Mencintai
menjelma menjadi matahari dalam diri
kelopak mawar mekar mengajarkan kesadaran
menebar harum wewangian dalam syair asmaradana.
hakekatnya adalah kebajikan
bersetubuh melingkar tanya akan keberadaan.
kadang kala menjelma hasrat
meletup dari keinginan semata─ tanpa kendali.
terbangunlah jembatan arah menuju kealpaan muasal.
dusta dan luka menempel pada tirai.
sebab harap tak sampai mendekat.
ada keterputusan rantai arah tuju.
limbung dibuatnya.
maka, bersegera menyeretnya
pada pintu harap semesta:
tentang keagungan tuhan,
tentang resah pertiwi.
pertanyakan letak diri.
:cakrawala terbentang
semangat tak pantang terkuras.
adalah bumi tak lelah terpijaki.
membuka diri menjadi matahari
terangi tak harap balas kasih.
Malang, juli 2010
Bulan Sabit di Balik Jendela
kau yang mengancamku dari balik jendela tak juga beranjak pergi. menerangi tak sempurna setapak hatiku. mengantung-gantung di pohon trembesi tempat aku menunggu bila matahari berlahan angslup di tepi barat rumah yang aku huni.
kau menghampiriku memberi kisah tak pernah tuntas menjadi kenang purnama. hanya pancarkan cahaya merah berkilauan membuatku silau.
(aku kembali pertayakan sepi yang bening)
kututup jendela. kau menahan dengan lancip sabit. menusuk suratan hati yang telah bercahaya kembali.
Malang, Juli 2010
Waktu Pisau Menikam Tubuh
detak rindu
melodi pilu
dari angka-angka ganjil
di dinding tubuh runtuh
mengepak
jejak waktu
memburu
menikam
resah kalbu
mawar di mata melahan jatuh
menggerimis darah berwarna ungu
jarum jam beku
sejarah tertulis
menebar amis
lukisan kupu-kupu di pipi
bermetamoforsif menjadi ulat dungu
merambat mengelilingi pusaran waktu
hilang satu
darah beku
hilang dua
kepala pecah
hilang tiga
leher patah
hilang empat
dada terbelah
hilang lima
perut mengembung
hilang enam
setengah tubuh
tak dapat dirasa
pisau masih mewaktu
dalam angka raga
hendak berdetak-detak
tetapi kalah
menyiasati jiwa
Malang, 2010
Memulangkan Resah
:lis
i
pada kata yang meretakkan gelisah
aku membuka lebar rongga sukma
segala desah tentang air mata
mengalir pada muaranya
bias cahaya menelusup di kediaman duka
memberi terang pada kegelapan rasa
sebab aku telah membasuh darah
yang meluber dari patahan hati merah muda
ii
hai, gadis bermata sayu
keluarlah dari ruang sunyimu
pandanglah gemerlapan lampu kota
hingga hilang segala resah
sebab aku tak mau gelisah
melihatmu murung memikirkan cinta
letakkan saja pada tempatnya
simpan rapat segala lara
:semakin membayang semakin tak dapat hilang semakin dekat. oh, semakin aku yakin. kau rupanya dan kau akhirnya. aku pun diam dalam puisi mengukuhkan diri memulangkan resah
Malang, Juli 2010
Lonceng Malam
aku adalah rindu
berdenting melengking
memanggil kekasih
di balik sepi
menyibak pekat malam
arungi angin berdesir
merinding pada hening
mengigil pada bunyi
aku adalah kekasih
tak dapat berlari
dari peluk tubuh
dari basah kata
dari suara resah
Malang, 2010
Sajak Untuk Aku
Hai, aku. Lihatlah kunang-kunang yang kau simpan tak berkerlipan. Lepaskanlah pada udara bebas agar ia dapat melesat pada ketinggian. Biarkan langit menggapai segala asanya yang ia endapkan.
Hai, aku. Tak usah lagi kau tulis jejak lukamu yang membuatnya tak betah tinggal denganmu walau hanya mencium bau anyir darahmu. Rebahkanlah ia jauh dari tubuhmu yang penuh darah dari duka masa lalumu hingga kini masih belum mengering.
Hai, aku. Selami sukmamu sedalam kau membaca Tuhanmu. Agar harum mawar menebar wewangian kebahagiaan yang lama ia idam-idamkan. Tak usah kau kunci egomu dengan gembok yang kuat hingga tak ada lagi cela untuk keluar.
:Sebab aku memandangmu, wahai kunang-kunangku dengan kebebasan membiaskan venus menuju rumahNya. Berkerliplah di gelap malam di taman kamboja hingga sepi menjadi riang tanpa kelam.
Malang, 2010
Cinta Di Bulan Juni
Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.
O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.
Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.
Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.
Malang, Juni 2010
*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)
Sajak Untuk Neng
:lis
Betapa lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.
Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.
Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.
Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.
Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu─tak ada.
Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Ilahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. Pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.
Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.
Malang, Juni 2010
Gadis Bermata Burung Hering
aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.
debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku
dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.
aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.
terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan
Malang, 2010
Pada Gadis Serupa Layla
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku
lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.
o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.
kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.
romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.
ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.
mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.
Malang, 2010
Surat Untuk Kekasihku
pada siang menerawang
wajahmu membiru layu
kusaksikan gerimis berguguran
membasahi dukaku yang kaku
kenang dirimu
dengan gemuruh sesalku
aku meninggalkanmu
tanpa kecup terakhir
di keningmu.
luka kepergian tanpa ikatan
kini menyeringaiku akan kegilaan
sebab tiada tempat
aku berkisah
tentang darah,
luka,
air mata
anak-anak gembala.
lihatlah langit Gaza:
debu-debu mesiu
mengotori keputihan
dan kebiruannya.
gelap menyapa:
tangis gadis-gadis kecil ,
ratapan seorang ibu,
bapak dan anak perjakanya
sibuk mengumpulkan batu-batu
membalas luka
tiada ujungnya
kekasihku,
singkaplah tabir rahasia
yang menutupi dirimu
biar rindu ini
sampai padamu
rasakanlah nyeri tubuhku
meletupkan rindu
ingin berkisah
tentang kesunyian
bercinta dengan darah
seperti dulu
di bawah pohon trembesi
kau rebah aku bercerita
duka pun memeluk tubuh
dan kita semakin mesrah
dengan duka luka air mata
tak lelah-lelah
menjadi kisah
kita.
Malang, 2 Juni 2010
Kepada Ana
Ana, adakah tempat singgah buatku yang kini merasa lelah. Jalan panjang nan berkelok telah aku lalui. Rindu-benci pernah memanahku hingga tembus ke dinding hati. Ana, aku menunggu bibirmu bernyanyi. Walau tak merdu, tetap kudengar dengan hatiku. Atau kau tak suka bila aku melepas lelah dan berhenti pada jalan akhir meninggalkan jejak cintaku padamu.
Ana, biarkan punggungku dan punggungmu bertatap-tatapan di bangku taman, lalu kita bercerita tentang pertunjukan yang habis kita mainkan: Sesudahnya aku harap, kita tulis lagi jalan cerita dengan kisah nyata.
Kau masih ingat ketika kita memainkan lakon Romeo dan Juliet. Aku begitu suka sekali ketika Romeo aku perankan dan Juliet kau perankan. Kita merubah kisah di akhir pertunjukan: Bahwa mempertahankan cinta tak harus berakhir dengan kematian.
Ana, dunia serasa berbeda. Ketika kakiku sudah mulai menginjakkan pintu luar gedung pertunjukan. Kisah nyata pun tak ada, sebab hidup kita serupa sandiwara.
Oh, Ana haruskah aku ungkap dengan kata. Bukankah kau bisa baca langkahku. Di situ ada rasa cinta yang menggelora.
Malang, Mei 2010
Kesurupan Cinta
kembang tujuh rupa
terikat di rambutmu
harum dupa di wajahmu
memeluk mistis rindu
lahirkan misteri
wingit tubuhmu
:aku mencium
dari ruang kesunyianku.
wajah dan rambutmu
merasuki tubuhku
o, padamu padma
aku kesurupan cinta
bermacam mantra
melantun dari hatiku
tak juga pergi dariku
Malang, Mei 2010
Patah Hati
Waktu hantar pada getaran detak jantung menjemput kematian.
Simpan misteri bunga kamboja yang terselip pada detiknya.
Jejak-jejak luka tak dapat terhapus wangi aroma dupa.
Sakral membuka garis nasib pertautan hati mengambang pada tanya.
Mulai meneteskan gerimis darah.
Oh, asmaradana kutembangkan merdu melalui tubuh padma.
Hanya selintas lalu amblas.
Serupa waktu menjemput ajalnya.
Detaknya mendiami diriku dalam hampa.
Malang, Mei 2010
Luka-Luka Kepedihan
ketika waktu tersingkap
ku teguk arak pengobat luka
tak pernah ada sesal
ketika pedih mendera
sebab pedih adalah hidupku
jika pergi itu karenaku
tentu aku melepasmu
tapi kau memotong
benang di hatiku
bunga-bunga layu
dalam kamarku
kegelapan menebas tubuhku
tersudut dalam laci terkunci
bukankah segalanya telah ada
aku percaya siklus semesta
berputar pada porosnya
hanya engsel yang lepas
dapat semburat segalanya
tetapi aku masih di garis
garis kepedihan
luka waktu kepergian
luka rindu bunga layu
luka pedih hati mati
luka sajak
sajak luka
luka sajaku
sajak lukaku
Malang, 2010
Untuk Air Mata
:Echa
kau meneteskan air mata
aku melangkah ke mana
jika jejak kau hapus begitu saja
hujan sedari tadi
memelukku dalam kepasrahan
rerintik pilu menembus dada rinduku
memainkan denting tanya tentangmu
O, gelisahmu tak dapat aku tembus
pintu rumahmu kau tutup
sejak kapan itu?
aku hanya menelusuri petualanganmu
menangkap isyarat-isyarat ragu
kau hilang di jalan pulang
tak ada sisa aku kenang
senja di tubuh padma
aku tahu aroma bibirmu
kental dengan waktu
ketika resah menaungi sukmaku
sel sadarku berselendang rindu
dimanakah aku?
hilang dalam karung ragu
jejak tertinggal
pedang memenggal
di lekuk tubuh Padma
tergambar risalah kata
menafsir makna luka
senja begitu kuasa
Jogja, 2010
Terlewat Waktu Aku Merindu
Demi waktu
Pemilik pena
Penguasa:
Malam - siang
Pagi - senja
Mencumbumu:
menyetubuhi
dengan sungguh
Tersapu tak menentu
dalam kelenaan rindu
Aku selalu keliru
mempertanyakan tubuhku
meletakkan dalam detak-detiknya
Hingga penggalan membelah dadaku
tak mampu menjumpaimu
Sesadar dalam ragu
ingin kembali memelukmu
hangat mesra meretas beku
Mengoreskan rindu dengan penamu
melewati waktu dalam genggaman cumbu.
Malang, 2010
Aku Hendak Merangkai Kamboja
pada Gadis Meninggalkan Luka
aku tak hendak menanam mawar
tapi ingin merankai kamboja
pada gadis menyayat luka
harummu serupa dupa
berkali-kali mandi kembang tuju rupa
tak juga sempurna
oh, dimanakah kembang kamboja
biar kurangkai menjadi kalung surga
sebab sepi selalu menyapa
pada kenangan selalu berpendar
menunggui hari-hari rindu
nyanyikan lagu perdu
menggarami sobekan luka
rangkaian kambojaku tertata
Malang, 2010
Gadis di Balik Pintu Berkaca Bening
Dan Aku yang Mebuka Jendela Berselambu Biru
:tetangga rumah
di balik pintu
berkaca bening rumahmu
kau belai rambutmu
menghitung helai demi helai
berapakah jumlahnya?
kau menerbangkan burung kertas biru
masuk di jendela rumahku
aku menangkap dengan terburu-buru
lahan-berlahan aku buka
tak ada goresan pena membilang makna
serupa mataku
tak lelah mengintip gelisahmu
dari satu jengkal tanganku membuka selambu biru
rumahku-rumahmu saling bertatap-tatapan
tapi mata kita tak saling bertautan
bukankah hidup untuk saling bersapaan
aku pun mengikuti hari
menghitung pagi
membuka jendela lagi
memandangmu kembali
berharap mataku-matamu saling menepi
derat bunyi pintu dari rumahmu
aku cepat membuka jendela berselambu biru
kembali aku tatap lagi
ah, teryata ibumu
senyum-senyum sambil menatapku
Malang, Januari 2010
Membaca Garis Retakan Resahmu di Bibirku
;E.R
Pada kelelahanmu menapaki jalan bukit pikir resah. Aku melihat senyum mengulum tak pernah kalah. Hati membaca waktu untuk merabah. Menanggalkan gerimis tubuh dengan mesra.
Kau menyimpan sejarah luka dalam buku harian di lemari berdinding besi tergaris pecah. Tak berharap siapanpun akan membongkar kisah. Kau tanam bunga melati putih tangkainya patah.
Aku bertanya padamu, maukah meletakkan beban di kepalamu pada pundaku? Sambil membisu kau menulis retakan nasib di bibirku. Seribu bahasa tak ada aksara untuk mengungkap puisi-syairmu yang bergemuru tentang rindu.
Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir
pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga
kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis
ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.
belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.
ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.
isyarat mimpi
sepasang ikan hampir mati di air keruh. kau mengambilnya. kau memasukkan dalam aquarium.
berbinar sisik-sisiknya memancarkan cahaya saling berkejaran dan berlompatan
aku memandang bayangan ikan dalam cermin. tampak aku-kau saling berduaan dalam cincin.
isyaratnya. harap aku temui bunga tidur harum mewangi
Malang, Juli 2010
Coklat Hati
hatimu berrasa coklat
menyimpan tanya
tak pernah aku mengerti
“kau bawa pergi
juga hatiku?”
“harapku kau di sini
memasak kasih
rasa coklat hati”
Malang, Juli 2010
kau menaiki dokar
suara sepatu kuda
menarik jejakku
melangkah pergi
kau menaikinya
dengan hati resah
sedang aku
masih menunggu
dalam sunyi
riang bernyanyi
mengharap kau kembali
dengan dokar yang kau naiki
membawa kata pasti
untuk aku pahami
Malang, Juli 2010
dalam tas warna hati
dalam tas warna hati
tersimpan kasih
aku meletakkan
rasa rindu di dalamnya
biar kau tenteng
dalam hari-harimu
dengan senyum
berseri-seri
Malang, Juli 2010
Menanam Coklat
menanam sebiji coklat di ranum bibirmu.
bila musim rindu aku pandangi.
nampak indah di bibirmu.
aku menunggu musim masak
kan kucetak dengan bentuk mata
agar nampak bila dipandang rasa.
:rinduku menjelma coklat mata beraromah darah.
Malang, 2010
menjelma menjadi matahari dalam diri
kelopak mawar mekar mengajarkan kesadaran
menebar harum wewangian dalam syair asmaradana.
hakekatnya adalah kebajikan
bersetubuh melingkar tanya akan keberadaan.
kadang kala menjelma hasrat
meletup dari keinginan semata─ tanpa kendali.
terbangunlah jembatan arah menuju kealpaan muasal.
dusta dan luka menempel pada tirai.
sebab harap tak sampai mendekat.
ada keterputusan rantai arah tuju.
limbung dibuatnya.
maka, bersegera menyeretnya
pada pintu harap semesta:
tentang keagungan tuhan,
tentang resah pertiwi.
pertanyakan letak diri.
:cakrawala terbentang
semangat tak pantang terkuras.
adalah bumi tak lelah terpijaki.
membuka diri menjadi matahari
terangi tak harap balas kasih.
Malang, juli 2010
Bulan Sabit di Balik Jendela
kau yang mengancamku dari balik jendela tak juga beranjak pergi. menerangi tak sempurna setapak hatiku. mengantung-gantung di pohon trembesi tempat aku menunggu bila matahari berlahan angslup di tepi barat rumah yang aku huni.
kau menghampiriku memberi kisah tak pernah tuntas menjadi kenang purnama. hanya pancarkan cahaya merah berkilauan membuatku silau.
(aku kembali pertayakan sepi yang bening)
kututup jendela. kau menahan dengan lancip sabit. menusuk suratan hati yang telah bercahaya kembali.
Malang, Juli 2010
Waktu Pisau Menikam Tubuh
detak rindu
melodi pilu
dari angka-angka ganjil
di dinding tubuh runtuh
mengepak
jejak waktu
memburu
menikam
resah kalbu
mawar di mata melahan jatuh
menggerimis darah berwarna ungu
jarum jam beku
sejarah tertulis
menebar amis
lukisan kupu-kupu di pipi
bermetamoforsif menjadi ulat dungu
merambat mengelilingi pusaran waktu
hilang satu
darah beku
hilang dua
kepala pecah
hilang tiga
leher patah
hilang empat
dada terbelah
hilang lima
perut mengembung
hilang enam
setengah tubuh
tak dapat dirasa
pisau masih mewaktu
dalam angka raga
hendak berdetak-detak
tetapi kalah
menyiasati jiwa
Malang, 2010
Memulangkan Resah
:lis
i
pada kata yang meretakkan gelisah
aku membuka lebar rongga sukma
segala desah tentang air mata
mengalir pada muaranya
bias cahaya menelusup di kediaman duka
memberi terang pada kegelapan rasa
sebab aku telah membasuh darah
yang meluber dari patahan hati merah muda
ii
hai, gadis bermata sayu
keluarlah dari ruang sunyimu
pandanglah gemerlapan lampu kota
hingga hilang segala resah
sebab aku tak mau gelisah
melihatmu murung memikirkan cinta
letakkan saja pada tempatnya
simpan rapat segala lara
:semakin membayang semakin tak dapat hilang semakin dekat. oh, semakin aku yakin. kau rupanya dan kau akhirnya. aku pun diam dalam puisi mengukuhkan diri memulangkan resah
Malang, Juli 2010
Lonceng Malam
aku adalah rindu
berdenting melengking
memanggil kekasih
di balik sepi
menyibak pekat malam
arungi angin berdesir
merinding pada hening
mengigil pada bunyi
aku adalah kekasih
tak dapat berlari
dari peluk tubuh
dari basah kata
dari suara resah
Malang, 2010
Sajak Untuk Aku
Hai, aku. Lihatlah kunang-kunang yang kau simpan tak berkerlipan. Lepaskanlah pada udara bebas agar ia dapat melesat pada ketinggian. Biarkan langit menggapai segala asanya yang ia endapkan.
Hai, aku. Tak usah lagi kau tulis jejak lukamu yang membuatnya tak betah tinggal denganmu walau hanya mencium bau anyir darahmu. Rebahkanlah ia jauh dari tubuhmu yang penuh darah dari duka masa lalumu hingga kini masih belum mengering.
Hai, aku. Selami sukmamu sedalam kau membaca Tuhanmu. Agar harum mawar menebar wewangian kebahagiaan yang lama ia idam-idamkan. Tak usah kau kunci egomu dengan gembok yang kuat hingga tak ada lagi cela untuk keluar.
:Sebab aku memandangmu, wahai kunang-kunangku dengan kebebasan membiaskan venus menuju rumahNya. Berkerliplah di gelap malam di taman kamboja hingga sepi menjadi riang tanpa kelam.
Malang, 2010
Cinta Di Bulan Juni
Bila yang pernah aku temui adalah hujan bulan juni*. Kini usai pada matahari bulan juni**. Ada kabar tentang waktu yang menua dan harus tergantikan dengan kemudaan. Melewati hari-hari sepi bulan juni. Sehabis aku meninggalkan jejak pada mei yang penuh luka dan darah dalam sejarah bangsa ini.
O juni, gadis-gadis menari dengan lekuk tubuh yang memancing gelora cinta membumbung ke awan. Kesepian dan kelukaan tentang hati sedikit meredup dalam gonjangan jeratan kisah. Akankah menjadi kasih?. Bila masa lalu masih ingatkan akan dendam pada tuhan yang memberikan kasih rapuhku (Bukankah masa lalu adalah cermin). Aku menyegerakan diri membasuh wajah luka dengan air suci menatap langit dan merebahkan diri dalam do’a-do’a panjang. Harapku adalah musim cinta akan aku petik dari gadis-gadis penari yang mengeja lakon-lakon sandiwara dengan tariannya.
Masih aku gemgam kalimat tanya. Masih aku simpan kalimat tanya. Masih saja, tak hendak meletup padanya.
Kini juni, telah aku nobatkan menjadi musim cinta. Aku jatuh cinta lagi. Pada rintik hujan dan matahari yang saling silang menyapa jejak-jejak langkah menggambar hati dengan bunga sorga. Padamu gadis bermata jelita, bulan juni milik kita.
Malang, Juni 2010
*judul puisi sapardi joko damono (hujan bulan juni)
** judul puisi ragil sukriwul (matahari bulan juni)
Sajak Untuk Neng
:lis
Betapa lama aku menunggu di gelisah malam tak bertepi. Sajak-sajak cinta bercahaya menaungiku dalam gelap pekat waktu. Mencari jalan menuju taman firdaus yang di dalamnya tumbuh bunga-bunga mawar merona. kan aku petik buatmu satu.
Sinar rembulan enggan datang, mungkin juga menantimu sebab aku melihat sinarnya ada di matamu. Berbinar-binar saat kau pernah menatapku. O indahnya kala itu.
Kemarilah! Neng, ada kisah yang menuntunmu pada resah yang aku genggam saat kau bercerita tentang kekasihmu. Harap sesal kau lalui memandang jalan penuh tawa dan bahagia. Kau bercerita padaku ketika itu. Bersandarlah pada bahuku yang sudah menunggu kepalamu.
Neng, masihkah kau ragu padaku. Pada sajak-sajak yang menggambar bunga mawar dan menyelinap dalam rumah ibadah untuk menyembah pada pemilik cinta. Lantunan do’a menggema memanggil-manggil namamu. Lekaslah datang pada kerinduan hendak menjelma pada kesepian malamku.
Duh, malam. Tiada kau lelah menemani gelisah pujangga sedang meminum anggur kasmaran pada gadisnya tak kunjung menyapa. walau hanya senyum manis bibirnya yang merah. Serta kibasan rambut yang memanggut rindu─tak ada.
Neng, sayapku tampak rapuh. Bila cahaya Ilahiyah yang kau bawa tak kunjung kau sematkan padaku. Pada bulu-bulu bersikukuh menahan diri untukmu. Pada tulang rusukku yang kau ambil satu. Aku hendak meluruskan demi kesamaan akan hakekat kita mengenang proses penciptaan.
Lukakah aku, bila kau tak kunjung tiba. Dukakah aku, bila kau enggan menyapa. Lelahkah aku, bila harus menunggumu. Patahkah aku bila aku jatuh padamu. Hanya tuhan, aku dan kau memiliki jawab atas resah cinta.
Malang, Juni 2010
Gadis Bermata Burung Hering
aku melihat mata burung hering
memandang tajam padaku
membawa isyarat kematian:
fikiran yang menyerbu,
kalbu yang berdentang tak merdu.
debar jejakku berdebar
jika ia meletakkan kakinya di pundakku
dalam asmara malam merintih
pada hening basah menjelma luka.
aku bersetubuh dengan darah dan duka.
tubuhku menjadi hitam
mematuk-matuk kerinduan akan kematian.
terbuka pintu maut kebahagian
kesadaran membaca tubuh tak beraturan
mengintai keyakinan pada pemilik kerinduan
sujudku dalam matanya memancar perpisahan
Malang, 2010
Pada Gadis Serupa Layla
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku
lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.
o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.
kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.
romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.
ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.
mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.
Malang, 2010
Surat Untuk Kekasihku
pada siang menerawang
wajahmu membiru layu
kusaksikan gerimis berguguran
membasahi dukaku yang kaku
kenang dirimu
dengan gemuruh sesalku
aku meninggalkanmu
tanpa kecup terakhir
di keningmu.
luka kepergian tanpa ikatan
kini menyeringaiku akan kegilaan
sebab tiada tempat
aku berkisah
tentang darah,
luka,
air mata
anak-anak gembala.
lihatlah langit Gaza:
debu-debu mesiu
mengotori keputihan
dan kebiruannya.
gelap menyapa:
tangis gadis-gadis kecil ,
ratapan seorang ibu,
bapak dan anak perjakanya
sibuk mengumpulkan batu-batu
membalas luka
tiada ujungnya
kekasihku,
singkaplah tabir rahasia
yang menutupi dirimu
biar rindu ini
sampai padamu
rasakanlah nyeri tubuhku
meletupkan rindu
ingin berkisah
tentang kesunyian
bercinta dengan darah
seperti dulu
di bawah pohon trembesi
kau rebah aku bercerita
duka pun memeluk tubuh
dan kita semakin mesrah
dengan duka luka air mata
tak lelah-lelah
menjadi kisah
kita.
Malang, 2 Juni 2010
Kepada Ana
Ana, adakah tempat singgah buatku yang kini merasa lelah. Jalan panjang nan berkelok telah aku lalui. Rindu-benci pernah memanahku hingga tembus ke dinding hati. Ana, aku menunggu bibirmu bernyanyi. Walau tak merdu, tetap kudengar dengan hatiku. Atau kau tak suka bila aku melepas lelah dan berhenti pada jalan akhir meninggalkan jejak cintaku padamu.
Ana, biarkan punggungku dan punggungmu bertatap-tatapan di bangku taman, lalu kita bercerita tentang pertunjukan yang habis kita mainkan: Sesudahnya aku harap, kita tulis lagi jalan cerita dengan kisah nyata.
Kau masih ingat ketika kita memainkan lakon Romeo dan Juliet. Aku begitu suka sekali ketika Romeo aku perankan dan Juliet kau perankan. Kita merubah kisah di akhir pertunjukan: Bahwa mempertahankan cinta tak harus berakhir dengan kematian.
Ana, dunia serasa berbeda. Ketika kakiku sudah mulai menginjakkan pintu luar gedung pertunjukan. Kisah nyata pun tak ada, sebab hidup kita serupa sandiwara.
Oh, Ana haruskah aku ungkap dengan kata. Bukankah kau bisa baca langkahku. Di situ ada rasa cinta yang menggelora.
Malang, Mei 2010
Kesurupan Cinta
kembang tujuh rupa
terikat di rambutmu
harum dupa di wajahmu
memeluk mistis rindu
lahirkan misteri
wingit tubuhmu
:aku mencium
dari ruang kesunyianku.
wajah dan rambutmu
merasuki tubuhku
o, padamu padma
aku kesurupan cinta
bermacam mantra
melantun dari hatiku
tak juga pergi dariku
Malang, Mei 2010
Patah Hati
Waktu hantar pada getaran detak jantung menjemput kematian.
Simpan misteri bunga kamboja yang terselip pada detiknya.
Jejak-jejak luka tak dapat terhapus wangi aroma dupa.
Sakral membuka garis nasib pertautan hati mengambang pada tanya.
Mulai meneteskan gerimis darah.
Oh, asmaradana kutembangkan merdu melalui tubuh padma.
Hanya selintas lalu amblas.
Serupa waktu menjemput ajalnya.
Detaknya mendiami diriku dalam hampa.
Malang, Mei 2010
Luka-Luka Kepedihan
ketika waktu tersingkap
ku teguk arak pengobat luka
tak pernah ada sesal
ketika pedih mendera
sebab pedih adalah hidupku
jika pergi itu karenaku
tentu aku melepasmu
tapi kau memotong
benang di hatiku
bunga-bunga layu
dalam kamarku
kegelapan menebas tubuhku
tersudut dalam laci terkunci
bukankah segalanya telah ada
aku percaya siklus semesta
berputar pada porosnya
hanya engsel yang lepas
dapat semburat segalanya
tetapi aku masih di garis
garis kepedihan
luka waktu kepergian
luka rindu bunga layu
luka pedih hati mati
luka sajak
sajak luka
luka sajaku
sajak lukaku
Malang, 2010
Untuk Air Mata
:Echa
kau meneteskan air mata
aku melangkah ke mana
jika jejak kau hapus begitu saja
hujan sedari tadi
memelukku dalam kepasrahan
rerintik pilu menembus dada rinduku
memainkan denting tanya tentangmu
O, gelisahmu tak dapat aku tembus
pintu rumahmu kau tutup
sejak kapan itu?
aku hanya menelusuri petualanganmu
menangkap isyarat-isyarat ragu
kau hilang di jalan pulang
tak ada sisa aku kenang
senja di tubuh padma
aku tahu aroma bibirmu
kental dengan waktu
ketika resah menaungi sukmaku
sel sadarku berselendang rindu
dimanakah aku?
hilang dalam karung ragu
jejak tertinggal
pedang memenggal
di lekuk tubuh Padma
tergambar risalah kata
menafsir makna luka
senja begitu kuasa
Jogja, 2010
Terlewat Waktu Aku Merindu
Demi waktu
Pemilik pena
Penguasa:
Malam - siang
Pagi - senja
Mencumbumu:
menyetubuhi
dengan sungguh
Tersapu tak menentu
dalam kelenaan rindu
Aku selalu keliru
mempertanyakan tubuhku
meletakkan dalam detak-detiknya
Hingga penggalan membelah dadaku
tak mampu menjumpaimu
Sesadar dalam ragu
ingin kembali memelukmu
hangat mesra meretas beku
Mengoreskan rindu dengan penamu
melewati waktu dalam genggaman cumbu.
Malang, 2010
Aku Hendak Merangkai Kamboja
pada Gadis Meninggalkan Luka
aku tak hendak menanam mawar
tapi ingin merankai kamboja
pada gadis menyayat luka
harummu serupa dupa
berkali-kali mandi kembang tuju rupa
tak juga sempurna
oh, dimanakah kembang kamboja
biar kurangkai menjadi kalung surga
sebab sepi selalu menyapa
pada kenangan selalu berpendar
menunggui hari-hari rindu
nyanyikan lagu perdu
menggarami sobekan luka
rangkaian kambojaku tertata
Malang, 2010
Gadis di Balik Pintu Berkaca Bening
Dan Aku yang Mebuka Jendela Berselambu Biru
:tetangga rumah
di balik pintu
berkaca bening rumahmu
kau belai rambutmu
menghitung helai demi helai
berapakah jumlahnya?
kau menerbangkan burung kertas biru
masuk di jendela rumahku
aku menangkap dengan terburu-buru
lahan-berlahan aku buka
tak ada goresan pena membilang makna
serupa mataku
tak lelah mengintip gelisahmu
dari satu jengkal tanganku membuka selambu biru
rumahku-rumahmu saling bertatap-tatapan
tapi mata kita tak saling bertautan
bukankah hidup untuk saling bersapaan
aku pun mengikuti hari
menghitung pagi
membuka jendela lagi
memandangmu kembali
berharap mataku-matamu saling menepi
derat bunyi pintu dari rumahmu
aku cepat membuka jendela berselambu biru
kembali aku tatap lagi
ah, teryata ibumu
senyum-senyum sambil menatapku
Malang, Januari 2010
Membaca Garis Retakan Resahmu di Bibirku
;E.R
Pada kelelahanmu menapaki jalan bukit pikir resah. Aku melihat senyum mengulum tak pernah kalah. Hati membaca waktu untuk merabah. Menanggalkan gerimis tubuh dengan mesra.
Kau menyimpan sejarah luka dalam buku harian di lemari berdinding besi tergaris pecah. Tak berharap siapanpun akan membongkar kisah. Kau tanam bunga melati putih tangkainya patah.
Aku bertanya padamu, maukah meletakkan beban di kepalamu pada pundaku? Sambil membisu kau menulis retakan nasib di bibirku. Seribu bahasa tak ada aksara untuk mengungkap puisi-syairmu yang bergemuru tentang rindu.
Melati Yang Tangkainya Patah Dan Aku Menjadi Serpihan Pasir
pada lara yang bernyanyi ia berlari ke ruang sepi
menyembunyikan segala dendam dalam sadarnya
diselimuti senja jingga
kekupu membawa tubuhku yang berubah menjadi pasir
berterbangan sehabis bermetamoforsis
ia melati tangkainya patah
diinjak garis nasib purba.
belahan pepasir tubuhku
singgah di bunga tak lagi beraroma.
ia menjumpai ku di lintasan waktu
sambil memandang jauh harap yang biru.
isyarat mimpi
sepasang ikan hampir mati di air keruh. kau mengambilnya. kau memasukkan dalam aquarium.
berbinar sisik-sisiknya memancarkan cahaya saling berkejaran dan berlompatan
aku memandang bayangan ikan dalam cermin. tampak aku-kau saling berduaan dalam cincin.
isyaratnya. harap aku temui bunga tidur harum mewangi
Malang, Juli 2010
Coklat Hati
hatimu berrasa coklat
menyimpan tanya
tak pernah aku mengerti
“kau bawa pergi
juga hatiku?”
“harapku kau di sini
memasak kasih
rasa coklat hati”
Malang, Juli 2010
kau menaiki dokar
suara sepatu kuda
menarik jejakku
melangkah pergi
kau menaikinya
dengan hati resah
sedang aku
masih menunggu
dalam sunyi
riang bernyanyi
mengharap kau kembali
dengan dokar yang kau naiki
membawa kata pasti
untuk aku pahami
Malang, Juli 2010
dalam tas warna hati
dalam tas warna hati
tersimpan kasih
aku meletakkan
rasa rindu di dalamnya
biar kau tenteng
dalam hari-harimu
dengan senyum
berseri-seri
Malang, Juli 2010
Menanam Coklat
menanam sebiji coklat di ranum bibirmu.
bila musim rindu aku pandangi.
nampak indah di bibirmu.
aku menunggu musim masak
kan kucetak dengan bentuk mata
agar nampak bila dipandang rasa.
:rinduku menjelma coklat mata beraromah darah.
Malang, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar