Senin, 21 Mei 2012

Ekpedisi Monyet Panderman


Pada awalnya adalah sebuah tawaran dari Galuh biasa dipanggil “Kriwul” mengajak saya pergi ke puncak Panderman. Sebuah gunung dengan ketinggian 2000m di atas permukaan laut yang terletak di daerah Kota Batu. Inisiatif tersebut sebenarnya dari Rio biasa dipanggil “Ndom”. Saya pun bersedia untuk turut serta. Selain itu, saya menghubungi beberapa teman untuk bergabung dengan pendakian kami ke Panderman tapi beberapa teman tak bisa turut serta karena memang bukan hari libur. Saya bertemu dengan Geby dan Febri di acara pentas monolog. Saya tawarkan untuk bergabung dengan kami. Mereka pun mengiyakan, tetapi Geby harus ijin kakaknya dan ternyata dibolehkan.  Kami memiliki kedekatan karena kami berasal dari salah satu organisasi kesenian teater yakni teater HomPimPah.

Selasa, 8 Mei 2012 sore kami saling kontak soal keberangkatan. Semua sudah ok, alat-alat pendakian dipersiapkan oleh Galuh. Kami pun berkumpul di Kontrakan Galuh yang berada di daerah Dinoyo. Di sana sudah ada Yudit, Norman, Ndom dan Galuh setelah itu Geby dan Febri datang. Tapi sayang, Norman tak bisa ikut karena kendaraan menuju Pesanggrahan cukup buat kami berenam (saya, Galuh, Geby, Yudit, Ndom, dan Febri).

Tepat pukul 21.00 kami berangkat menuju Pesanggrahan dan sampai di sana pukul 21.30. Kami sampai di rumah penitipan sepeda dan regrestrasi pendakian. Motor kami parkir dan kami berjalan. Kami berhenti di sumber air untuk mengisi persediaan air guna perbekalan kami di atas. Perjalanan kami lanjutkan saat itu pukul 22.30.


Senter kami nyalakan kembali, berada di depan sebagai penunjuk jalan kami memilih Galuh karena dia sudah beberapa kali naik Gunung dan juga Panderman meski saya juga pernah naik ke Panderman tapi saya agak-agak lupa jalan. Berada pada urutan ke dua ada Geby, lalu saya, Febri, Ndom dan Yudit.  

Jalannya bersemak dan menanjak juga licin karena sehabis hujan. Tapi malam itu kami beruntung karena bulan masih bersinar membantu senter kami menerangi jalan. Bagi saya dan Galuh karena sudah beberapa kali naik Gunung maka sudah sedikit terbiasa. Tetapi bagi Geby,teman kami perempuan sering mengeluh kecapek’an. Maklum baru pertama kali mendaki. Tapi ia tak menyesal merasa lelah karena pemandangan melihat gemerlip lampu kota dari perbukitan sungguh indah juga pesona alamnya.

Masih menjadi teka-teki, apakah langsung mendaki ke puncak Panderman atau berhenti dulu di Latar Omboh. Saya memiliki pertanyaan yang sampai sekarang belum mendapat jawaban, soal nama lokasi-lokasi yang ada di dalam perjalanan pendakian ke puncak Paderman. Ada Latar Omboh, Watu Gajah siapakah yang memberi nama tersebut pada lokasi-lakasi itu.

Kami pun sampai di Latar Omboh. Kami berhenti dan berfoto-foto dengan cahaya bulan yang bersinar di bagian batu-batu yang ada di sana. Saya meminta Ndom memotret saya tak ketinggalan Yudit juga berfoto. Saya pun mengeluarkan kamera digital dan memotret juga. Febri, Geby dan Galuh juga ikut berfoto-foto. Sungguh pemandangan yang indah meski sebenarnya ada yang lebih indah di pendakian gunung-gunung lainnya yang pernah saya daki.

Di tempat itu, kami ngobrol tentang lanjut atau tidaknya pendakian menuju puncak. Akhirnya kami tanya Geby, ternyata dia berkeinginan berhenti dahulu di Latar Ombo dan dilanjutkan naik besok pagi. Serantan, kami membuka tenda dan memasangnya sebagai tempat berteduh. Udara dingin dan rasa lapar menghinggapi kami dan langsung kami keluarkan logistik yang kami bawa juga memakai pakaian penghalau dingin. Tak lupa membuat kopi dan makanan yang kami masak adalah mie instan.

Nikmat sekali meminum kopi di atas gunung dan makan mie. Selepas itu, kami nyanyi-nyanyi hingga rasa lelah datang pada tubuh kami dan akhirnya kami tidur.

Langit menampakkan kemerah-merahan tanda matahari akan muncul. Ada Geby, yang sudah bangun duluan, lalu saya dan Ndom juga Febri. Rasa dingin semalaman masih terasa di tubuh kami dan siap-siap menghanggatkannya dengan sinar matahari. Pagi yang indah menjelang matahari terbit. Langit cerah warna merah di bagian timur dan wajah bulan di bagian barat masih menampakkan dirinya.

Suasana tersebut tidak kami sia-siakan untuk mengabadikan momen dengan jepretan kamera. Pagi yang indah dan bunga yang tumbuh di sekeliling Latar Omboh juga kumbang-kumbang yang bermain-main dengan sayapnya untuk terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Tapi saya masih penasaran jenis bunga-bunga yang dihinggapi kumbang-kumbang tersebut. Saya memetiknya satu, lalu aku taruh di rambut Geby. Aku melihatnya seperti gadis Bali dan Geby pun memegangnya lalu saya jepret menggunakan kamera digital.

Selepas kami menikmati pagi di Latar Ombo yang indah lalu kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Panderman. Sebelum perjalanan kami lanjutkan, kami mengemasi barang-barang. Dengan sisa tenaga kami berjalan dengan medan yang sedikit licin. Sesekali kami berhenti untuk menyusun tenaga. Hal tersebut dikarenakan jalan yang cukup menanjak. Di perhentian-perhentian, kami menikmati udara yang segar dan pemandangan kota. Nampak rumah-rumah yang berjejer dan terlihat kecil-kecil. Tapi sayang, hutan di sekitar Panderman tidak lebat. Saya melihat pohon-pohon menjadi arang sisa kebaran beberapa bulan yang lalu. Untung saja saat perjalanan langit sedang mendung jadi kami tidak merasa panas akibat sinar matahari.

Sampai kami di tempat yang banyak batu-batunya. Tetapi masih di bawah lokasi Watu Gajah. Kami istirahat cukup lumayan sambil berfoto-foto. Lalu kami lanjutkan perjalanan hingga sampai pada puncak Panderman. Ada tugu buatan batalyon tentara, saya lupa dari kesatuan apa. Saya berjalan-jalan mencari tempat untuk melihat pemandangan yang indah. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10.00.

Perut kami terasa lapar, akhirnya kami menyiapkan kompor gas dan membuka perbekalan kami. Selagi kami memasak air, tiba-tiba ada seekor monyet datang dan membawa sekresek makanan kami. Di dalam kresek tersebut bersisi beberapa mie instan, beberapa saset susu dan roti.  Itu semua adalah perbekalan kami yang terakhir. Kami kebingungan dan takut. Mau mengambil langsung dan merebut dari monyet takut dicakar olehnya. Kami hanya bisa melihat monyet tersebut mengabil mie instan dan mebukanya lalu memakannya. Di antara kami yang paling takut adalah Geby. Dia takut sekali dengan monyet karena pernah punya pengalaman buruk dengan monyet.

Saya berfikir, bagaimana mengambil perbekalan kami yang dibawa monyet. Sebab kalau tidak diambil berarti kami tidak makan, padahal itu adalah perbelakan terakhir. Kami ingat, bahwa monyet takut dengan api. Kami pun membuat api. Saya mengeluarkan kertas dari dalam tas dan membakarnya. Setelah terbakar saya mendekatkan api tersebut pada monyet yang sedang asyik makan mie instan. Akhirnya monyet tersebut berlahan mundur dan Galuh mengambil perbekalan kami. Setelah perbekalan kami dapat kami ambil kembali, kami memutuskan untuk masak di bawah saja.

Air yang kami masak tadi mendidik, kami ingin mebuat minuman susu. Saya nyari-nyari susu saset yang ada dalam kresek tapi tidak ketemu. Akhirnya saya menyuruh Galuh untuk mencarinya. Tapi di tengah pencarian saset susu oleh Galuh, mie yang di makan oleh monyet habis. Ia terus memandang ke arah Galuh dan lebih mendekat. Kejadian lagi, monyet tersebut hendak merebut kresek tempat perbekalan makanan kami, untung saja Galuh dengan tangkas lari dari tempatnya sampai terjatuh dan memasukkan beberapa makanan dalam bajunya. Kami memancing monyet tersebut agar tidak mendekat ke Galuh dengan melempar roti ke arah yang lain. Galuh pun dapat menyelamatkan makanan kami. Tak berhenti di situ, tiba-tiba sekawanan monyet datang yang jumlahnya cukup banyak. Mereka berebut roti yang kami lempar. Ada juga monyet dengan tubuh lebih kecil dari pada yang lain dengan warna putih.

Kami tak jenak singgah dan istirahat di atas puncak Panderman karena monyet banyak sekali. Akhirnya kami putuskan untuk turun. Sebelum turun kami mengabadikan diri di tugu yang ada di puncak Panderman.

Saya masih berfikir, kenapa monyet-monyet itu seperti ganas dan suka merebut makanan pendaki. Saya berbincang dengan Galuh saat perjalanan turun. Galuh juga pernah mangalami hal yang serupa ketika mendaki dengan teman-temannya. Bahkan beras pun diambil oleh monyet-monyet Panderman.

Saya pun mengira keganasan monyet-monyet Panderman tentu ada sebabnya. Menurut saya karena ekosistem yang tidak stabil. Monyet kalau di dalam hutan pada dasarnya kan memakan bijian tumbuh-tumbuhan dan mebutuhkan tumbuhan yang rindang. Kemungkinan karena kerap kali ada kebaran dan ekosistem yang tidak seimbang dan rantai makanan yang patah hingga monyet Panderman menjadi seperti yang kami lihat. Tak hanya itu, Galuh bercerita seringnya ada penembak liar yang menembaki monyet-monyet untuk kepentingan komersial atau pribadi. Hal tersebut nampak ketika mata sinis monyet-monyet Panderman saat melihat manusia.  Kejadian itulah akhirnya kami memberi nama perjalanan pendakian dengan “Ekpedisi Monyet Panderman”.

Perut kami lapar hingga sesampai di watu Gajah kami istirahat dan memasak sisa perbekalan yang selamat dari rampasan monyet Panderman. Kami cukup lama istirahat di Watu Gajah, sampai-sampai Geby tertidur dan terbangun ketika makanan sudah matang dan siap disantap. Setelah makan, kami berfoto dulu dan akhirnya melanjutkan perjalanan pulang.

Sampai juga kami di pos 2, tempat sumber mengalir. Kami membersihkan diri lalu menuju tempat penitipan sepeda. Kami istirahat sebentar lalu kami pulang dan sebelum pulang ketempat kediaman masing-masing kami ngopi dulu di warung Mak. Sehabis ngopi kami pun pulang dengan menyimpan kenangan-kenangan yang masing-masing tentang sesuatau yang kami alami: tentang perjalanan malam, tentang suasana malam yang dingin, tentang kehangatan ketika dingin menyerbu tubuh, tentang kisah-kisah yang tak selesai untuk dikenang.

Malang, 14 Mei 2012

Tidak ada komentar: