Minggu, 10 Juli 2011

Parade Puisi

Ketika Kereta Membawa Rembulan

batu-batu diterpa bayangan  
dari tubuhku pandang purnama  
berkilauan membias wajah 
besi tua berciuman dengan terang

cahaya bulan 
 
sebentar lagi kereta melaju  
lewat jalur lurus sedikit menikung 
 
balok-balok kayu penyanggah  
hampir rapuh masih utuh 
dari pohon jati masa lalu 
sebagian sudah berubah

dari beton masa kini 
 
stasiun yang menghentikan kereta  
sepi dari hiruk pikuk petugas penjual karcis─  
loket tutup  
 
(rembulan masih terang dengan bidadari  
dan kucingnya berayunan menunggu  
kereta langit menuju bumi) 
 
deru kereta melintas  
dari ujung arah berlawanan 
 
melinang air dari mata kali  
sumber mengabdi  
pada dongeng kala kenangan

menyapa 
 
kereta melaju  
aku terdiam kaku 
 
rembulan terseret rantai besi  
bidadari dan kucing menggelinding  
ke arah barat dan tidak kembali.
 
menunggu mereka─ 
aku masih bermain bunyi  
dari batu yang aku lempar pada batang rel kereta 
mengharap kembali bidadari dan kucingnya  
bermain ayunan ketika purnama  
 
akan kupandang─ 
rinduku mengeja 
pada dongeng moyangku. 

Malang, 2010 
 
 
Membakar Waktu

ada muasal kata  
lewat dedaunan layu  
diterpah kehangantan  
saling gesek bergesek  
memainkan nyanyian  
kekeringan  
dalam tanya  
pepohonan  
sedang meranggas kesepian. 
 
waktu melahan berkunjung  
pada arah matahari sunyi  
beri kabar betah untuk tinggal  
di bingkai:  
tanah retak  
rumput kering  
daun jatuh  
buah jagung berkembang.  
 
adakah yang paling sepi  
saat waktu terbakar  
menyangsikan musim hujan 
terburu-buru pergi 
 
pohon jati berdiri 
menahan tubuh perih 
rontok daun membelai 
api.

Malang, 2010


Pada Gadis Serupa Layla 
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku 
 
lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.  
o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku. 
 
kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama. 
 
romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi. 
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya. 
 
ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.  
 
mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu. 
 
Malang, 2010


Perjamuan Senja
:khotbah zarathustra di atas bukit 
memberi kabar kematian tuhan dari hutan 
 
mengambil langkah jejak-jejak resah 
kalbu dirundung sepi menepiskan gadisnya 
tak ada syahwat terbaca hanya lingkar tanya 
 
kuda-kuda meringkik dalam gelombang masa 
membawa ujaran dari hikma sang petapa 
melengking di dinding-dinding telinga 
membasuh pada gugatan amarah  
mencari daya dari diri yang membara 
 
waktu pada ujungnya melawat 
menemui ajal atas kematian 
antara tuhan dan mahluknya 
merekat dekat dalam kalbu hati 
saling bicara dan merasa 
 
menelesap pada senja kuasa 
zarathustra mati jatuh pada jurangnya 
dan tuhan pun mati dalam khotbahnya 

Malang, 2010 
 
 
Waktu Membatu

aku menatap batu cadas 
di atas bukit rindu 
mengaca pada bongkahan ragu 
 
menanti masa 
aku membatu dalam gagu 
bukit mengalunkan nada-nada perdu 
lewat angin: bergesekan dedaunan biru 
dalam penjara waktu 
 
waktu bergeser 
saat rintih hujan 
menyeruh runtuh 
 
sadar beku tak menentu 
sadarkan diri pada waktu 
menanti: memecahkan hati batu 
 
Malang, Mei 2008


Waktu dan Buku

Bukankah ia berjalan tak berhenti 
Melintasi sejarah detik-detik pejalan kaki 
Sambil memunguti pertanyaan dan jawaban bekal mati 
 
Gelap bila tak ada kendali 
Terbawa begitu saja tanpa tersentuh hati 
 
Terang bila punya mimpi 
Membawa langkah berserah diri 
 
Aku yang mewaktu  
Sembunyi dalam buku 
Tak sempat bercumbu 
Sudah luka terburu-buru 
 
Bukankah itu dulu? 
Ketika kebebasan terpenjara dalam waktu beku 
 
Kenapa menjadi kini?  
Belum sempat aku kenali sudah mati 
 
Aku dalam buku 
Beku mewaktu 
Ketika detik terbunuh 
Sejarah berulang lalu 
 
Malang, Desember 2009


Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati

Aku pernah memenggal nama tuhan  
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya 
 
Batu batu kerikil tajam melukai kakiku  
di jalan menapaki pertapaan. 
 
Kesunyian singgah dalam kesilaman masa 
keharuan menebar putik-putik kamboja  
lelah dengan mudah 
 
Bayangan-bayangan kematiannya 
bergelayut di dinding nalarku penuh angka 
 
Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah 
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa 
 
Penempaan akan diri  
kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama 
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah. 
 
Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi  
di puncak perbukitan dimana tuhan pernah aku makamkan.  
 
Seketika mulutku berkhotbah 
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih 


Jogja-Gunung Kidul 2010 
 

Kun

dari pepohonan  
terselip cahaya  
berpendar-pendar 
membelah dedahanan  
dari muasal kata  
kehendak merabah. 
 
mencipta kegoyahan 
bila tak dapat peluk sinarnya  
 
hanya kekosongan  
akan dekati raga 
 
tak ada yang indah  
selain kemilaunya 
 
tertangkap batin  
menjelma kesempurnaan daya 
 
mengenali kulit ari dan getah  
melekat pada dada. 
 
satu, dua, nama terbaca  
dalam kenang muasal ada. 
 
api dan tanah bergelora  
mengikatnya dari kehampaan  
memasak menjadi kisah. 
 
tiupan angin 
belaian dedaunan  
bergesek-gesekan ranting  
patah jatuh menimpa wajah 
 
kun,  
mata terbuka 
terlihat nyata

roh dan jasad 
berkelana menelusup  
belantara kata-kata 
 
Malang, 2010


Mencari Jejak Terakhir
 
Pada garam yang tersebar di pantaimu aku memunguti satu-persatu. Tanahmu tak lagi bisa membekukan asin di tanganku. Membuat jejak kakiku tertinggal di perjalanan ke rumahmu. 

Masihkah kau ingat waktu itu. Aku menari malambai memanggil namamu. Dari kejauhan. Ketika kau hendak mengubur jejakku di pantaimu. 
 
Langit menghitam angin kencang. Meniupmu ke tepi laut yang tak asin lagi. Sebab, rasa asinnya. Telah aku telan semuanya. Tak ada lambaian tanganmu, karna kau sibuk mengubur jejakku dengan air laut yang kau ambil dari dasarnya. 
 
Sudahkah kau tahu, di mana letak jejak terakhirku?

Kau masih sibuk mencarinya. Bersamaan dengan petir, kau ambil  dan hujan menderu. Kau tertawa tak pernah kembali. Sehabis kau menuliskan pesan di pasir tentang jejak terakhirku.  
Aku mengunyah asin garam laut dari pantaimu. 
 
Malang, 2009 
 
 
Balada Putri Sido Maya 

takdir kasih adalah keniscayaan anak manusia 
pada pilihan  tambatkan diri  
merebahkan dalam buaian rindu 
laksana kekumbang dengan bebungaan 
cahaya memancar berkilauan: purnama cinta 
 
sewaktu asmara memancang kuat 
tergiringnya pada tarian duka 
apalah hendak dikata tak punya kuasa 
atas nama kehormatan, kandas harapannya

keris serta darah putih menyatuh:

penyesalan pemilik tahta 
bertahun tahun-tahun mengharap 
malaikat mendiami singgah di kampungnya 
wasiat sang alam padanya

untuk dicarinya 
 
(di tangan sang raja tubuh malaikat dibunuhnya) 
 
sang putri berlari mendiami bukit 
cahaya kemerahan telah padam 
tak kuat menghadap siksa mesrah yang terbelah 
atas kegelapan sang bapak membaca petanda  
hendak meminangkan pada pemilik tahta dan harta 
 
perbukitan menjuluk* tempat ia bersemedi 
bertahun-tahun menyiksa diri dalam sepi 
kekal dalam ayu perempuan suci 
menghantui kisah waktu
sejarah masa dulu 
 
Malang-Lamongan, 2009 

*gunung yang ada di daerah sedayu lawas
putri sido maya=putri sido ayu sekarang sebagai nama desa di lamongan pesisir yakni Sedayu Lawas. cerita ini beberapa versi.

Tidak ada komentar: