Senin, 11 Juli 2011

Pengusuran Dalam Pementasan Teater

Setan ora doyan
Demit ora dulit
Banyak orang mabuk duwit
Njarah milik banyak orang


Dimulai dengan pengucapan mantra di atas, lampu sedikit mulai mencahayai pentas. Berdiri lima patung dan seorang sedang memimpin ritual serta dua orang mengikutinya. Sebuah hal biasa kita jumpai jika sebagian masyarakat kita, meminta bantuan dukun untuk menyelesaikan permasalahannya.

Tetapi yang menjadi sesembahan mereka adalah patung pejuang, dengan adanya ritual tersebut patung-patung tersebut tidak terima. “Bukannya di lanjutkan perjuangannya tetapi di sembah dengan meminta permintaan-permintaan yang tidak rasional” dialog para patung monumen.
Itulah awal gambaran sebuah pementasan Monumen Karya Indra Tanggono yang di adaptasi dan di sutradarai oleh Leo Zaini dalam acara ulang tahun Teater Pelangi Universitas Negeri Malang.
Dua setting tempat untuk memisah dua alam yang berbeda, pertama adalah roh-roh patung monumen dan kedua adalah kehidupan masyarakat yang mendiami daerah sekitar patung monumen untuk bekerja sebagai pelajur, sembunyinya para pencompet dan gelandangan.
Gaya karikatural yang dimainkan oleh para roh-roh patung sangat menarik dan cair sehingga penonton di buat gelak tawa yakni kenangan-kenangan waktu berjuang, serta siapa yang layak di sebut sebagai pahlawan diantara lima patung pejuang monumen tersebut. Tidak hanya saling ejek, para pejuang tersebut juga mengungkapkan keluh kesah dengan nada-nada liris: berpuisi, tidak kalah mengahrukannya.
Di sisi lain kehidupan para pelacur dan pencopet serta gelandangan tidak kalah menyedikan dengan di utarakan kisah-kisah kehidupan mereka yang pedih harus memperjuangkan hidup yang layak.
Serta ketakutan-ketakutan mereka ketika salah satu diantara mereka menerima uang dari seseorang pejabat yang tadinya minta diselamatkan oleh Yu Seblak yakni salah satu pelacur yang menyamar jadi dukun. dikarenakan uang yang diberikan adalah hasil dari korupsi. Dalam hal ini walaupun mereka pekerjaanya melanggar norma sosial atau norma susila tetap mereka tidak berani menanggung resiko lebih besar denga menerima uang korupsi.


Mengangkat Tema Kontektual


Pangung mulai menegangkan dengan adanya isu pengusuran yang akan dilakukan pemerintah daerah setempat, hal tersebut di-dapatkan-nya informasi dari koran oleh salah satu tokoh gelandangan. Ada yang percaya dan ada yang tidak percaya, para penghuni sekitar monumen tersebut saling berdiskusi. Kalaupun benar apa yang harus mereka lakukan salah satu pembahasan mereka.
Akhirnya datang dua orang tokoh yang memerankan sebagai orang pemerintahan yang bekerja di dinas kebudayaan dan pariwisata, melihat lokasi tersebut. Kegelisahan para penghuni sekitar monumen terbuktikan.
Konflik-pun semakin memuncak ketika kedatangan tokoh yang memerankan kepala daerah setempat di dampingi seorang pemilik modal dari asing. Kepentingan mereka adalah menggusur monumen tersebut dan mengantikannya dengan pertokoan. Namanya penguasa kota, apapun kebijakannya pasti terlaksana, apalagi akan mendapat uang banyak dari pemilik modal yang mendanai proyek tersebut. .
Tidak hanya para penghuni monumen mulai resah, tetapi roh-roh para monumen pun resah dan harus melakukan perlawanan. Tetapi apa daya alat-alat berat datang dalam bayangan imaji para tokoh. Mereka semua tidak berdaya dan porak-poranda monument tersebut.
Riuh tepuk tangan mengakhiri pementasan monumen dari Teater Pelangi Universitas Negeri Malang. Penonton-pun bernafas lega sehabis bersesak-sesakan demi untuk menonton pertunjukan tersebut. Maklum gedung perkantoran dan perkuliahan di sulap menjadi gedung pertunjukan. Bahkan ada yang tidak bisa masuk sebab tidak muatnya gedung tersebut.
Sebuah pertunjuangan yang penuh apresiasi tetapi tidak di barengi dengan fasilitas yang layak. Sebab di kota malang untuk menyelenggarakan pertunjukan teater harus banyak akal untuk menyulap gedung-gedung perkulihaan ataupun lorong-lorong perkantoran di beberapa kampus di Malang adalah hal biasa, sebab tidak tersedianya gedung seperti Cak Durasim, atau Balai Pemuda di Surabaya.
Pementasan yang tidak hanya sekali, sebelumnya khusus di saksikan pelajar-pelajar kota malang tanggal 16 Februari 2009 sore dan Untuk Umum tanggal 17 malam untuk umum. Tema yang di angkat juga kontekstual dengan kondisi di Malang. Seiring adanya banyak pengusuran serta alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah kota demi kepentingan modal. Contohnya: Matos, Mog, dan Rampal, Tanjung. Padahal tempat-tempat tersebut adalah tanah serapan yang menolong ketika hujan tiba, akan tetapi sekarang berdiri pusat pembelanjaan dan tempat hiburan.
Untuk mengakhiri tulisan ini ada beberapa catatan secara teknis dari pementasan monumen oleh teater pelangi yakni tata cahanya yang kurang mendukung pergerakan tokoh-tokoh di panggung serta sedikit lemah penokohan pemain yang memerankan masyarakat sekitar monumenen. 

Tidak ada komentar: