabarkan nama-nama sastrawan lainnya dan tidak termaktub dalam periodesasi sejarah sastra yang ditulis oleh para penulis sejarah sastra pun juga yang saya jabarkan di atas.

Begitu banyak para sastrawan di Indonesia, apa lagi di era Cyber saat ini. Jika kita masuk akan segera menjumpai ribuan penulis sastra. Apa yang menarik dengan sastra hingga banyak peminatnya. Tentu saja ada yang menstimulus untuk memasukinya. Sastra adalah seni menulis dan berkata-kata, siapapun memiliki kemampuan asalkan dapat membaca dan menulis dan mendengar dengan cara apapun. Sastra adalah dunia yang lentur semua pandangan dapat diutarakannya. Tentu saja semua tidak lahir dari dunia yang hampa, ada ruang pijakan secara personal ataupun sosial. Seperti yang saya kutip di atas apa yang ditulis oleh Maman S.Mahayana. Dengan simbol dan misteri bahasa yang dimiliki oleh penulis akan banyak memberikan arti dan tidak tunggal. Selain itu sastra juga dapat memberikan motivasi, ajaran, refleksi pada pembaca.  Refleksi dari masa lalu, pandangan masa datang ataupun kekinian. Imajinasi menjadi penting dalam menulis sastra, Karena dengan Imajinasi akan dapat menulis banyak hal. Obyek yang kita lihat disekitaran dapat ditulis dan menjadi hidup dalam tulisan.  Selain itu membaca adalah hal yang utama bagi penulis yang berkeinginan meningkatkan kualitasnya. Sejarah perlu dibaca untuk mengetahui diri penulis ada di mana. Pencapaian bahasa, tema juga perlu untuk dikembangkan dari situ seorang penulis akan menciptakan originilitas. Bagi penulis pemula yang terpenting adalah menulis, menulis dan menulis.  

Bahan Bacaan:
Agni Binar, Sastra Indonesia Lengkap. Hi-Fest Publishing, Jakarta 2008
Aspahani Hasa. Menapak Ke Puncak Sajak. Penerbit Koekoesan, Depok 2007
Rosidi Ajip, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bina Cipta, Bandung 1968
www.sastra-indonesia.com

Rabu, 23 Mei 2012

Muadzin

Oleh: Denny Mizhar

Suara dedaunan bambu bergemerisik diterpa angin.  Batang-batang bambu saling berbenturan. Suasana hening dan temaram. Rumah yang berdinding gedek. Seorang lelaki paruh baya menerawang memandang langit-langit rumahnya. Ia terbangun sehabis bermimpi buruk. Dalam mimpinya ia didatangi seorang yang bernama Bilal Bin Rabah, nama yang tak asing baginya. Bilal membawa sebuah kapak yang akan dihujamkan padanya jika ia tak kembali mendengungkan suara adzan. Ia berlari sekencang-kencangnya dan akhirnya terbangun.

Ia mengingat-ingat nama itu, ingatannya melintas batas waktu masa kecilnya saat masih sekolah madrasa, sekolah setingkat dengan sekolah dasar. Wajah guru agamanya pertama kali muncul dalam ingatannya. Syakur, guru agama yang punya kumis tebal dengan tampang menakutkan. Tetapi sebenarnya hatinya penyabar. Syakur bercerita tentang sahabat Nabi yang dibebaskan dari perbudakan dan bertugas sebagai muadzin, tugasnya adalah  mengingatkan bila waktunya sholat tiba dengan suara ajakan sholat serta pengagunggan pada Sang Khalik serta Sang Panglima Umat Islam.

Seusai pulang sekolah, ia bilang pada emaknya. Bahwa ia ingin jadi muadzin seperti Bilal. Lalu emaknya mengambil buku peninggalan bapaknya. Bapakya meninggal dunia karena petir menyambar ketika hujan deras ketika itu bapaknya sedang menjadi buruh tani menggarap tanah Pak Markus. Pak Markus adalah tuan tanah di desanya. Maklum masih kelas 1 sekolah Madrasah membaca pun masih belum lancar. Emaknya mengajari dari buku yang ditinggalkan bapaknya yang juga seorang Muadzin di Surau dekat rumahnya. Ia juga ingin menggantikan bapaknya, meski kerja di sawah masih menyempatkan pulang dan pergi ke Surau ketika adzan dzuhur tiba. Tak semua teman bapaknya menyempatkan pulang ketika siang menyapa.

Bahkan pada gurunya pak Syakur, ia utarakan keinginannya. Pak Syakur pun tersenyum, sebab sepeninggal bapaknya yang menggantikan jadi muadzim adalah pak Syakur. Tak banyak orang ingin jadi muadzim, anak pak Syakur sendiri saja tak mau, meski anak guru agama. Tak hanya ibunya yang mengajari tapi guru agamanya pun ikut mengajari melafazdkan kalimat adzan.

“Sahlan, nanti siang kamu coba adzan di Surau” Ujar guru agamanya sebelum meninggalkan pagar sekolah. “Siap, pak” sahutnya dengan semangat. Jalannya ia cepatnya tak sabar memberi kabar pada ibunya. Tas ia lemparkan di kursi dan mencari ibunya yang sedang mencuci pakaian milik keluarga pak Markus. Salah satu pendapatan keluarga sepeninggal bapaknya, emakya menjadi buruh cuci.

“Mak, saya nanti mau adzan Dzuhur. Gantikan pak syakur” sambil teriak. Sesegera emaknya meninggalkan sumur yang terletak di belakang rumahnya untuk menghampirinya. “Apa, kamu sudah siap Le” tanya dengan ragu oleh emaknya. “Sudah mak, tadi pak Syakur sudah menguji saya di sekolah dan saya lulus” ia katakan dengan banga.

“Allahuakbar...  Allahuakbar...” dari pengeras suara yang ada di surau terdengar suara anak kecil. Orang-orang desa heran dan bertanya-tanya. Suara siapa itu? Mana suara adzan pak Syakur? Anak siapa yang lancang dan berani adzan? Beberapa orang akhirnya demi ingin tahu suara siapa yang azdan yang sebenarnya tidak pernah sholat jama’ah di surau datang juga. Tidak biasanya jumlah jama’ah dzuhur terdiri dari tiga shaf, biasanya hanya satu sampai dua shaf baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi semua bingung. Siapa yang jadi imam sholat, karena Pak Syakur yang biasanya jadi imam tak datang. Orang-orang mulai risau. Tiba-tiba datang pak Syakur dan langsung menuju tempatnya untuk menjadi imam. Dan Ia pun juga mengumandangkan iqomah. Sesudah sholat usai pak Syakur mengatakan sesuatu pada jama’ah sholat dzuhur. “Bapak, Ibu dan saudara-saudari yang saya hormati. Mari kita ramaikan surau ini, kita bangun biar jadi lebih baik. Fasilitas-fasilitas kita adakan agar semakin nyaman dan ibadah kita semakin bertambah khusuk untuk kita laksanakan di surau ini, itu saja yang ingin saya katakan. Oh, ya satu lagi. Muadzin kita baru, saya hanya akan jadi imam dan ceramah saja yang adzan biar si Tole itu” mengakhiri ceramanya sambil memandang Tole yang duduk di samping mic.

***

Surau kini semakin bagus, orang-orang berlomba-lomba beramal demi pembangunan surau tak juga ketinggalan pak Markus orang terkaya di desa menyumbang paling banyak hingga akhirnya surau ditembok bukan dari kayu dan bambu lagi. Usia Tole pun sudah besar, Ia tak meneruskan sekolah setamat sekolah menegah pertama sebab tak punya biaya. Ia pun mendapat upah atas jasa suara adzannya dan menjadi tugas kebersihan surau.

Desa yang dihuninya tak seperti ia masih kecil yakni desa yang sepi, tetapi  kini sudah ramai sejak dibangun pasar oleh pemerintah kota di lahan yang berdampingan dengan desanya. Awalnya milik Pak Markus yang dijual pada orang kaya dari kota yang hendak membuat lahan pasar yang bekerja sama dengan pemerintah setempat. Orang-orang mulai melupakan bekerja di sawah. Sebab tanah pak Syakur pun tidak banyak lagi. Pak Markus juga membuat lapak-lapak untuk berjualan. Lapak yang didapat dari kompensasi menjual tanahnya. 
Emaknya tetap bekerja sebagi pencuci pakaian keluarga Pak Markus sebab yang bisa dilakukan emaknya cuma mencuci. Tapi hal ini membuat emaknya kaget karena Pak Markus minggu depan akan memberhentikan emaknya. Sebab pak Markus akan beli mesin cuci yang dijual di pasar yang baru saja didirikan. Kini orang-orang pun banyak yang meniru gaya hidup keluarga pak Markus yakni suka berbelanja baju, alat elektronik sebab gaji yang didapat lebih banyak dari pada menjadi buruh tani.

Emaknya terkena serangangan jantung. Emaknya meninggal dunia. Hanya dia sendiri tinggal di rumah warisan bapaknya yang terbuat dari bambu.

***

Ia bangun dari tempat tidurnya. Ingatannya tentang masa lalunya membuatnya sesak. Ia meneteskan air mata, lalu bersistiqfar. Ia keluar rumah, melihat masjid megah tapi tak terdengar suara adzan sejak setahun lalu. Saat ia beberapa kali adzan tapi tak ada orang yang datang untuk menuaikan sholat jama’ah. Anak-anak lebih asyik menyaksikan televisi, orang-orang tua lebih asyik bekerja, anak-anak muda asyik nongkrong di warung pasar. Dan itu terjadi ketika pak Syakur meninggal dunia berjarak seminggu dengan emaknya.

Ia pun frustasi, meninggalkan masjid yang megah dibangun dari sumbangan warga desa. Mereka semua kini berpendapatan lumayan sejak adanya pasar. Mereka berfikiran bahwa mereka telah beramal jariyah dengan menyumbangkan uangnya untuk pembangunan masjid. Amal yang kata mereka tak pernah putus meski meinggal dunia.

Ia berjalan bergegas menuju masjid yang awalnya Surau. Ia menuju tempat soud sistem berada. Tempat yang berdebu dan penuh sarang laba-laba. Ia mulai membersihkan, menata dan menyalakan sound sistemnya. Masih baik, ia mencobanya. Waktu subuh tiba. Adzan terdengar. Orang-orang desa yang berangkat ke pasar terkaget. Sebab sudah lama tidak terdengar adzan. Mereka pun hanya berhenti di depan pagar masjid. Tak ada yang masuk. Ia sholat subuh sendiri. Hingga matahari menampakkan diri. Ia masih di masjid. Dan tampak beberapa orang berseragam serupa petugas listrik datang bersama pak Markus.

“Le, kamu tidak usah capek-capek lagi adzan. Saya sudah berencana membelikan alat yang akan berbunyi adzan dengan otomotis ketika waktunya tiba. Mereka ini petugas yang akan memasang alat tersebut” sambil menunjukkan tempat pesangan alat yang dibelinya sewaktu pergi ke kota.

Ia duduk lunglai, serasa kapak Bilal membela dadanya.

Malang, 14 Januari 2012.     

(Pernah Dimuat Majalah MATAN PWM Jawa Timur)


Senin, 21 Mei 2012

Ekpedisi Monyet Panderman


Pada awalnya adalah sebuah tawaran dari Galuh biasa dipanggil “Kriwul” mengajak saya pergi ke puncak Panderman. Sebuah gunung dengan ketinggian 2000m di atas permukaan laut yang terletak di daerah Kota Batu. Inisiatif tersebut sebenarnya dari Rio biasa dipanggil “Ndom”. Saya pun bersedia untuk turut serta. Selain itu, saya menghubungi beberapa teman untuk bergabung dengan pendakian kami ke Panderman tapi beberapa teman tak bisa turut serta karena memang bukan hari libur. Saya bertemu dengan Geby dan Febri di acara pentas monolog. Saya tawarkan untuk bergabung dengan kami. Mereka pun mengiyakan, tetapi Geby harus ijin kakaknya dan ternyata dibolehkan.  Kami memiliki kedekatan karena kami berasal dari salah satu organisasi kesenian teater yakni teater HomPimPah.

Selasa, 8 Mei 2012 sore kami saling kontak soal keberangkatan. Semua sudah ok, alat-alat pendakian dipersiapkan oleh Galuh. Kami pun berkumpul di Kontrakan Galuh yang berada di daerah Dinoyo. Di sana sudah ada Yudit, Norman, Ndom dan Galuh setelah itu Geby dan Febri datang. Tapi sayang, Norman tak bisa ikut karena kendaraan menuju Pesanggrahan cukup buat kami berenam (saya, Galuh, Geby, Yudit, Ndom, dan Febri).

Tepat pukul 21.00 kami berangkat menuju Pesanggrahan dan sampai di sana pukul 21.30. Kami sampai di rumah penitipan sepeda dan regrestrasi pendakian. Motor kami parkir dan kami berjalan. Kami berhenti di sumber air untuk mengisi persediaan air guna perbekalan kami di atas. Perjalanan kami lanjutkan saat itu pukul 22.30.


Senter kami nyalakan kembali, berada di depan sebagai penunjuk jalan kami memilih Galuh karena dia sudah beberapa kali naik Gunung dan juga Panderman meski saya juga pernah naik ke Panderman tapi saya agak-agak lupa jalan. Berada pada urutan ke dua ada Geby, lalu saya, Febri, Ndom dan Yudit.  

Jalannya bersemak dan menanjak juga licin karena sehabis hujan. Tapi malam itu kami beruntung karena bulan masih bersinar membantu senter kami menerangi jalan. Bagi saya dan Galuh karena sudah beberapa kali naik Gunung maka sudah sedikit terbiasa. Tetapi bagi Geby,teman kami perempuan sering mengeluh kecapek’an. Maklum baru pertama kali mendaki. Tapi ia tak menyesal merasa lelah karena pemandangan melihat gemerlip lampu kota dari perbukitan sungguh indah juga pesona alamnya.

Masih menjadi teka-teki, apakah langsung mendaki ke puncak Panderman atau berhenti dulu di Latar Omboh. Saya memiliki pertanyaan yang sampai sekarang belum mendapat jawaban, soal nama lokasi-lokasi yang ada di dalam perjalanan pendakian ke puncak Paderman. Ada Latar Omboh, Watu Gajah siapakah yang memberi nama tersebut pada lokasi-lakasi itu.

Kami pun sampai di Latar Omboh. Kami berhenti dan berfoto-foto dengan cahaya bulan yang bersinar di bagian batu-batu yang ada di sana. Saya meminta Ndom memotret saya tak ketinggalan Yudit juga berfoto. Saya pun mengeluarkan kamera digital dan memotret juga. Febri, Geby dan Galuh juga ikut berfoto-foto. Sungguh pemandangan yang indah meski sebenarnya ada yang lebih indah di pendakian gunung-gunung lainnya yang pernah saya daki.

Di tempat itu, kami ngobrol tentang lanjut atau tidaknya pendakian menuju puncak. Akhirnya kami tanya Geby, ternyata dia berkeinginan berhenti dahulu di Latar Ombo dan dilanjutkan naik besok pagi. Serantan, kami membuka tenda dan memasangnya sebagai tempat berteduh. Udara dingin dan rasa lapar menghinggapi kami dan langsung kami keluarkan logistik yang kami bawa juga memakai pakaian penghalau dingin. Tak lupa membuat kopi dan makanan yang kami masak adalah mie instan.

Nikmat sekali meminum kopi di atas gunung dan makan mie. Selepas itu, kami nyanyi-nyanyi hingga rasa lelah datang pada tubuh kami dan akhirnya kami tidur.

Langit menampakkan kemerah-merahan tanda matahari akan muncul. Ada Geby, yang sudah bangun duluan, lalu saya dan Ndom juga Febri. Rasa dingin semalaman masih terasa di tubuh kami dan siap-siap menghanggatkannya dengan sinar matahari. Pagi yang indah menjelang matahari terbit. Langit cerah warna merah di bagian timur dan wajah bulan di bagian barat masih menampakkan dirinya.

Suasana tersebut tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan momen dengan jepretan kamera. Pagi yang indah dan bunga yang tumbuh di sekeliling Latar Omboh juga kumbang-kumbang yang bermain-main dengan sayapnya untuk terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Tapi saya masih penasaran jenis bunga-bunga yang dihinggapi kumbang-kumbang tersebut. Saya memetiknya satu, lalu aku taruh di rambut Geby. Aku melihatnya seperti gadis Bali dan Geby pun memegangnya lalu saya jepret menggunakan kamera digital.

Selepas kami menikmati pagi di Latar Ombo yang indah lalu kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Panderman. Sebelum perjalanan kami lanjutkan, kami mengemasi barang-barang. Dengan sisa tenaga kami berjalan dengan medan yang sedikit licin. Sesekali kami berhenti untuk menyusun tenaga. Hal tersebut dikarenakan jalan yang cukup menanjak. Di perhentian-perhentian, kami menikmati udara yang segar dan pemandangan kota. Nampak rumah-rumah yang berjejer dan terlihat kecil-kecil. Tapi sayang, hutan di sekitar Panderman tidak lebat. Saya melihat pohon-pohon menjadi arang sisa kebaran beberapa bulan yang lalu. Untung saja saat perjalanan langit sedang mendung jadi kami tidak merasa panas akibat sinar matahari.

Sampai kami di tempat yang banyak batu-batunya. Tetapi masih di bawah lokasi Watu Gajah. Kami istirahat cukup lumayan sambil berfoto-foto. Lalu kami lanjutkan perjalanan hingga sampai pada puncak Panderman. Ada tugu buatan batalyon tentara, saya lupa dari kesatuan apa. Saya berjalan-jalan mencari tempat untuk melihat pemandangan yang indah. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10.00.

Perut kami terasa lapar, akhirnya kami menyiapkan kompor gas dan membuka perbekalan kami. Selagi kami memasak air, tiba-tiba ada seekor monyet datang dan membawa sekresek makanan kami. Di dalam kresek tersebut bersisi beberapa mie instan, beberapa saset susu dan roti.  Itu semua adalah perbekalan kami yang terakhir. Kami kebingungan dan takut. Mau mengambil langsung dan merebut dari monyet takut dicakar olehnya. Kami hanya bisa melihat monyet tersebut mengabil mie instan dan mebukanya lalu memakannya. Di antara kami yang paling takut adalah Geby. Dia takut sekali dengan monyet karena pernah punya pengalaman buruk dengan monyet.

Saya berfikir, bagaimana mengambil perbekalan kami yang dibawa monyet. Sebab kalau tidak diambil berarti kami tidak makan, padahal itu adalah perbelakan terakhir. Kami ingat, bahwa monyet takut dengan api. Kami pun membuat api. Saya mengeluarkan kertas dari dalam tas dan membakarnya. Setelah terbakar saya mendekatkan api tersebut pada monyet yang sedang asyik makan mie instan. Akhirnya monyet tersebut berlahan mundur dan Galuh mengambil perbekalan kami. Setelah perbekalan kami dapat kami ambil kembali, kami memutuskan untuk masak di bawah saja.

Air yang kami masak tadi mendidik, kami ingin mebuat minuman susu. Saya nyari-nyari susu saset yang ada dalam kresek tapi tidak ketemu. Akhirnya saya menyuruh Galuh untuk mencarinya. Tapi di tengah pencarian saset susu oleh Galuh, mie yang di makan oleh monyet habis. Ia terus memandang ke arah Galuh dan lebih mendekat. Kejadian lagi, monyet tersebut hendak merebut kresek tempat perbekalan makanan kami, untung saja Galuh dengan tangkas lari dari tempatnya sampai terjatuh dan memasukkan beberapa makanan dalam bajunya. Kami memancing monyet tersebut agar tidak mendekat ke Galuh dengan melempar roti ke arah yang lain. Galuh pun dapat menyelamatkan makanan kami. Tak berhenti di situ, tiba-tiba sekawanan monyet datang yang jumlahnya cukup banyak. Mereka berebut roti yang kami lempar. Ada juga monyet dengan tubuh lebih kecil dari pada yang lain dengan warna putih.

Kami tak jenak singgah dan istirahat di atas puncak Panderman karena monyet banyak sekali. Akhirnya kami putuskan untuk turun. Sebelum turun kami mengabadikan diri di tugu yang ada di puncak Panderman.

Saya masih berfikir, kenapa monyet-monyet itu seperti ganas dan suka merebut makanan pendaki. Saya berbincang dengan Galuh saat perjalanan turun. Galuh juga pernah mangalami hal yang serupa ketika mendaki dengan teman-temannya. Bahkan beras pun diambil oleh monyet-monyet Panderman.

Saya pun mengira keganasan monyet-monyet Panderman tentu ada sebabnya. Menurut saya karena ekosistem yang tidak stabil. Monyet kalau di dalam hutan pada dasarnya kan memakan bijian tumbuh-tumbuhan dan mebutuhkan tumbuhan yang rindang. Kemungkinan karena kerap kali ada kebaran dan ekosistem yang tidak seimbang dan rantai makanan yang patah hingga monyet Panderman menjadi seperti yang kami lihat. Tak hanya itu, Galuh bercerita seringnya ada penembak liar yang menembaki monyet-monyet untuk kepentingan komersial atau pribadi. Hal tersebut nampak ketika mata sinis monyet-monyet Panderman saat melihat manusia.  Kejadian itulah akhirnya kami memberi nama perjalanan pendakian dengan “Ekpedisi Monyet Panderman”.

Perut kami lapar hingga sesampai di watu Gajah kami istirahat dan memasak sisa perbekalan yang selamat dari rampasan monyet Panderman. Kami cukup lama istirahat di Watu Gajah, sampai-sampai Geby tertidur dan terbangun ketika makanan sudah matang dan siap disantap. Setelah makan, kami berfoto dulu dan akhirnya melanjutkan perjalanan pulang.

Sampai juga kami di pos 2, tempat sumber mengalir. Kami membersihkan diri lalu menuju tempat penitipan sepeda. Kami istirahat sebentar lalu kami pulang dan sebelum pulang ketempat kediaman masing-masing kami ngopi dulu di warung Mak. Sehabis ngopi kami pun pulang dengan menyimpan kenangan-kenangan yang masing-masing tentang sesuatau yang kami alami: tentang perjalanan malam, tentang suasana malam yang dingin, tentang kehangatan ketika dingin menyerbu tubuh, tentang kisah-kisah yang tak selesai untuk dikenang.

Malang, 14 Mei 2012