Jumat, 13 April 2012

Belajar Dari Cerita Pinokio: Sebuah Refleksi Nilai Kejujuran dalam Praktek Pendidikan

Oleh: Denny Misharudin

Sudah bukan menjadi rahasia, dunia pendidikan kita kerap sekali menanggalkan kejujuran dalam prosesnya. Hal tersebut tentunya mencoreng dunia pendidikan yang sejatinya menjadikan manusia lebih berkualitas dan bermoral atau dalam bahasa lainya dapat memanusiakan manusia. Apalagi bangsa kita ini bangsa yang menjujung tinggi nilai agama dan kebanyakan adalah penganut agama Islam tentu saja akan dipertanyakan kadar keislamannya bila ketidakjujuran merebak dimana-mana bila kenyataan terjadi pada institusi yang dikelola umat Islam. Sebagai umat Islam tentunya tentunya menanggung malu parktek perbuatan tersebut.
  
Pada dasarnya dunia pendidikan adalah kawah candra di muka dalam pengodokan manusia agar lebih menjadi beradab. Dunia pendidikan adalah tempat traformasi nilai, tempat menanamkan budaya, tempat belajar dan mengajar. Seharusnya dunia pendidikan mampu melahirkan orang-orang yang berkualitas dan berguna bagi bangsa juga menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas yang lahir dari nilai-nilai agama ataupun nilai-nilai sosial demi terciptanya peradapan yang mulia.

Tetapi pada kenyataanya dunia pendidikan belum mampu mengantarkannya. Dapat dilihat hasil lulusan dunia pendidikan lewat prilaku para pejabat di bangsa kita. Para pejabat bangsa kita semuanya pernah mengenyam dunia pendidikan tetapi prilaku korup serupa jamur dimusim hujan tumbuh subur di mana-mana. Prilaku tersebut mengebiri nilai kejujuran yang harus di junjung tinggi sebagai nilai karakter bangsa. Tak hanya pejabat negara, para guru atau mereka yang terjun dalam urusan pendidikan sejatinya menjadi tauladan juga mengajarkan ketidakjujuran, bahkan mempraktekkan nilai-nilai ketidakjujuran demi kepentingan pribadi. Misalnya korupsi dana pendidikan, pemalsuan sertifikat demi gaji yang tinggi, menilai hasil pembelajaran pada hasil akhir bukan pada prosesnya padahal hasil yang didapatkan tidak dengan cara yang halal.

Kalau kondisi terus dibiarkan tetap seperti ini maka karakter kujujuran yang akhir-akhir menjadi wacana serius dan harus dilaksanakan akan menjadi omong kosong belaka. Padahal karakter kejujuran adalah salah satu nilai yang harus dimiliki setiap manusia demi menjaga martabat diri sendiri ataupun bangsa demi menjaga nilai kemanusiaanya. Apalagi umat Islam harus mentauladani sifat-sifat Nabi Muhammad SAW salah satunya adala kejujuran.  Meminjam pendapat Prof. Dr. Notonegoro dalam pembagian nilai dimana nilai kejujuran adalah termasuk dalam nilai kerohanian, yang meliputi nilai kebenaran (rasio), nilai keindahan (estetika), nilai moral (etika) dan Nilai KeTuhanan (religius). Nilai kejujuran merupakan ajaran daripada nilai keTuhanan dimana orang tidak jujur disebut dalam islam sebagai munafik.

Belajar Dari Dongeng Pinokio

Pinokio sebuah dongeng yang pernah difilmkan memiliki pesan yang sangat penting direnungkan dalam mencermati dunia pendidikan kita berkaitan dengan kejujuran. Dongeng yang mengisahkan patung kayu yang benama Pinokio pada akhirnya menjadi manusia sungguhan. Perjalanan untuk jadi manusia tidaklah mudah, Pinokio harus selalu jujur jika tidak selain hidungnya akan memanjang juga keinginan menjadi manusia tidak akan berhasil. Dongeng yang ditulis oleh Carlo Collodi pada tahun 1883, sang boneka kayu dijanjikan oleh peri bahwa dirinya bisa menjadi manusia jika mendengar suara hatinya. Suara hati itulah yang dinamakan kejujuran.

Saya membayangkan seandainya kita semua adalah Pinokio, kita berkeinginan manjadi manusia tentu saja kita akan terus mendengar suara hati kita. Suara hati adalah suara kebajikan sebab di situ terletak bisikan –bisikan Tuhan. Selain itu ketika kita berbohong maka hidung kita akan memanjang. Maka dari kasus ketidakjujuran  yang kerap terjadi tentu banyak yang memiliki hidung panjang. Mengenai hidung panjang adalah sebuah pemisalan hukuman atas ketidakjujuran. Dengan begitu hukuman akan ketidakjujuran harus benar-benar dilakukan. Apabila seorang guru melihat murid tidak jujur maka teguran yang keras harus diberikan. Dan mencari cara agar murid tersebut jujur. Karena ada beberapa hal menurut saya ketidakjujuran kerap terjadi yakni pemaklukman, lemahnya tindakan hukum serta tauladan yang kurang.  

Guru sebagai tauladan harus meniru Gapento rela berkorban meski nyawanya harus dipertaruhkan. Rela melakukan apa saja agar anak didiknya menjadi baik. Misalnya mengajar anak didiknya sampai bisa, bukan malahan yang tidak bisa dan lambat dalam belajar ditinggalkan. Sehingga anak didik merasa tertinggal dan mengejar ketertinggalan dengan cara-cara tidak benar ketika ujian dilaksanakan misalnya dengan mencontek.


Relasi antara Gepetto, si tukang kayu yang menjadikan Pinokio hidup dan menjadi manusia perlu dijadikan pelajaran. Gapetto memiliki harapan bahwa Pinokio menjadi manusia seutuhnya. Hal tersebut dibuktikan dengan kerelaan mempertaruhkan nyawa demi mencari Pinokio dan mereka bertemu di dalam perut seokor ikan paus. Cinta dan pengorbanan Gapento akhirnya menjadi titik balik Pinokio menjadi manusia seutuhnya.

Seandainya guru-guru kita berprilaku serupa Gapento rela berkorban demi kebajikan dan tak memandang resiko apapun yang diterima maka dunia pendidikan kita akan dapat menghasilkan manusia yang terdidik dan menjadi manusia yang tinggi derajatnya. Selalu memberi tauladan tentang kejujuran pada anak didiknya, menanamkan rasa cinta kasih pada anak didiknya. Otomatis peran guru akan benar-benar terasa dampaknya pada anak didiknya.

Dengan begitu, praktek-praktek akademik dalam dunia pendidikan selalu akan mendahulukan kejujuran dari pada hasil baik tetapi didapat dengan cara tidak benar. Proses menjadikan peserta didik jujur adalah hal yang utama. Karena ketika kejujuran sudah menjadi karakter secara otomatis rasa percaya diri, semangat menjadi mandiri tanpa ketergantungan juga akan tertanam dengan baik. Dunia pendidikan akhirnya dapat melahirkan manusia-manusia yang unggul dalam intelektualitas dan anggun dalam moralitas. Maka gambaran saya seandainya kita semua pinokio saya tak mendapati hidung-hidung yang selalu memanjang. Selain itu juga kita telah menerapkan nilai agama yakni kejujuran dan kita tidak menjadi orang munafik suatu perbuatan yang dilarang dalam agama Islam.

*Guru SMK Muhammadiyah 2 Kota Malang

25 komentar:

Arie tria angga sari mengatakan...

Sebuah tulisan yang komleks akan nilai ketuhanan, kemanusiaan, juga sosial dan budaya. Saya baca mas Deni disini dengan latar belakang dongeng Pinokio yang kuat dan kemudian dengan pengetahuan dan gagasan atau harapan harapanya tentang pendidikan, mampu mengkorelasikan unsur unsur tersebut dengan baik. Yang paling kuat disini adalah kalimat kalimat yang menggugah nilai nilai kejujuran dengan jalan mengaitkannya dengan agama, karena memang disitu letak kebenaran mutlaknya. Dengan paragraf paragraf mas Deni yang menyoroti atau berisi kritik, juga didukung oleh saran saran dari mas Deni sendiri yang sebagai pelaku ke 3 disini. Sebuah tulisan yang kenapa tak ada unsur cinta, perempuan, dan coklat kali ini :)

Denny Mizhar mengatakan...

Arie, terima kasih. untuk unsur cinta, perempuan, dan coklat di lain catatan hehehe...

Sri Wahyudi 1979 mengatakan...

Ayo bapak dan ibu guru bacalah tulisan ini, sehat dan bermanfaat. Yang bukan Guru atau mantan guru seperti saya juga cocok membaca ini. Jadi tak ingin jadi mantan lagi :)

Arie tria angga sari mengatakan...

Siap mas saya tunggu tulisan tulisan hebat lainnya..menulis itu asyik :)

Denny Misharudin mengatakan...

Sri Wahyudi, menjadi guru itu mengasyikkan. Terus berfikir bagaimana mengajarkan kesadaran-kesadaran akan hidup, bagaimana menjadi manusia. Seringkali guru hanya terperangkap pada transfer ilmu atau Frire menyebut pendidikan gaya bank. memberikan ilmunya dan ditagih pada alhirnya. sehingga murid seperti robot yang menjadi obyek permainan guru sebagai subyek.

Saya membayangkan kalau Mas Sri Wahyudi mengajar dengan gaya komedialnya tentu akan menarik dan membuat murid betah di kelas.

afandi kemukus43 mengatakan...

kejujuran agaknya telah tergerus dengan kepentingan2 akan hidup yang serba instan nan praktis.

Anonim mengatakan...

Kejujuran adalah persoalan kebudayaan. Kini, hal ini sangat dipertaruhkan oleh seluruh generasi muda bangsa. Tatkala kita tahu bahwa fundamen peradaban adalah kebudayaan, maka runtuhnya kebudayaan atau secara khusus tumbangnya budaya jujur, maka segala tiang penyangga dan atap rumah peradaban akan sangat mudah runtuh diterpa angin. Sementara di hadapan kita, badai globalisasi, kapitalisme baru, kebudayaan industrial dan populer tengah siap menggoncang iman kebudayaan keindonesiaan yang terkenal luhur. Apakah generasi muda siap bertarung untuk menegakkan fundamen kemanusiaan universal ini yang disebut kejujuran ini? Hati nurani anda yang bisa menjawabnya. Denny Mizharudin dengan sangat baik mengartikulasikan pentingnya budaya jujur dalam konteks praksis kependidikan Indonesia. Selamat memperjuangkan kebudayaan bangsa! Salam hangat, Hasnan Bachtiar.

airsenjamenulis mengatakan...

Nice Post, mas
bagi saya, tulisan mas yang menganalogikan dengan pinokia adalah hal menarik. terutama bagian Gapento si tukang kayu.Pengorbanan guru yang tulus sepertinya sulit dicari di jaman sekarang.
semangat menulis !!!!!!!!

airsenjamenulis mengatakan...

lupa kasih nama : salam. Ria As

Denny Misharudin mengatakan...

Afif: oleh sebab itu, belajar atau proses belajar itu harus memberi makna pada murid dan guru. maka terjadinya saling belajar dan hasil bukan satu-satunya penilaian. ada proses. selain itu harus menjadikan pendidikan memiliki tujuan agar kita menjadi manusia.

Denny Misharudin mengatakan...

Hasnan: kejujuran adalah salah satu modal utama dalam peradaban yang baik. pendidikan atau sekolah adalah salah satu wadah untuk mengajarkan itu. Pendidikan juga harusnya mengajarkan bagaimana menghadapi globalisasi dan kebudayaan yang kontemporer ini. terima kasih.

Denny Misharudin mengatakan...

Ria: harusny begitu, seperti Gapenta. saya teringat cerita-cerita guru dahulu di desa yang hanya dibayar dengan hasil-hasil panen. tapi mereka tulus mengajar murid-muridnya. ketulusan dan perjuangan itulah yang menghasilkan manusia indonesia yang bijak dan unggul serta bermoral.

wilda mengatakan...

kl mnurut sy mgkn spertinya pendidikan skrng sperti memksakan khendak dan mmberatkan k anak2 dalam hal ini adalah materi pelajaran yg d ajarkan perhari, kt bs contoh tetangga kita malaysia /mgkn ngara yg lain yg pndidikannya sdh maju, stau sy matpel yg d ajarkan hanya 3 mtpel /hari kl d negara kita lbih dari 3 matpel /hari krn mgkn kita hanya mengejar jumlah jam utk sertifikasi shingga bs jd itu mmberatkan k anak2 atau mgkn hanya sebuah alasan ksong dari pmerintah yg ingin memajukan pendidkan d indonesia.

utk referensi aja, cba kl kita sbg guru kita memberi pengumuman kl pelajaran plang pgi mka anak2 lngsung tnpa komando lngsung bersorak girang, ini bs jd bukti dan acuan kita kl pelajaran / cara kita memberi pelajaran k anak2 kurang d sukai dan sperti momok / hantu utk anak2.

kl dulu guru punya sebutan pahlawan tanpa tanda jasa tpi skrng guru adalah pahlawan yg minta tanda jasa?

tulisan sy d atas berdasar pngalaman pribadi sbg guru dan sbg seorang murid yg pernah merasakan 2 versi pembelajaran.

CePi saBRe mengatakan...

saya ingat ketika kecil sekira SD, guru saya tidak pernah mengajarkan apapun soal kejujuran. hanya satu yang saya ingat, seorang teman menggambar dan dinilai bagus. teman lain menirunya. sama persis. yang tidak sama: nilai teman kedua begitu rendah.

guru menulis tentang dunianya. apalagi yang bisa kita katakan?

tapi menarik bahwa geppetto menjadi acuannya. pesan moral dari dongeng pinokio yang terlalu mancung itu saya rasa sederhana: manusia tidak ada bedanya dengan batang pohon ketika dia menolak kemanusiaannya. san salah satu nilai utama dari kemanusiaan itu saya rasa adalah kejujuran.

CePi saBRe mengatakan...

tiba-tiba saya teringat sesuatu. saya pernah mendengar [atau membaca] --entah di mana, saya lupa-- bahwa manusia pada akhirnya hanyalah selembar surat dan angka-angka. saya kira di sinilah pokok permasalahannya yang kemudian memicu manusia untuk menempuh jalan pinokio: berbohong.

murid harus lulus. angka. ijasah. selembar surat itu begitu saktinya untuk menentukan masa depan seseorang. saya tidak tahu apakah kompetensi guru juga ditentukan oleh jumlah anak-anak yang berhasil diluluskannya. kalau ya, itu berarti angka lagi.

saya kira, sistemlah yang mendorong orang untuk tidak jujur. mungkin akan menarik kalau orang bisa dinilai tidak lagi berdasarkan gelar-gelar di belakang namanya yang membutuhkan berlembar-lembar ijasah. mungkin akan menarik kalau orang, murid atau guru, bisa dinilai berdasarkan keahliannya. agak sulit memang, tapi saya rasa, orang-orang pintar di kementerian pendidikan bisa melakukannya.

kedua, terus terang saya agak 'gerah' kalau kemudian hal-hal manusiawi seperti ini ditarik ke ranah agama. bukan saya anti agama. tapi sebagaimana departemen pendidikan butuh untuk memperbaiki dirinya, agama-agama di indonesia juga butuh strategi baru untuk mengajarkan moral kepada umatnya.

kita bisa perhatikan bagaimana janji gula-gula surga dan ancaman siksa neraka tidak lagi ampuh untuk mengendalikan nafsu manusia. terlebih kalau kita lihat bagaimana orang kemudian dijejali dengan takhayul tentang perut yang berisi belatung atau yang lainnya. karena kalau orang bisa berkata bahwa hidung yang memanjang itu takhayul, maka begitu pula dengan prut yang berisi belatung.

agama tidak bisa tidak adalah garda terdepan untuk membentuk moral seseorang. tapi seperti sudah disebut di tulisan ini bahwa "suara hati adalah suara kebajikan", maka yang dibutuhkan dari agama memperbesar amplitudo getaran dari suara hati itu. bukan menakut-nakuti umat.

begitu menurut saya.

Denny Misharudin mengatakan...

menarik
bicara kejujuran dengan media folklor
dan sedikit nilai2 religiusitas (Yusri Fajar, lewat inbok fb)

Anonim mengatakan...

Pembahasan yang menarik dan mengingatkanku kembali pada sebuah pertanyaan yang belum kuyakini jawabannya "Apa tujuan sebenarnya dari sistem pendidikan kita?", karena menurut saya pendidikan bagaikan komoditas konsumsi sekali pakai yang masa pemakaiannya berakhir sampai saat ujian akhir tiba dan setelah itu akan lenyap dengan sendirinya. Berangkat dari pengalaman yang pernah terjadi bahwa tenaga pendidik seakan hanya menyampaikan materi tanpa peduli anak didiknya mengerti atau tidak yang terpenting adalah materinya sudah tersampaikan semua dan mengadakan ujian untuk mendapatkan nilai anak didiknya sebagai laporan kepada atasan bahwa dia sudah menjalankan tugasnya. Jika hal ini terus terjadi lantas bagaimana masa depan pendidikan kita jika anak didik yang sejatinya menempuh pendidikan agar mengerti sesuatu yang sebelumnya tidak dia ketahui menjadi tahu sedangkan realitanya mereka mereka hanya mendapat penyampaian teori yang tidak sepenuhnya dia mengerti tetapi pendidik tidak mau tahu yang penting dia sudah memiliki nilai sebagai laporan pertanggungjawabannya.

Anonim mengatakan...

Mas Denny, ini adalah yang muncul setelah saya baca "cerita pinokio"

Pertama: seandainya semua guru yang ada di tanah Indonesia ini seperti Pak Guru Denny.

Kedua: seandainya kita semua adalah Pinokio.

Ketiga: (..........menilai hasil pembelajaran pada hasil akhir bukan pada prosesnya padahal hasil yang didapatkan tidak dengan cara yang halal). Seorang guru (alm) Matematika saya waktu SMA selalu menekankan proses daripada hasil. Kata-kata beliau yang selalu menancap di hati adalah "persetan dengan hasil, yang penting proses". Saya memang selalu mendapatkan nilai 5 (dan pernah 3) untuk Matematika, tapi saya tetap naik kelas karena pak guru (alm) itu menilai proses saya, bukan nilai akhirnya. Dan sepertinya, guru yang menanamkan ajaran seperti itu sekarang hanyalah 10:1 (mungkin). Guru jaman sekarang hanya mau melihat siswanya memiliki nilai 100 pada saat ujian. Saya pernah berkunjung ke sebuah sekolah setaraf SMA/SMK/MA di salah satu sudut kota Malang. Guru hanya mengajar dengan metode ceramah dan memberikan tugas merangkum pada siswanya. Ini adalah (menurut saya) metode tahun 1970an, dan kita sedang berada pada tahun 2012. Banyak sekali mahasiswa yang melakukan terobosan dan penelitian di sekolah-sekolah untuk menerapkan media, model, dan metode pembelajaran yang terbaru, tercanggih. Tapi, itu tidak benar-benar diterapkan karena si mahasiswa hanya melakukan itu untuk sripsi mereka sebagai syarat menjadi seorang sarjana. Kemudian, seorang guru Fisika saya semasa SMP pernah mengajarkan sebuah cara belajar yang efektif dengan trik menyontek: beberapa hari sebelum ujian, siswa harus rajin belajar di rumah dengan cara membuat catatan-catatn kecil seperti bahan contekan, membuatnya berkali-kali, menulisnya berkali-kali di kertas yang berbeda, sampai saat ujian tiba. Karena terlalu seringnya siswa menulis contekan itu, ketika ujian siswa tidak akan membuat contekan lagi karena siswa sudah hafal di luar kepala dan tidak akan menyontek. Tapi menurut saya ini juga kurang efektif karena siswa hanya menghafal, tidak memahami materi. Dan sekarang tugas seorang gurulah untuk membuat terobosan-terobosan dalam proses belajar mengajar dengan media dan metode yang menarik, sehingga akan merangsang siswa untuk tidak menghafal pelajaran, melainkan memahami. Ketika siswa sudah memahami, siswa tidak galau ketika ujian yang menyebabkan kasus ketidakjujuran. Dari sebuah website humor, saya belajar tentang tipe-tipe penyontek. Salah satunya adalah tipe penyontek terpaksa karena mereka benar-benar tidak memahami pelajaran dan merasa nasibnya terancam jika tidak menyontek. Siswa memang tidak patut disalahkan dalam hal contek-menyontek. Bagaimanapun juga, menyontek adalah usaha mereka untuk mendapatkan nilai bagus. Menyontek adalah usaha pamungkas mereka ketika mereka tidak bisa menggantungkan nasibnya kepada guru. Menggantungkan nasib kepada guru adalah bagaimana guru secara kreatif bisa menyampaikan ilmunya kepada siswa yang bermacam-macam tingkat kecerdasannya (bukan hanya memberikan LKS, karena menurut saya LKS itu juga tidak begitu penting).

widiantiwidianti

Anonim mengatakan...

lanjutan..

Keempat: karakter kejujuran pada siswa terbentuk tidak hanya dari siswa itu sendiri. Bisa saja dari lingkungan dia tinggal, dari keadaan keluarga, dari teman-teman bermainnya, bahkan dari gurunya. Memang tidak ada alat untuk mengetahui, siswa itu jujur atau tidak, seperti hidungnya pinokio. Yang bisa menyadarkan siswa untuk jujur dalam mengerjakan ujian adalah siswa itu sendiri. Tidak perlu ada pengawas ujian jika siswa menyadari bagaimana sebuah kejujuran. Tapi mustahil sekali rasanya. Kita sudah dipimpin oleh orang-orang tidak jujur, tunduk kepada orang-orang tidak jujur, dan arah mana yang akan diambil oleh bangsa ini selanjutnya?

Kelima: sistem pendidikan di Indonesia memang sedang sakit (atau memang dari awal sudah sakit?). Buat apa ada kurikulum, ada silabus, ada program semester, ada program tahunan, ada RPP? Semua itu hanya menghabiskan kertas dan merusak bumi. Silabus, RPP, dll hanya dibuat oleh guru untuk memenuhi tugas mereka terhadap sekolah, karena pada akhirnya tidak ada penerapan yang konkrit di kelas. (ini pengalaman saya waktu SMA dengan salah seorang guru mata pelajaran yang hanya mendongeng masa mudanya di kelas tanpa mengacu pada RPP dan silabus). Indonesia tidak butuh sistem pendidikan seperti itu. Sudah waktunya kita (para pengajar) melakukan sesuatu yang nyata. Masa depan anak-anak yang sedang ujian hari ini sebagian bedar ada di tangan kita.

Keenam: saya tunggu tulisan mas Denny selanjutnya tentang pendidikan.

widiantiwidianti (http://www.facebook.com/widiantiwidianti)

Anonim mengatakan...

Kejujuran menjadi barang langka sekarang. Mungkin di Lembaga Lembaga Pendidikan perlu digiatkan lagi penguatan pengembangan hidden curriculum yang menyangkut life skills salah satunya kejujuran dan teman temannya misalnya disiplin.

ketika ketidak jujuran dimulai, maka pelakunya harus siap dengan ketidak jujuran selanjutnya yang lebih panjang dan lebar untuk menutupi ketidak jujuran yang pertama. Kata sebuah pepatah lama yang anonim: berkatalah jujur maka kamu tak perlu mengingat apa apa.

Siwi Dwi Saputra (http://www.facebook.com/siwi.sds)

Anonim mengatakan...

Tatkala Thomas Kuhn menemukan paradigma Barat, Kuntowijoyo sangat kecewa dengan fondasi etik yang membangun teori tersebut. Etika masyarakat industrial kapitalis terlampau menanggalkan dimensi humanistik. Jika fondasi paradigma adalah etika yang berlaku di masyarakat sehari-hari, apa jadinya jika fondasi penyangga kita bukanlah kejujuran? Bisa dibayangkan betapa rusak seluruh tatanan pikir manusia Indonesia. Jangan sampai terjadi. Seperti Denny Mizharudin, kita hanya perlu jujur. Just do it. By Ramli Putra Fadjar.

Anonim mengatakan...

terus pripun mas, apa yang bisa kita lakukan... sering kita meneriakkan kata lawan tapi kata-kata tersebut kosong tak berarti.... realitas pendidikan saat ini transaksional, dengan mekanisme supply and demand, dan ini menjadi suatu sisitem besar, akankah kesadaran kita hanya berhenti pada kesadaran magis tau n sadar akan permasalahan kita hanya bisa teriak-teriak tanpa tau hal logis apa yang bisa kita lakukan...!! saya rasa guru ada tawaran menarik dari Sujadmoko tentang ekonomi sosialis, maksud saya adalah sejahterakan guru dengan pembangunan ekonomi sosialis, kita dorong para guru untuk membangun ekonomi mikro di lokal rumahnya yang di dahului dg pembangunan institusi ekonomi sosialis di masing2 sekolah, jika ini berjalan dan kehidupan guru sejahtera, mungkin kita bisa berbicara dan menuntut guru untuk memikirkan masalah pendidikan secara serius, tanpa menjadikan institusi pendidikan sebagai lahan mencari penghidupan oleh guru2... memang sekelumit pandangan saya terkesan sangat naif,,, tetapi kita bisa diskusikan pandangn ini panjang lebar, karena saya tak mungkin menuliskan semua rangkaian gagasan di sini... tetapi sungguh luar biasah tulisan mas Deni, mengalir dengan indah, tetapi tetap tajam membelah realitas.....hormat saya FIQIH TRI HIDAYATULLAH ( fiqih@activist.com )

hans mengatakan...

Kalo dulu Pinokio bohong hidungnya tambah panjang. Trus kalo sekarang ada kebohongan di dunia pendidikan, apa dong konsekwensinya?

Anonim mengatakan...

Kejujuran. Sebuah kata syarat makna yang akhir-akhir ini hanya menjadi “slogan-slogan” tak bertuah belaka, menjadi “tameng” bagi perilaku-perilaku “tabu” yang semakin merajalela. Ironis...tragis…miris…beribu rasa menyesak di dada ketika ingatan ini berlabuh pada nilai-nilai kejujuran yang hanya menjadi impian-impian yang terbuang dengan percuma. Dahsyatnya makna yang terkandung di dalamnya tak berarti apa-apa manakala “kepentingan-kepentingan” arogansi mengalahkan segalanya. Teriakan-teriakan mengatasnamakan “kejujuran” pada akhirnya hanya “cemoohan” akan hakekat kejujuran itu sendiri.
Tepat, pas dan lugas. Itulah gambaran secuil tulisan dari sdr. Denny…..mang-analogi-kan nilai-nilai kejujuran dengan kisah Pinokio dan Geppeto yang melegenda menjadi sebuah refleksi yang harus dipahami oleh orang yang mengaku beragama. Berkaca dari realita yang terjadi di jagad raya Indonesia.....kiranya pas sekali analisis yang diberikan oleh sdr. Denny tentang realita “memprihatinkan” penerapan nilai-nilai kejujuran di kancah pendidikan Negara kita. Negara yang berdasarkan Pancasila dan meletakkan KeTuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Sila yang mensyaratkan banyak nilai moral yang wajib dilakukan seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan sebagai peletak dasar ajaran moral (baca kejujuran) bagi bangsa sudah tidak sanggup lagi menahan beban keagungan moral itu sendiri. Nilai-niai moral semakin terkikis seiring dengan bisikan-bisikan mesra yang mengajak kita (baca guru ) pada kepentingan-kepentingan material semata. Nilai-nilai kejujuran yang seharusnya menjadi perilaku nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ternyata hanya sebatas wacana yang tak berarti apa-apa.
Fenomena yang terpapar justru membelalakan mata, praktek korupsi terjadi dimana-mana bak virus yang menyebar dengan cepatnya, kejahatan moralitas yang dilakukan anak-anak usia sekolah sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan yang lebih mengagetkan adalah praktek pemalsuan nilai-nilai akademik yang “dihalalkan” dengan dalih untuk kepentingan “siswa”...dan masih banyak lagi fenomena-fenomena “mengerikan” yang tak patut untuk diungkapkan yang menggambarkan betapa kejujuran sudah diinjak-injak bagai barang rongsokan yang tak ada nilainya. Kebohongan seakan sudah tidak malu menampakkan dirinya.
Fenomena-fenomena diatas mengindikasikan ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng bagi pertahanan moral di negeri ini…..ternyata terindikasi “ikut bermain-main” dengan bobroknya moralitas dengan mengatasnamakan kepentingan “siswa” (kelulusan). Bahkan segala macam cara ditempuh termasuk menggadaikan “kejujuran” guna “meluluskan” siswa. Hasil akhir tidak difahami sebagai muara dari sebuah proses panjang suatu perjalanan. Hasil akhir hanya dipahami sebatas sebuah pengakuan akan kecemerlangan suatu peristiwa. “Seratus %” siswa dinyatakan “lulus”…siapa yang tidak bangga…siapa yang tidak bersuka…. Siapa yang peduli dengan “prosesnya”…...yang terpenting “lulus semuanya”.
Guru yang seharusnya dapat menjadi tauladan bagi anak didiknya seakan mengabaikan dengan sengaja dan menutup mata dengan praktek-praktek kebohongan di sekelilingnya. Guru, yang dalam falsafah jawa berarti “digugu dan ditiru “ tidak terdengar lagi gaungnya. Alangkah malunya jika kita berkaca dari perilaku tulus Geppeto dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada Pinokio.
Ok......sdr. Denny Selamat berjuang melalui kata-kata….biarkan mulutmu bungkam tapi hatimu bicara…...menyuarakan beragam kritik social yang semakin membuncahkan dada dan tak berujung entah kemana.

Anonim mengatakan...

Inspiratif banget mas tulisannya, setelah saya baca saya merasa ada pengkoreksian dari tulisan mas ini, keep blogging :)
maaf pake anonim