Pada awalnya adalah sebuah tawaran dari Galuh biasa dipanggil “Kriwul” mengajak saya pergi ke puncak Panderman. Sebuah gunung dengan ketinggian 2000m di atas permukaan laut yang terletak di daerah Kota Batu. Inisiatif tersebut sebenarnya dari Rio biasa dipanggil “Ndom”. Saya pun bersedia untuk turut serta. Selain itu, saya menghubungi beberapa teman untuk bergabung dengan pendakian kami ke Panderman tapi beberapa teman tak bisa turut serta karena memang bukan hari libur. Saya bertemu dengan Geby dan Febri di acara pentas monolog. Saya tawarkan untuk bergabung dengan kami. Mereka pun mengiyakan, tetapi Geby harus ijin kakaknya dan ternyata dibolehkan. Kami memiliki kedekatan karena kami berasal dari salah satu organisasi kesenian teater yakni teater HomPimPah.
Selasa, 8 Mei 2012
sore kami saling kontak soal keberangkatan. Semua sudah ok, alat-alat pendakian
dipersiapkan oleh Galuh. Kami pun berkumpul di Kontrakan Galuh yang berada di
daerah Dinoyo. Di sana sudah ada Yudit, Norman, Ndom dan Galuh setelah itu Geby
dan Febri datang. Tapi sayang, Norman tak bisa ikut karena kendaraan menuju
Pesanggrahan cukup buat kami berenam (saya, Galuh, Geby, Yudit, Ndom, dan
Febri).
Tepat pukul 21.00 kami
berangkat menuju Pesanggrahan dan sampai di sana pukul 21.30. Kami sampai di
rumah penitipan sepeda dan regrestrasi pendakian. Motor kami parkir dan kami
berjalan. Kami berhenti di sumber air untuk mengisi persediaan air guna
perbekalan kami di atas. Perjalanan kami lanjutkan saat itu pukul 22.30.
Senter kami nyalakan kembali, berada di depan sebagai penunjuk jalan kami memilih Galuh karena dia sudah beberapa kali naik Gunung dan juga Panderman meski saya juga pernah naik ke Panderman tapi saya agak-agak lupa jalan. Berada pada urutan ke dua ada Geby, lalu saya, Febri, Ndom dan Yudit.
Jalannya bersemak dan
menanjak juga licin karena sehabis hujan. Tapi malam itu kami beruntung karena
bulan masih bersinar membantu senter kami menerangi jalan. Bagi saya dan Galuh
karena sudah beberapa kali naik Gunung maka sudah sedikit terbiasa. Tetapi bagi
Geby,teman kami perempuan sering mengeluh kecapek’an. Maklum baru pertama kali
mendaki. Tapi ia tak menyesal merasa lelah karena pemandangan melihat gemerlip
lampu kota dari perbukitan sungguh indah juga pesona alamnya.
Masih menjadi teka-teki,
apakah langsung mendaki ke puncak Panderman atau berhenti dulu di Latar Omboh.
Saya memiliki pertanyaan yang sampai sekarang belum mendapat jawaban, soal nama
lokasi-lokasi yang ada di dalam perjalanan pendakian ke puncak Paderman. Ada
Latar Omboh, Watu Gajah siapakah yang memberi nama tersebut pada lokasi-lakasi
itu.
Kami pun sampai di
Latar Omboh. Kami berhenti dan berfoto-foto dengan cahaya bulan yang bersinar
di bagian batu-batu yang ada di sana. Saya meminta Ndom memotret saya tak
ketinggalan Yudit juga berfoto. Saya pun mengeluarkan kamera digital dan
memotret juga. Febri, Geby dan Galuh juga ikut berfoto-foto. Sungguh
pemandangan yang indah meski sebenarnya ada yang lebih indah di pendakian
gunung-gunung lainnya yang pernah saya daki.
Di tempat itu, kami
ngobrol tentang lanjut atau tidaknya pendakian menuju puncak. Akhirnya kami
tanya Geby, ternyata dia berkeinginan berhenti dahulu di Latar Ombo dan
dilanjutkan naik besok pagi. Serantan, kami membuka tenda dan memasangnya
sebagai tempat berteduh. Udara dingin dan rasa lapar menghinggapi kami dan
langsung kami keluarkan logistik yang kami bawa juga memakai pakaian penghalau
dingin. Tak lupa membuat kopi dan makanan yang kami masak adalah mie instan.
Nikmat sekali meminum
kopi di atas gunung dan makan mie. Selepas itu, kami nyanyi-nyanyi hingga rasa
lelah datang pada tubuh kami dan akhirnya kami tidur.
Langit menampakkan
kemerah-merahan tanda matahari akan muncul. Ada Geby, yang sudah bangun duluan,
lalu saya dan Ndom juga Febri. Rasa dingin semalaman masih terasa di tubuh kami
dan siap-siap menghanggatkannya dengan sinar matahari. Pagi yang indah
menjelang matahari terbit. Langit cerah warna merah di bagian timur dan wajah
bulan di bagian barat masih menampakkan dirinya.
Suasana tersebut tidak
kami sia-siakan untuk mengabadikan momen dengan jepretan kamera. Pagi yang
indah dan bunga yang tumbuh di sekeliling Latar Omboh juga kumbang-kumbang yang
bermain-main dengan sayapnya untuk terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Tapi
saya masih penasaran jenis bunga-bunga yang dihinggapi kumbang-kumbang tersebut.
Saya memetiknya satu, lalu aku taruh di rambut Geby. Aku melihatnya seperti
gadis Bali dan Geby pun memegangnya lalu saya jepret menggunakan kamera
digital.
Selepas kami menikmati
pagi di Latar Ombo yang indah lalu kami melanjutkan perjalanan menuju puncak
Panderman. Sebelum perjalanan kami lanjutkan, kami mengemasi barang-barang.
Dengan sisa tenaga kami berjalan dengan medan yang sedikit licin. Sesekali kami
berhenti untuk menyusun tenaga. Hal tersebut dikarenakan jalan yang cukup
menanjak. Di perhentian-perhentian, kami menikmati udara yang segar dan
pemandangan kota. Nampak rumah-rumah yang berjejer dan terlihat kecil-kecil.
Tapi sayang, hutan di sekitar Panderman tidak lebat. Saya melihat pohon-pohon
menjadi arang sisa kebaran beberapa bulan yang lalu. Untung saja saat
perjalanan langit sedang mendung jadi kami tidak merasa panas akibat sinar
matahari.
Sampai kami di tempat
yang banyak batu-batunya. Tetapi masih di bawah lokasi Watu Gajah. Kami
istirahat cukup lumayan sambil berfoto-foto. Lalu kami lanjutkan perjalanan
hingga sampai pada puncak Panderman. Ada tugu buatan batalyon tentara, saya
lupa dari kesatuan apa. Saya berjalan-jalan mencari tempat untuk melihat
pemandangan yang indah. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10.00.
Perut kami terasa
lapar, akhirnya kami menyiapkan kompor gas dan membuka perbekalan kami. Selagi
kami memasak air, tiba-tiba ada seekor monyet datang dan membawa sekresek makanan
kami. Di dalam kresek tersebut bersisi beberapa mie instan, beberapa saset susu
dan roti. Itu semua adalah perbekalan
kami yang terakhir. Kami kebingungan dan takut. Mau mengambil langsung dan
merebut dari monyet takut dicakar olehnya. Kami hanya bisa melihat monyet
tersebut mengabil mie instan dan mebukanya lalu memakannya. Di antara kami yang
paling takut adalah Geby. Dia takut sekali dengan monyet karena pernah punya
pengalaman buruk dengan monyet.
Saya berfikir,
bagaimana mengambil perbekalan kami yang dibawa monyet. Sebab kalau tidak
diambil berarti kami tidak makan, padahal itu adalah perbelakan terakhir. Kami
ingat, bahwa monyet takut dengan api. Kami pun membuat api. Saya mengeluarkan
kertas dari dalam tas dan membakarnya. Setelah terbakar saya mendekatkan api
tersebut pada monyet yang sedang asyik makan mie instan. Akhirnya monyet
tersebut berlahan mundur dan Galuh mengambil perbekalan kami. Setelah
perbekalan kami dapat kami ambil kembali, kami memutuskan untuk masak di bawah
saja.
Air yang kami masak
tadi mendidik, kami ingin mebuat minuman susu. Saya nyari-nyari susu saset yang
ada dalam kresek tapi tidak ketemu. Akhirnya saya menyuruh Galuh untuk
mencarinya. Tapi di tengah pencarian saset susu oleh Galuh, mie yang di makan
oleh monyet habis. Ia terus memandang ke arah Galuh dan lebih mendekat. Kejadian
lagi, monyet tersebut hendak merebut kresek tempat perbekalan makanan kami,
untung saja Galuh dengan tangkas lari dari tempatnya sampai terjatuh dan
memasukkan beberapa makanan dalam bajunya. Kami memancing monyet tersebut agar
tidak mendekat ke Galuh dengan melempar roti ke arah yang lain. Galuh pun dapat
menyelamatkan makanan kami. Tak berhenti di situ, tiba-tiba sekawanan monyet
datang yang jumlahnya cukup banyak. Mereka berebut roti yang kami lempar. Ada
juga monyet dengan tubuh lebih kecil dari pada yang lain dengan warna putih.
Kami tak jenak singgah
dan istirahat di atas puncak Panderman karena monyet banyak sekali. Akhirnya
kami putuskan untuk turun. Sebelum turun kami mengabadikan diri di tugu yang
ada di puncak Panderman.
Saya masih berfikir,
kenapa monyet-monyet itu seperti ganas dan suka merebut makanan pendaki. Saya
berbincang dengan Galuh saat perjalanan turun. Galuh juga pernah mangalami hal
yang serupa ketika mendaki dengan teman-temannya. Bahkan beras pun diambil oleh
monyet-monyet Panderman.
Saya pun mengira
keganasan monyet-monyet Panderman tentu ada sebabnya. Menurut saya karena
ekosistem yang tidak stabil. Monyet kalau di dalam hutan pada dasarnya kan
memakan bijian tumbuh-tumbuhan dan mebutuhkan tumbuhan yang rindang.
Kemungkinan karena kerap kali ada kebaran dan ekosistem yang tidak seimbang dan
rantai makanan yang patah hingga monyet Panderman menjadi seperti yang kami
lihat. Tak hanya itu, Galuh bercerita seringnya ada penembak liar yang
menembaki monyet-monyet untuk kepentingan komersial atau pribadi. Hal tersebut
nampak ketika mata sinis monyet-monyet Panderman saat melihat manusia. Kejadian itulah akhirnya kami memberi nama
perjalanan pendakian dengan “Ekpedisi Monyet Panderman”.
Perut kami lapar
hingga sesampai di watu Gajah kami istirahat dan memasak sisa perbekalan yang
selamat dari rampasan monyet Panderman. Kami cukup lama istirahat di Watu
Gajah, sampai-sampai Geby tertidur dan terbangun ketika makanan sudah matang
dan siap disantap. Setelah makan, kami berfoto dulu dan akhirnya melanjutkan
perjalanan pulang.
Sampai juga kami di
pos 2, tempat sumber mengalir. Kami membersihkan diri lalu menuju tempat
penitipan sepeda. Kami istirahat sebentar lalu kami pulang dan sebelum pulang
ketempat kediaman masing-masing kami ngopi dulu di warung Mak. Sehabis ngopi
kami pun pulang dengan menyimpan kenangan-kenangan yang masing-masing tentang
sesuatau yang kami alami: tentang perjalanan malam, tentang suasana malam yang
dingin, tentang kehangatan ketika dingin menyerbu tubuh, tentang kisah-kisah
yang tak selesai untuk dikenang.
Malang, 14 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar