Selasa, 02 Agustus 2011

Puasa dan Kesadaran Sosial

Oleh: Denny Mizhar*

PROBLEM bangsa ini tak juga kunjung usai: persoalan ekonomi, politik, agama, sampai pada kemiskinan. Dalam hal persoalan ekonomi misalnya, dapat ditelisik ketika melihat distribusi pendapatan yang tidak merata. Hingga melahirkan kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin. Orang-orang kaya kebanyakan menghamburkan uangnya demi kepentingan-kepentiang pribadi dan memuaskan hasrat pribadi. Walaupun ada sebagian yang dermawan tetapi tidak banyak, adapun hanya simbolik.

Fakta ketika bulan Ramdhan konsumsi semakin naik. Tidak malah menurun. Banyaknya orang bersedekah, tetapi kemiskinan tetap saja tak kunjung sirna dari bangsa ini. Persoalan kemiskinan tidak hanya dampak dari sikap individual. Tetapi juga dampak dari persoalan politik bangsa ini. Sikap para politisi yang selalu mepolitisir segala persoalan. Para politisi pun mementingkan diri sendiri demi kelanggengan jabatan serta nama baik. Korupsi tak juga musna malahan berbelit-belit.

Sedang persoalan agama menjadi hal yang mewarnai rapot merah bagi mereka yang mendahulukan klaim kebenaran di atas kemajemukan bangsa ini. Harusnya agama dapat menjadi rujukan persoalan-persoalan yang ada. Akan tetapi sama saja. Agama hanya menjadi formalitas saja.

Saling silang persolan bangsa ini harusnya menjadi perenungan bersama. Para pemegang kekuasaan, politisi, para elit bangsa atau pun kelas atas (oarang kaya) yang memegang peranan dalam perkembangan dan perbaikan bangsa ini. Padahal mayoritas bangsa ini berpenduduknya beragama Islam. Seharusnya masalah moral dan kesadaran sosial diutamakan

M. Quraish Shihab memberi tafsir terhadap Al-qur’an perihal siapa saja yang bertangung jawab atas persoalan suatu bangsa terutama kemiskinan yakni kewajiban individu, kewajiban kelompok, kewajiban pemerintah. Pertama adalah individu (QS Ali ‘Imran:14), bahwasanya diharapkan setiap individu menhilangkan sikap yang tanpa usaha sama sekali yakni sikap meminta-minta. Individu seorang muslim haruslah berusaha keras. Tetapi pada kenyataannya di bangsa ini banyak melemahkan individu untuk berusaha karena kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi pemerintah: susahnya lapangan kerja, kebijakan tidak pernah berpihak pada orang-orang miskin, dll.

Kewajiban Kelompok, dalam hal ini dapat diindikasikan pada kelompok orang-orang kaya. Harusnya orang-orang kaya memberikan peluang dan menolong orang-orang miskin. Karena disebagian harta orang kaya ada sebagian milik orang miskin (QS Muhammad [47]:36-37. Tetapi pemberian yang dilakukan tidaklah harus diberi semena-mena, lebih baiknya menolong mereka supaya berdaya artinya memberikan investasi-investasi modal agar bekerja serta menolong bagaimana cara bekerja dengan benar: memberikan pelatihan berwirausaha serta memberikan jalur peluang-peluangnya. Hingga tidak hanya memberikan harta dan berlalu begitu saja. Sebab itu akan membuat mereka akan terlena dengan mensuburkan sikap tergantung yang berlebihan.

Sedangkan yang ketiga adalah pemerintah. Bahwasanya pemerintah harulah memberikan keringanan-keringan pada orang-orang miskin untuk berusaha. Dengan memberikan bantuan dari dana yang sah. Agar potensi individual masyarakat dapat teraktualisasi, memberikan peluang-peluang kerja serta subsidi usaha dengan kebijakan-kebijakan yang memihak pada masyarakat yang miskin. Menjalankan hukum dengan adil agar koruptor yang mengambil uang rakyat segera diadili lalu mengembalikan uang yang dikorupsi pada rakyat.

Islam telah memberikan pedoman secara moral pada umatnya bagaimana hidup bersosial. Maka Pada bulan puasa Ramadhan ini waktu yang tepat untuk menitik balikkan persoalan yang dihadapi bangsa ini. Dengan perenungan pribadi atas ibadah puasa Ramadhan kali ini. Menyadari bahwa ibadah puasa bukanlah mengugurkan kewajiban saja. Tetapi puncak keyakinan akan kebertuhanan. Yakni sikap jujur yang menjadi landasan akan gerak laku keseharian tanpa pengawasan. Untuk melakukan ibadah puasa. Tidak makan, tidak minum, tidak berbuat yang membatalkan puasa.

Pengawasan atas ketibakbatalan puasa adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Sehingga kebersadaran akan kebertuhanan kental mewarnai dalam beribadah puasa. Demensi spritual individual tidak berhenti seketika dengan kepatuhan menjalankan puasa tetapi juga berimbas pada demensi sosial. Melatih rasa empati akan kesederhanaan. Merasakan penderitaan atas kebijakan-kebijakan yang diterlorkan bagi penguasa akan keberdampakan rakyat miskin. Sehingga persoalan bangsa ini teratasi.

Hasan Hanafi seorang pemikir Islam juga memberikan tafsir atas landasan yang mendasari kewajiaban berpuasa dari Al-Qur’an “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu puasa sebagaimana Ia wajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu semua bertaqwa” (Q.S 2:183). Bahwa Al-Qura’an mengajarkan aspek mentalitas dan cara berpuasa adalah melatih solidaritas sosial, dalam hal merasakan penderitaan orang-orang kelaparan. Puasa dikerjakan pada bulan Ramadhan artinya seluruh umat muslim berpartisipasi secara langsung pada bulan puasa secara serempak: individual, kelopok dan pemerintah. Hal tersebut merupakan gerakan sosial.

Maka puasa adalah puncak keyakinan kebertuhanan yang memiliki dampak kesadaran individual juga kesadaran sosial  bersama yang harus terus dipupuk. Sehingga, tidak hanya ritual yang  mengugurkan kewajibansemata. Dan hanya lewat begitu saja tanpa termaknai. Kembali kedzoliman dilakukan sehabis bulan Ramadhan.

Dengan begitu, tidak hanya bulan Ramadhan kita dapati berhamburan alam kebajikan. Tetapi bulan Ramdhan sebagi titik balik atau momen mensadarkan diri secara mentalitas kebertuhanan yang pasrah. Juga merasakan realitas sosial yang terpinggirkan untuk diperjuangkan hingga terangkat untuk dapat mendapat hak-haknya di bangsa ini yakni bebas secara ekonomi (kemiskinan).

Konstribusi umat Islam sebagai warga negara yang mayoritas dapat terejahwantahkan secara signifikan pada bangsa Indonesia yang akan merayakan hari kemerdekaannya ke 66. Dan kemerdekaan sesungguhnya dapat juga terperoleh dari implikasi berpuasa pada bulan Ramadhan. Kemerdekaan merayakan nilai-nilai Islam yang memberi rahmat buat seluruh alam: bangsa Indonesia. Hingga keluar dari beragam masalahnya.


*Pengajar di SMK MuDa (Muhammadiyah Dua) Kota Malang 

Oase Estetik di Tengah Modernitas: Sebuah Spirit Festival Kampung Cempluk 2011

Oleh: Denny Mizhar*

Kampung, dengan adanya modernitas yang salah satunya ditandai dengan pembangunan membuatnya terpinggirkan. Lahan-lahan pertanian yang dijadikan mata pencaharian masyarakat kampung berubah menjadi perumahan mewah , rumah toko  bahkan mall. Begitu pula dengan semangat gotong royong menjadi terkikis dengan sifat individualis masyarakat modern. Kesenian tradisional yang menjadi spirtualitas ekpresi masyarakat pun sudah jarang ditemui karena media-media yang lahir dari modernitas bermunculkan yang menawarkan kesenangan sesaat dan populer.

Tetapi hal itu ingin ditepis oleh masyarakat RW 2 Dusun Sumberjo Desa Kalisongo Kecamatan Dau Kabupaten Malang dengan mengadakan Festival Kampung Cempluk. Kampung yang dihimpit oleh perumahan-perumahan mewah yang dahulunya adalah lahan pertanian dan perkebunan mereka. Penamaan Kampung Cempluk berdasar latar masa lalu dari dusun tersebut yang dahulunya rumah-rumah yang terbuat dari gedhek (anyaman bambu) mengunakan penerangan lampu cempluk. Konon katanya kampung cempluk banyak terdapat pohon jambu di masa lalunya yang kini banyak berubah menjadi perumahan mewah, tempat wisata lembah dieng yang terdapat sumber air kini tak dapat dinikmati oleh masyarakat kampung cempluk dan masyarakat kini harus membeli air lewat jasa PDAM.

Festival Kampung Cempluk yang digelar dari tanggal 17 hingga 24 Juli 2011 dapat menggambarkan wajah semangat gotong royong dan pelestarian kesenian, momen tersebut juga sebagai media ekpresi estetik budaya di tengah kesibukan bekerja yang kebanyakan sebagai pekerja tukang bangunan. Arak-arakan atau pawai menandai tergelarnya acara Festival Kampung Cempluk di mana beragam kesenian tradisional yang dimiliki kampung tersebut unjuk kebolehan dari Bantengan, Jaranan, dan lain sebagainya. Sedangkan malam harinya di gang-gang terdapat kuliner masakan kampung juga pentas seni. Kepiawaian masyarakat dalam bekerja menjadi tukang bangunan tak juga ketinggalan mengekpresikan dirinya dengan membuat galeri rumah hantu dengan tarif 3000 rupiah untuk tiket masuknya.

Malang pertama pentas seni yang tampil pada acara Festival Kampung Cempluk adalah seni musik yang mengunakan perlatan gamelan dan perkusi dengan nyanyian campursarian. Panggung utama yang dibuat oleh panitia dan aparatur dusun terlihat padat oleh penonton dari masyarakat sekitar juga pengunjung dari luar kampung di hari pertama pada Minggu, 17 Juli 2011.

Tak hanya masyarakat Sumberjo RW 2 yang tampil di acara tersebut, Yani dengan kawan-kawan dari Komunitas film Lensa Mata juga memutar film –film yang diproduksi pada tahun 80-90-an dan juga film-film indie yang mereka buat dan pemutaran pertama pada hari ke dua hingga berakhirnya acara festival kampung cempluk. Penayangan filmnya dengan format layar tancap. Pada tanggal 20 Juli tepatnya hari ke empat Dhohir Sindu membawakan monolognya yang berjdudul SAKERA KESASAR di panggung kedua yang dibuat oleh masyarakat sendiri dengan spontanitas merespon kelompok-kelompok seni yang ada di Malang untuk tampil atas ajakan Redy Eko Prasetyo seniman musik yang tinggal di kampung tersebut.  Sedang pada tanggal 21 Malam, tetap di panggung kedua dipenuhi gamelan dari UKM SENI TARI dan Karawitan (STK) Universitas Negeri Malang yang menampilkan tarian kontemporer, para penari dengan tampak indah menceritakan sebuah perjuangan. Penonton berdatangan melihat para penari yang menari di jalan depan panggung.

Puncak penampilan komunitas-komunitas seni Malang pada tanggal 20 Juli. Pertunjukan di mulai dengan penampilan musik dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang yang berkalaborasi dengan kelompok musik perkusi Garuda Putih milik dusun Sumberjo para pemainnya anak muda dusun tersebut. Beberapa komposisi pun mengalun dan setelah itu sambutan dari Kepala Dusun dan Ketua Panitia. Masyarakat pun menonton dengan antusias. Sehabis itu dari panggung kedua berjalan penari-penari dari  STK UM untuk menampilkan tarian yang serupa di hari sebelumnya. Berkahirnya tarian langsung disusul oleh pertunjukan Kelompok Bermain Kangkung Berseri dengan mementaskan “Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumirang Ajidarma, mereka bermain dari perempatan kampung menyusuri jalan hingga sampai pada panggung kedua.  Selanjutnya di susul Monolog dari Sanggar Alkaromi dengan penampilan yang interaktif dengan penonton.

Malam bertambah larut, Charles memainkan gitar dan menyanyikan lagu ciptaanya di temani Redy Eko memetik gitar dan Hera menabuh Jembe dan pembacaan puisi dari Senna asal Jakarta, Sogeahmad, Yusri Fajar, Lyla dan Pelangi Sastra Malang dengan iringan musik pula. Dilanjutkan penampilan teater dari Teater Pelangi Indonesia Universitas Negeri Malang dan  penutup acara pada malam tersebut penampilan dramtikalisasi puisi oleh Komunitas Seni Ronggowarsito Malang. Sebenarnya masih banyak seniman yang ingin tampil tetapi waktu harus membatasi kerana sudah tengah malam.

Kemeriahan tak kunjung pudar di hari berikutnya pada tanggal 22  Malam, acara pertunjukan pencak dari Panca Manunggal Sakti dengan aktraksi-aktrasi seni bela diri yang ditampilkan. Di sela pertunjukan Kepala Kecamatan ditunjuk oleh panitia untuk manyampaikan pidatonya. Dalam pidatonya mengatakan sangat apresiasi terhadap acara tersebut guna melestarikan budaya, kesenian dan semangat gotong royong agar tidak pudar.  Sedang pada tanggal 23 Malam penampilan Jaranan Turonggo Joyo Mulyo milik warga dusun Suberjo adalah kelompok yang baru saja dirintis demi melestarikan seni tradisional yang juga tampil menutup acara Festival Kampung Cempluk pada tanggal 24 Juli 2011.

Festival Kampung Cempluk, memang baru dua kali terselenggara, tetapi menarik untuk diapresiasi. Tak hanya saat Festival, keseharian masyarakat Sumberjo juga menarik untuk ditelusuri tentang cara mereka melestarikan seni budaya. Mereka tak hanya punya kelompok seni musik Garuda Putih, Jaranan, Bantengan tetapi juga punya kelompok drama tradisional Ande-Ande Lumut yang tampil pada Festival Kampung Cempluk tahun sebelumnya, sayangnya pada Festival Kampung kali ini tidak tampil dikarenakan beberepa hal teknis. Di tengah himpitan pembangunan atas nama modernitas di  Malang Raya, masih tersisa semangat pelestarian seni budaya. Manjadi harapan besar nantinya terwujud kampung budaya di Dusun Sumberjo.

*Pegiat Pelangi Sastra Malang, Anggota Teater Sampar Indonesia Malang dan Pengajar di SMK MUDA (Muhammadiyah Dua) Kota Malang.