Jumat, 08 Juli 2011

Lakon Sandiwara

Ketika gedung sudah menjadi gelap dan cahaya remang-remang memancar di panggung yang serba hitam dengan properti meja kursi serta ranjang tempat tidur. Nampak gadis sedang memandang resah dengan tatapan kosong. Aku sebagai penonton terus memperhatikan ekpresi wajahnya. Tak berubah dari detik pertama hingga menit ke lima. Musik biola mengalun menyayat. Gadis di atas panggung nampak jelas, lampu biru dan merah tertangkap oleh tubuhnya. Ia mulai memukul-mukul ranjang tempat tidur yang terletak di bagian belakang sebelah kanan pangung. Suaranya terdengar lirih menyambut nada biola yang menyayat, berlahan sirna. Ia memangil-mangil nama yang tak asing bagiku. Nama-nama yang aku temui dalam cerita dongeng kecilku, dari kakek menjelang tidur malamku. Mataku mulai kosong, pangung menjadi gelap. Wajah kakekku muncul tepat di tengah pangung, ia sedang mendongeng seperti masa di mana aku kecil dulu. Sebentar saja, tidak lama. Tubuh gadis terlihat kembali dengan darah di tangannya dan pisau yang meneteskan warna merah di ujung lancipnya.
Gadis, Kakek. Bergantian memeras kata masa-masa aku kecil dan dongeng yang aku tak pernah ingat detail kisahnya. Nama-nama masih disebutnya. Antara dulu dan sekarang tak ada batasnya. Mungkin saja dunia pangung itulah yang menciptakan ruang maju dan ruang mundur saling bersilang dalam satu waktu. Ah, aku masih heran dengan gadis yang memainkan lakon sandiwara. Tiba-tiba ia lenyap berganti perempuan tua dengan kulit keriput mendendangkan mantra-mantra penolak bala yang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Perempuan tuapun merebahkan dirinya di ranjang—sebentar-bentar bangun-- duduk di meja sebelah kiri depan di panggung. Menuang air dan minum mendesahkan nafas panjang. Matanya menjadi merah, cahaya lampu dari depan memfokus wajahnya. Ia mulai mengiba-iba pada nasibnya. Pada kekasih masa mudanya yang entah ke mana. Dalam mimpinya, ia bercerita, pernah betemu dengan kekasihnya mengajaknya menari-nari sambil berkidung-kidungan. Saat itulah kidung dandang gula menyapa telingaku. Ingatanku kembali pada nenek yang saban malam suka mengidung di samping kakek, ketika hendak menidurkanku. Dongen dan kidung bergantian mengantarkan mataku terpejam saat itu.
Suara gendang yang berdentang rancak. Aku tersadar. Gadis yang aku lihat pertama tadi sudah berubah menjadi gadis manis wajahnya riang sambil membawa bunga mawar. Entah mawar dari mana? Aku menjadi heran dengan diriku kenapa waktu bisa menjadi patah. Apa karena mata gadis lakon sandiwara yang tajam menatapku menarik ke masa lalu. Memanggil nama-nama dari dongen yang aku pernah dengar dari kakekku juga kidung-kidung dari nenekku. Siapa sebenarnya gadis itu. Tokoh siapa yang sedang perankannya? Pertanyaan tentangnya masih berkecamuk: antara ingatan dan mata memandang pangung pertunjukan.
Gadis lakon sandiwara kembali memanggil-mangil nama-nama dari dongeng masa lau.
“Arok, ke mana saja kau. Empu gandring sedang menunggu untuk beradu kesaktian. Saktikah kau tanpa tipu daya. Bila kesaktianmu masih ada lekaslah ke kalangan. Orang-orang menatimu, membawa bunga mawar untukmu. Untuk menunduk pada siasatmu. Siasatmu ampuh. Kekasihku juga mengagumimu. Dia menyuruhku membawa mawar untukmu. Agar aku merayumu hingga Ken Dedes cemburu”
Aku merasa aneh, kalimat yang diucapkan oleh gadis di atas pangung. Kisahnya yang pernah aku tahu tidak begitu. Pertunjukan macam apa? Lakon apa? Gadis itu berperan sebagai apa?.
Dari balik balik gelap gedung pertunjukan di belakangku. Aku melihat wajah merah menyala tanpa tubuh. Aku berteriak-teriak tak ada yang mendegar. Semua penonton masih asyik melihat adegan gadis sedang meratap-ratap, sebab pangilan yang ia ucapkan tadi tak ada yang menghiraukan. Wajah merah menyala terjatuh di atas pangkuan gadis. Aku berteriak ketakutan. Tetapi semua penonton tertawa terbahak-bahak. Gadis yang ada di atas pangung tersenyum. Membelai rambutnya, wajah merah menyala. Tanpa tubuh hanya kepala. Gadis tidak takut. Penonton tertawa. Aku berteriak tak ada yang melihat.
Gadis lakon sandiwara kembali membuka mulut. Sambil mententeng kepala wajah merah menyala. Ia duduk diatas ranjang.
“Ametung, ke mana saja kamu. Kakandaku telah menunggumu di sini. Kemarilah jangan diam di dalam rahim Ken Dedes. Bukan berarti aku mengingatkanmu pada istrimu itu. Hanya saja Ken Dedes Hamil. Dalam kandungannya itu adalah kamu dengan wujud baru”
Ah, apa lagi ini. Dialog yang tak jelas. Gadis di atas pangung telah mengobrak-abrik Pararaton. Kisah yang dulu di dongengkan Kakekku.
Seruling jawa memainkan harmoninya. Tiupannya sampai ke dalam jiwa. Harum bunga-bunga berterbaran di atas pangung. Perempuan itu tertidur di atas ranjang. Wajah yang merah menyala tergeletak dikursi. Aku mengambil nafas panjang. Menyentuh penonton sebelahku. Aku menatapnya. Wajah yang sama aku lihat dengan Gadis lakon sandiwara yang aku tonton.
                                                                ***
Sebelum pertunjukan usai, aku lari keluar gedung pertunjukan. Sampai ditempat aku membeli tiket masuk pertunjukan. Aku melihat gadis lakon sandiwara di depan sambil merenung. Hah, apalagi ini. Siapa yang di panggung dan siapa itu, hatiku berkecamuk antara takut dan ingin tahu. Aku pun memberanikan diri mendekatinya. Tetapi masih saja bergelut dalam diriku, antara keberanian dan ciut nyali. Kakiku sudah berjarak 30 cm darinya, ada beban berat. Aku angkat kakiku, mendekat dan aku pegang rambutnya. Sambir membiarkan rasa penasaranku. Aku bertanya
“Kenapa tak masuk?”
Tak ada suara yang membalasa pertanyaanku. Aku menjadi takut, harus aku lari atau bertahan untuk mengetahui kejelasan siapa dia dan apa hubungannya dengan pertunjukan sandiwara di dalam gedung.
“Kau tak suka sandiwara?”
Aneh, masih belum mau bersuara. Biasanya kalau ada seorang duduk di luar gedung pertunjukan ketika ada pertunjukan sandiwara, dia mengantar kekasihnya yang sedang menonton sedang dia tak suka sandiwara atau dia mengalami kejenuhan menonton lalu dia keluar. Tapi, wajahnya mirip sekali dengan gadis pemain lakon sandiwara di dalam gedung tadi.
“Kau menunggu siapa?”
Aku menanti beberapa detik kemudian. Bukan jawaban yang aku dapatkan, suara tangis. Suara tangis yang berlahan mulai keras. Ketakutanku muncul kembali, hendak aku lari, tanggannya memegang kakiku. Tangisnya semakin keras, aku berusaha melepaskan genggaman tanganya yang berada di kakiku. Tapi sia-sia, semakin kencang, aku jatuh. Tangisnya berlahan meredah. Aku tak sadar, ada lampu menyala dari atap depan gedung pertunjukan. Lampu yang menyala merah. Tiba-tiba saja gelap, lalu nyala. Aku berada di atas pangung pertunjukan. Aku harus berbuat apa, seratus lebih pasang mata menatapku di sini. Gadis itu tak lagi memegang tanganku. Tapi tetap sesenggukan.
“Mas, kau yang telah membunuh suamiku”
“Kapan, aku membunuh suamimu?”
“Mas, masih saja tidak mengaku”
“Aku benar-benar tak tahu”
“Ya, sudah. Kalau mas tak mau mengaku”
Gadis itu berlahan membuka jarit yang ia kenakan. Aku hendak lari tak bisa. Mulai terbuka,  ada wajah-wajah masa lalu. Ada wajahku.
“Ya, aku tahu. Waktu itu, aku telah mebunuh suamimu. Tapi semua sepadan dengan kutukan yang aku terima. Kau juga menerimanya. Kita adalah sama-sama serakah”.
“Malang, sekali kau sayang. Sungguh malang. Mari kita tuntaskan kisah kita”
Gadis itu memegang keris. Gadis itu hendak mebunuhku.
“Clep.., mampus kau”
Ada wajah masa lalu, saling bergantian menampakkan dirinya. Wajah kakek, wajah nenek, wajah orang-orang yang aku temui dalam cerita, wajah orang-orang yang aku temui di kotaku singgah.
                                                                    ***
Lampu gedung pertunjukan menyala terang. Orang-orang sedang sibuk membereskan panggung. Tak ada satupun penonton yang tertinggal, kecuali aku. Lalu aku melangkah keluar gedung. Aku melihat wajah gadis lakon sandiwara duduk merenung. Aku menyapanya
“Kok, sendirian?”
“Iya, lagi ingin sendiri mas. oh ya, actingmu tadi bagus”
Aku terheran. Sambil lalu aku melangkah pulang.

Malang, Januari 2011

Tidak ada komentar: