Ketika Kereta Membawa Rembulan
batu-batu diterpa bayangan
dari tubuhku pandang purnama
berkilauan membias wajah
besi tua berciuman dengan terang
cahaya bulan
sebentar lagi kereta melaju
lewat jalur lurus sedikit menikung
balok-balok kayu penyanggah
hampir rapuh masih utuh
dari pohon jati masa lalu
sebagian sudah berubah
dari beton masa kini
stasiun yang menghentikan kereta
sepi dari hiruk pikuk petugas penjual karcis─
loket tutup
(rembulan masih terang dengan bidadari
dan kucingnya berayunan menunggu
kereta langit menuju bumi)
deru kereta melintas
dari ujung arah berlawanan
melinang air dari mata kali
sumber mengabdi
pada dongeng kala kenangan
menyapa
kereta melaju
aku terdiam kaku
rembulan terseret rantai besi
bidadari dan kucing menggelinding
ke arah barat dan tidak kembali.
menunggu mereka─
aku masih bermain bunyi
dari batu yang aku lempar pada batang rel kereta
mengharap kembali bidadari dan kucingnya
bermain ayunan ketika purnama
akan kupandang─
rinduku mengeja
pada dongeng moyangku.
Malang, 2010
Membakar Waktu
ada muasal kata
lewat dedaunan layu
diterpah kehangantan
saling gesek bergesek
memainkan nyanyian
kekeringan
dalam tanya
pepohonan
sedang meranggas kesepian.
waktu melahan berkunjung
pada arah matahari sunyi
beri kabar betah untuk tinggal
di bingkai:
tanah retak
rumput kering
daun jatuh
buah jagung berkembang.
adakah yang paling sepi
saat waktu terbakar
menyangsikan musim hujan
terburu-buru pergi
pohon jati berdiri
menahan tubuh perih
rontok daun membelai
api.
Malang, 2010
Pada Gadis Serupa Layla
:dari matamu yang menyeret jejak-jejak romantikaku
lihatlah! sekuntum bunga yang perna aku bawa padamu masih tetap beraroma. sabda jiwa bersinar menyala membentuk ghazal menghiasi taman surga. masihkah ada keraguan menyapa.
o gadis serupa layla. aku kini menjadi qays. menantimu melukis bunga dalam kanvas hatiku.
kau ingat kisah layla majnun. di sana layla dan qays berada. menggambar kisah kasih purnama.
romatika langit manyapa. kegilaan akan kerinduan. dan menjelma menjadi puisi.
tuhan pun ada dalam dirimu. o betapa indahnya.
ah, kegilaan ini. kelopaknya mengembang semakin melebar membentuk jembatan menuju khayangan.
mari, kemarilah. tak ada harpa menjadikan nada selaras. biar getar jantung menemui harmoninya. mari, menari bersamaku dalam lukisan hari nan syahdu.
Malang, 2010
Perjamuan Senja
:khotbah zarathustra di atas bukit
memberi kabar kematian tuhan dari hutan
mengambil langkah jejak-jejak resah
kalbu dirundung sepi menepiskan gadisnya
tak ada syahwat terbaca hanya lingkar tanya
kuda-kuda meringkik dalam gelombang masa
membawa ujaran dari hikma sang petapa
melengking di dinding-dinding telinga
membasuh pada gugatan amarah
mencari daya dari diri yang membara
waktu pada ujungnya melawat
menemui ajal atas kematian
antara tuhan dan mahluknya
merekat dekat dalam kalbu hati
saling bicara dan merasa
menelesap pada senja kuasa
zarathustra mati jatuh pada jurangnya
dan tuhan pun mati dalam khotbahnya
Malang, 2010
Waktu Membatu
aku menatap batu cadas
di atas bukit rindu
mengaca pada bongkahan ragu
menanti masa
aku membatu dalam gagu
bukit mengalunkan nada-nada perdu
lewat angin: bergesekan dedaunan biru
dalam penjara waktu
waktu bergeser
saat rintih hujan
menyeruh runtuh
sadar beku tak menentu
sadarkan diri pada waktu
menanti: memecahkan hati batu
Malang, Mei 2008
Waktu dan Buku
Bukankah ia berjalan tak berhenti
Melintasi sejarah detik-detik pejalan kaki
Sambil memunguti pertanyaan dan jawaban bekal mati
Gelap bila tak ada kendali
Terbawa begitu saja tanpa tersentuh hati
Terang bila punya mimpi
Membawa langkah berserah diri
Aku yang mewaktu
Sembunyi dalam buku
Tak sempat bercumbu
Sudah luka terburu-buru
Bukankah itu dulu?
Ketika kebebasan terpenjara dalam waktu beku
Kenapa menjadi kini?
Belum sempat aku kenali sudah mati
Aku dalam buku
Beku mewaktu
Ketika detik terbunuh
Sejarah berulang lalu
Malang, Desember 2009
Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati
Aku pernah memenggal nama tuhan
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya
Batu batu kerikil tajam melukai kakiku
di jalan menapaki pertapaan.
Kesunyian singgah dalam kesilaman masa
keharuan menebar putik-putik kamboja
lelah dengan mudah
Bayangan-bayangan kematiannya
bergelayut di dinding nalarku penuh angka
Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa
Penempaan akan diri
kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah.
Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi
di puncak perbukitan dimana tuhan pernah aku makamkan.
Seketika mulutku berkhotbah
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih
Jogja-Gunung Kidul 2010
Kun
dari pepohonan
terselip cahaya
berpendar-pendar
membelah dedahanan
dari muasal kata
kehendak merabah.
mencipta kegoyahan
bila tak dapat peluk sinarnya
hanya kekosongan
akan dekati raga
tak ada yang indah
selain kemilaunya
tertangkap batin
menjelma kesempurnaan daya
mengenali kulit ari dan getah
melekat pada dada.
satu, dua, nama terbaca
dalam kenang muasal ada.
api dan tanah bergelora
mengikatnya dari kehampaan
memasak menjadi kisah.
tiupan angin
belaian dedaunan
bergesek-gesekan ranting
patah jatuh menimpa wajah
kun,
mata terbuka
terlihat nyata
roh dan jasad
berkelana menelusup
belantara kata-kata
Malang, 2010
Mencari Jejak Terakhir
Pada garam yang tersebar di pantaimu aku memunguti satu-persatu. Tanahmu tak lagi bisa membekukan asin di tanganku. Membuat jejak kakiku tertinggal di perjalanan ke rumahmu.
Masihkah kau ingat waktu itu. Aku menari malambai memanggil namamu. Dari kejauhan. Ketika kau hendak mengubur jejakku di pantaimu.
Langit menghitam angin kencang. Meniupmu ke tepi laut yang tak asin lagi. Sebab, rasa asinnya. Telah aku telan semuanya. Tak ada lambaian tanganmu, karna kau sibuk mengubur jejakku dengan air laut yang kau ambil dari dasarnya.
Sudahkah kau tahu, di mana letak jejak terakhirku?
Kau masih sibuk mencarinya. Bersamaan dengan petir, kau ambil dan hujan menderu. Kau tertawa tak pernah kembali. Sehabis kau menuliskan pesan di pasir tentang jejak terakhirku.
Aku mengunyah asin garam laut dari pantaimu.
Malang, 2009
Balada Putri Sido Maya
takdir kasih adalah keniscayaan anak manusia
pada pilihan tambatkan diri
merebahkan dalam buaian rindu
laksana kekumbang dengan bebungaan
cahaya memancar berkilauan: purnama cinta
sewaktu asmara memancang kuat
tergiringnya pada tarian duka
apalah hendak dikata tak punya kuasa
atas nama kehormatan, kandas harapannya
keris serta darah putih menyatuh:
penyesalan pemilik tahta
bertahun tahun-tahun mengharap
malaikat mendiami singgah di kampungnya
wasiat sang alam padanya
untuk dicarinya
(di tangan sang raja tubuh malaikat dibunuhnya)
sang putri berlari mendiami bukit
cahaya kemerahan telah padam
tak kuat menghadap siksa mesrah yang terbelah
atas kegelapan sang bapak membaca petanda
hendak meminangkan pada pemilik tahta dan harta
perbukitan menjuluk* tempat ia bersemedi
bertahun-tahun menyiksa diri dalam sepi
kekal dalam ayu perempuan suci
menghantui kisah waktu
sejarah masa dulu
Malang-Lamongan, 2009
*gunung yang ada di daerah sedayu lawas
putri sido maya=putri sido ayu sekarang sebagai nama desa di lamongan pesisir yakni Sedayu Lawas. cerita ini beberapa versi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar