Memapah Kota Yang Dibangun Dari Harum Tubuh
:Untuk Gadis Banyuwangi
Adinda, masihkah kau mengelilingi
danau rindu tempat Surati bersemayam.
Harum Surati menebar wewangian
pada malam ganjil aku mengenang wajahmu.
Mata yang ditumbuhi bunga-bunga kenanga
pada kota yang di bangun dari tubuhnya.
Maut yang lahir dari rasa sesal atas laku diri
dan cinta menjadi duka.
Adinda, kenapa kau tak lagi bisa
menggambar wajah dengan warna
wangi atas kematian Surati. Apakah kau
diam-diam membalaskan dendamnya.
Menenggelamkan Raden Banterang
Di danau tempatmu bersemayam.
:Saat kau mengenal laki-laki, kau singkap tabirnya
dengan kealpaan atas muasalnya.
Mengulang kisah mengulang rindu.
Membangun kembali kota harum dari kematian.
Berulang dari haru memburu masa lalu yang terlupa.
Harum menghilang dengan bangkai terbaca.
Dupa-dupa tak lagi menyala.
Rintik hujan mengakhirinya.
Air membasuh tubuh bersetubuh
dengan kembang kamboja.
Wangi kembali wangi kecipraknya
ketika rambutmu tak mampu terdekati.
Persinggahan pada kota yang dibangun
dari air yang harum pada kisahnya.
:Adinda, kemana memapah wangi kotamu
Jika matamu menutup rona-rona rindu.
Malang, 2011
Malang-Surabaya
Malang aku tinggalkan
saat subuh berkumandang
kabut pagi membelaiku
mengantarkan pada kepergian
dingin memelukku temani perjalanan
Laju kendaraan berebutan di depan.
aku mencari sela menghirup asap-asap knalpot
dadaku sesak berdesakan dengan waktu
Aku hirup aroma lumpur di tengah perjalanan
porong-lapindo. Ah, sampai kapan akan usai
derita di tanah yang bertanggul. kini jadi tontonan
Buruh-buruh pabrik berjejeran di jalan
lonceng hidup segera dibunyikan
cerobong-cerobong menghembuskan nafas
Surabaya, aku disambutnya dengan kemacetan
sebentar lagi, panas mengajak dansa denganku
Surabaya aku datang. mencari semangat pahlawan
Surabaya, 2011
Perjalanan
I
di lintasan waktuMu terlarut dalam tanya takdirMu.
memecahkan tubuh yang tumbuh dalam kota tua.
kerapuhan lahir dari masa lalu yang ditetaskan ingatan
pada jalan hitam membaca tanda-tanda.
keberlarian menjadi ingin.
sembunyi dari kenyataan
bahwa hidup adalah
keyakinan.
Malang, Januari 2011
II
di kota tua ini tereja garis nasib yang tak menemui takdirNya
sepi masih saja bertandang dengan gempita di setiap hirupan nafas.
jalan mana harus terlewati mananggalkan tubuh yang rapuh.
hiruk pikuk klakson kendaraan yang berebut celah menuju garis finis.
lampu berkerlipan ketika malam mengetuk pintu waktu
dan orang-orang sibuk mencari celana dalam di mall-mall
yang dibangun dengan menumbangkan pohon-pohon
dan mengusir kunang-kunang. aku tersudut di pojok jalan
yang bersimpang. mengaduh gaduh pada tuan kota tua
dan tak ada jawabnya. sangsi aku pada diriku.
pada Tuhan yang katanya bersemayam didekat urat leherku.
aku masih manyembut namaMu. walau kesangsian berkelindan
menyusuri pertanyaan-pertanyaan keraguanku.
Malang, Januari 2011
III
aku telah memilih jalan. tapi aku takut berjalan. jalan yang menikung tajam. tajamnya seperti mata pisau yang baru saja terasah. bila aku tak berjalan. aku mati dalam angka. bila aku berjalan kakiku akan luka, karena tikungan kian membuatku gelisah. apakah aku harus diam dalam angka yang tak berubah atau berjalan melewati luka. dilema dalam ketakutan. apakah Tuhan bersama bersama orang takut. seketika itu, cahaya berpendar-pendar menuntunku melewati luka. kakiku berdarah. aku menahan dengan keyakinan. aku akan merubah angka. angka akan terus bertambah. bertambah dalam gerak. terus bergerak. kakiku patah dalam angka.
Malang, Februari 2011
IV
aku kalah dengan gerak fikir yang berjalan menjumpaiku
hingga daya tahan akan keyakinan tergedor roboh seketika
masihkah ada hati yang bersijingkat memeluknya, aku harap.
hanya ia yang tertinggal ketika kerapuhan menjumpai,
ketika Tuhan yang aku bunuh tak dapat mati.
keabadiannya ada selalu
aku hanyalah rangka tak berdaya
dan daya itu hanya Tuhan yang punya
Malang, Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar