Jumat, 24 Agustus 2012

Ramadhan dan Kemeriahan Musik Patrol


Oleh: Denny Mizhar*


Indonesia yang mayoritasnya adalah berpenduduk muslim tentu saja ketika bulan suci Ramadhan tiba akan disambut dengan meriah dan suka cita. Ramdhan adalah bulan penuh berkah dan amalan baik akan dilipatgandakan. Ramadhan di Indonesia tentu berbeda dengan belahan dunia lain aktivitas masyarakat muslimnya. Percampuran budaya lokal dalam beragama kerap kita jumpai di Indonesia, salah satunya adalah musik patrol. Kita tidak akan menjumpai musik patrol di negara-negara lain. Musik patrol itu berasal tradisi masyarakat Jember yang hampir memiliki kesamaan dengan tradisi masyarakat Madura perbedaanya adalah pada alat musiknya, kalau Madura mengunakan seroneng sedang Jember mengunakan seruling (http://jemberspot.blogspot.com/2008/12/musik-patrol-benarkah-musiknya-orang.html). 


Musik patrol digunakan oleh masyarakat muslim untuk membangunkan umat muslim lainya ketika waktu sahur tiba dengan berkeliling. Tetapi musik patrol tak hanya berhenti ketika waktu sahur tiba. Selain itu sering dipanggungkan di pentas-pentas kesenian hingga dilombakan. Meski indektik dengan tradisi masyarakat Jember atau Madura musik patrol juga dapat dijumpai di daerah-daerah lain di Jawa Timur dengan segala perkembangannya. 


Tak ketinggal juga di kota Malang di Kelurahan Bandulan yang sudah 7 kali mengadakan festival musik patrol. Tajuk lomba musik patrol tersebut adalah Festival Patrol Sahur Se-Malang Raya yang diselenggarakan oleh KARANG TARUNA WIRA BHAKTI Kelurahan Bandulan Kota Malang. Festival tersebut diikuti oleh kelompok-kelompok yang terbentuk dari perkumpulan RT/RW, Komunitas, Desa dan lain sebagainya. Tepat pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 21.00 digelar, kemeriaan tampak dengan ramainya masyarakat daerah Bandulan juga sekitarnya memadati jalan Kelurahan Bandulan untuk menyaksikan kelompok-kelompok musik patrol sahur yang terdiri dari 19 peserta.


Saling unjuk kebolehan membunyikan musiknya dan performentnya sehingga sangat menghibur untuk dinikmati, mulai dari kompoisi musiknya, aksesoris-aksesoris kereta yang dinaikinya hingga aktraksi-aktraksi di panggung juga di jalanan. Ekpresi-ekpresi bunyi sudah banyak tidak didominasi oleh kentongan tetapi bercampur dengan gamelan dan alat-alat perkusi lainnya. Hibriditas alat-alat bunyi menjadikan bunyi semakin memiliki banyak nuansa dari kearab-araban, kejawa-jawaan, banyuwangian dan lain sebagainya. 


Ketika beberapa kelompok melintas di jalan, saya sempat bertanya pada beberapa peserta tentang biaya produksi mereka. Ternyata tidak sedikit biaya produksi yang mereka keluarkan ada yang dua juta, lima juta hingga sepuluh juta. Hal tersebut tak sebanding dengan hadiah yang mereka dapatkan. Akan tetapi kesemarakan dan antusiasme masyarakat dalam meramaikan bulan suci Ramadhan tak bisa begitu saja di kalkulasi dengan biaya produksi. Pelestarian dan pengembangan musik patrol sahur bagi peserta adalah kepuasan secara tersendiri sehingga hitungan material bukan menjadi masyalah bagi mereka.


Pada puncak acara yakni pengumuman juara oleh para juri yang didasarkan pada kreatifitas, pemanggungan dan kostum pemenangnya pada urutan pertama aksi panggung diperoleh kelompok New Camps, Kedua Plateking dan Ketiga Alhidayah sedangkan aksi jalanan juara pertama diperoleh Lintang Songo, Kedua New Camps dan Ketiga Gema Remaja. Sehingga juara umum diperoleh News Camps. 


Pengumuman oleh juri yang terdiri dari Didik Harmadi, Iman Suwongso, Ragil Supriyatno Samid, Juawaini, M. Hidayatullah dan Anggota Lesbumi Malang tersebut menandai berakhirnya acara Festival Musik Patrol Sahur VII Se-Malang Raya. Kegembiraan pun nampak pada wajah-wajah para pemenang dan semangat masih tersisa pada kelompok-kelompok lainnya guna memperbaiki dan mengembangkan diri untuk Festival berikutnya.


*Penonton Festival Musik Patrol Sahur VII Se-Malang Raya

Selasa, 14 Agustus 2012

Perang Puisi dan Pesta Ulang Tahun Pelangi Sastra Malang ke 2

Oleh: Denny Mizhar*

Jejaring sosial tanpa batas memberikan jalan penulis-penulis mampu melompat jauh dari poisisi teretorialnya. Dengan begitu muncul pula komunitas-komunitas yang menamakan dirinya komunitas sastra ataupun individu-individu yang menyatakan dirinya penulis atau sastrawan.  Hal tersebut juga mempengaruhi dinamika sastra di Malang sehingga dialektika sastra di Malang kian hari kian dinamis yang sempat mengalami keheningan di riuhnya kesusastraan Jawa Timur, Indonesia ataupun Internasional.  Dunia cyber memberi andil besar atas kembali riuhnya sastra di Malang.  Dan keheningan itu mulai pecah, pesta kesusastraan digelar dan dirayakan lewat jejaring sosial. 

Merespon dinamika sastra Cyber maka muncullah salah satu komunitas sastra yang menamakan dirinya Pelangi Sastra Malang. Selain itu berangkat dari kegelisahan para pelaku atau pekerja sastra atas redupnya panggung-panggung sastra di Malang selain itu adanya keterputusan dari genersi-generasi pendahulunya. Penyair Ragil Supriyatno Samit mengajak beberapa penulis melakukan pembacaan atas karya Wahyu Prasetya salah satu penyair yang lahir di Malang dan sudah memiliki nama di kanca kesusastraan Indonesia. Dari situlah Pelangi Sastra Malang hadir dan mengisi ruang-ruang kosong dialektika sastra, pesta sastra di Malang yang dimulai pada bulan Juni tahun 2010.

Beragam kegiatan telah digelar oleh Pelangi Sastra Malang dari pembacaan puisi, pembacaan prosa, diskusi buku sastra dan diskusi pemikiran sastra yang bekerja sama dengan komunitas-komunitas di Malang. Meski memiliki umur masih dua tahun pada bulan Juni 2012, keberadaan Pelangi Sastra Malang menurut beberapa sastrawan memberikan andil terhadap pertemuan-pertemuan sastrawan muda dan pendahulunya. Seperti yang di ungkapkan oleh Tengsoe Tjahjono dalam perayaan ulang tahun ke dua Pelangi Sastra Malang yang digelar pada tanggal 14 Juli 2012 di Art Rock cafe “Bahwa atmosfer sastra di Malang sangat dipengaruhi oleh keberadaan Pelangi Sastra Malang” selain itu penyair dengan buku puisinya yang pernah Launching di acara Pelangi Sastra Malang memberikan kritik “Pelangi Sastra Malang tidak hanya sekedar melakukan kerja-kerja OE (Even Organizer) saja tetapi harus dilanjutkan dengan keberkaryaan sehingga bisa merumuskan capain estetika”. Setelah memberikan testimoni beliau melanjutkan membacakan puisi karya Chairil Anwar “AKU”, Karya Nanang Suryadi “Aku Datang Juga Cril” dan beberapa puisi karyanya sendiri.

Penyair Nanang Suryadi juga memberikan pendapat “Pelangi Sastra Malang memberikan kontribusi pertemuan-pertemuan komunitas Sastra di Malang sehingga dapat saling bertemu dan belajar. Maka pertemuan-pertemuan itu harus terus dikembangkan”. Salah satu Penyair Cyber ini sehabis berpendapat tentang keberadaan Pelangi Sastra Malang melanjutkan membaca puisi-puisi pendek karya Badri dari Bandung teman di Twitternya dan selanjutnya membacakan beberapa puisinya dari buku puisi karyanya “Cinta, Rindu dan Orang-orang yang Menyimpan Api dalam Kepalanya”.   

Pada kesempatan selanjutnya Yusri Fajar penulis kumpulan cerpen “Surat dari Praha” memberikan peryataan “Prulalitas Pelangi Sastra Malang yang menarik, adanya persinggungan dengan musisi, berbagai komunitas yang datang ketika acara-acaranya digelar di tengah situasi yang berkemabang tetap dinamis. Pelangi Sastra Malang tetap konsisten di tengah hedonisme yang kerap sekali beroposisi dengan sastra”. Sehabis memberikan pendapat atas keberadaan Pelangi Sastra Malang, beliaupun memberikan pendapat atas karya-karya sastrawan Malang “Isu lingkungan sangan menarik, misalnya saja karya alm. Ratna Indraswari Ibarahin yang berjudul Lemah Tanjung. Novel yang mengkritik persoalan lingkungan di Malang dan nyata kondisi saat ini Malang sering banjir karena persoalan Lingkungan tidak diperhatikan. Selain itu, puisi-puisi Nanang Suryadi juga banyak mengunakan metafor-metafor alam seperti dalam judul Tiba-tiba Aku Teringat Jakarta” dan Yusri Fajar melanjutkan membaca Puisi dari Karya Nanang Suryadi yang telah di bahasnya dilanjutkan membaca puisi Karya Ragil Supriyatno Samid yang paling beliau sukai yakni berjudul “Di Kahayan” untuk yang terakhir beliau membaca karyanya sendiri.

Selepas testimoni dari tiga sastrawan (Tengsoe, Nanang Suryadi dan Tengsoe Tjahjono) acara seremonial ulang tahun ke dua Pelangi Sastra Malang dengan memotong tumpeng. Pemotongan tumpeng dilakukan oleh Penyair Ragil Supriyatno Samid dan potongan tumpeng tersebut diberikan pada Arie Triaangga Sari  dengan mengatakan “Saya berikan pada penerus-penerus pegiat sastra, sehingga regenerasi terus terjaga” begitulah pendapatnya di Acara Pelangi Sastra Malang [On Stage] #21 “Words War V: Perang Kata dalam Puisi” dan dua tahun Pelangi Sastra Malang. Acara  yang di awali dengan penampilan dari kelompok musik “Dodo Erok” dan pembacaan dongeng dari Komunitas Dongeng Nusantara.

Ucapan-ucapan selamat untuk Pelangi Sastra Malang dan pesta puisi meriah di Art Rock Cafe dengan pemilik yang juga seniman musik juga memberi selamat dan memberikan  testimoni “Semoga Pelangi Sastra Malang tidak hanya membuat event tapi juga berkarya”. Adapun komunitas-komunitas yang hadir di antaranya: UKM Penulis UM, Komunitas Seni Ranggawarsita, Komintas Sastra Titik Unmer, LKP2M UIN, Komunitas Sastra Tinta Langit, Lingkar Sastra Unisma, Komunitas Sastra Ilalang Indonesia, Pegiat Warung Baca Ratna, Komunitas Dongeng Nusantara. Selain komunitas juga individu-individu yang bersinggungan dengan dunia sastra ataupun penulis di antaranya: Ibu Mundi Rahayu, Pak Sabar, Cacing Anil, Polo, Hasan, Rara dan lain sebagainya. Selain puisi gesekan biola dari Ugik Arbanat menemani puisi-puisi dibacakan, juga tembang-tembang dari kelompok musik SWARA (Antok Yunus dan Abia Kana) juga melantun dengan menyanyikan dua buah lagu dari Album Ketiga yang sedang diproses rekamannya.

Acarapun dipungkasi dengan pembacaan puisi oleh penyair yang baru saja menerbitkan buku puisinya yang berjudul “Avontur” yakni Ragil Supriyano Samid dan ditutup dengan makan-makan bersama. Sebuah pesta puisi dan perayaan dua tahun Pelangi Sastra Malang yang meninggalkan sisa pertanyaan akan kesusastraan di Malang dan menjadikan PR bersama bagi sastrawan dan pegiat sastra ataupun komunitas sastra di Malang. Sehingga sastra di Malang tetap dinamis dengan karya-karyanya, dengan pembaca-pembacanya, dengan pengkritik-pengkritiknya dengan pesta-pestanya. 

*Koordinator Pelangi Sastra Malang dan Anggota Teater Sampar Malang Indonesia juga pengajar di SMK Muhammadiyah Dua Malang.