Rabu, 14 Juli 2010

Cerpen: Pengelana

“Sakit ini tak juga sembuh. Sudah Aku minum obat tapi tak juga lenyap. Haruskah tetap Aku biarkan menyelimuti tubuhku. Padahal Aku harus menyelesaikan sajak-sajakku tentang pembacaan akan diri.”

Sawah masih menyuguhkan musim panen. Para petani bergembira seusai mendapatkan rezeki yang melimpah. Begitupun para buruh tani tak juga ketinggalan merayakan pesta dari upah yang diberikan pemilik sawah. Walau tak ada kembang api, kue tart, dan lilin sudah cukup meriah.

Bulan pun menambah indah. Di halaman rumah tergelar tikar terbuat dari pandan. Saling bercengkrama dengan tawa. Tak ada duka menggantung di mata. Orang-orang tua bercerita bidadari yang sedang menggendong kucing bersemayam di bulan. Sambil menyanyikan lagu indah tentang desa.

“Harusnya Aku mati saja. Padahal, Aku telah membunuh diriku dalam sajak-sajak yang Aku tuang dalam buku-bukuku. Kini telah tersebar di rak-rak toko buku, bufet pencinta rindu, atau mungkin masuk di kolong tempat tidur para penyair yang menyatakan dirinya pujangga dan tak pernah menganggap diriku ada. Aku tak peduli dengan serapa. Aku hanya berharap pada diriku untuk tetap menulis sajak. Sebab Aku menjadi hidup ketika Aku melukis dengan kata dalam kertas-kertas putih. Walau sudah jadi, esok tetap aku pelajari, menyempurnakan bangunan diri di dalamnya.”

Bulan purnama bergeser menengah tepat di atas kepala. Para penduduk desa memejamkan mata. Meletakkan tubuh yang lelah di atas bayang yang terbuat dari bambu. Diiringi musik-musikan yang dimainkan alam melalui pukulan-pukulan angin yang membelainya. Juga hewan-hewan tak ketinggalan melantunkan lagu indah dari organ tubuh yang dimilikinya.

“Ah, kemanakah gundah ini aku kirimkan. Sakit tak membuatku sabar pada jemariku menari. Sedari tadi musik telah berbunyi dari kotak kesadaran fikir dan hatiku. Tuhan, bukannya Engkau pemberi sembuh. Maka sembuhkanlah Aku. Sebab Aku tak ingin ketinggalan ide yang berseliweran membayang di dinding-dinding kamarku.”

Senyap dan sepi desa kini telah datang. Tak ada tanda-tanda hiruk pikuk dari manusia-manusia penghuninya. Mimpi-mimpi pun berdatangan bagi mereka yang menanamkan bunga-bunga pada tidurnya. Ada kengerian, ada ketakutan, ada senyuman, ada yang basah di celana, ada juga igauan tentang keinginan yang tak tersampaikan.

Sedang di kamar rumah yang menghadap ke arah masjid tidak serupah rumah-rumah lainnya. Semua telah mematikan lampunya. Rumah itu masih menyala dengan terang, tetapi hanya di kamar depan. Kebiasaan orang desa bila tidur lampu tak pernah menyala. Bila masih menyala berarti tuan rumah masih membuka mata. Hal tersebut menjadi biasa karena dulu ketika masih menggunakan lampu templek yang berisi minyak tanah. Kalau tidur, harus meniupnya bila tidak akan membuat asap dan tak nyaman buat hidung bila pagi tiba atau saat membuka mata.

Rumah itu milik pengelana. Ia selalu menyebut dirinya pengelana. Sebab ketika masih umur belasan dan dua puluhan Ia suka bepergian ke mana-mana. Sambil membawa buku-buku sebagai bekal untuk dibaca. Selain pengelana Ia juga suka menulis sajak-sajak yang Ia buhul menjadi buku. Tanpa bantuan, buku-bukunya pun jadi. Lalu Ia memasarkannya sendiri. Ke kota-kota yang Ia anggap orang-orangnya suka baca. Kadang cacian kerap menampar mukanya. Tapi, Ia tak peduli. Hanya menulis dan membukukannya. Ia juga tak ramah dengan koran. Hingga namanya tak pernah muncul menjadi perbincangan para sastrawan. Ia tak suka keramaian, yang Ia lakukan hanya menulis menggambar dirinya dalam sajak-sajaknya.

Ia pernah sempat membuat para pembaca terkagum-kagum dengan sajak-sajak baladanya dan Ia juga pernah menuliskan sayap-sayap malaikat dalam sajak-sajaknya yang membuat orang-orang kerap mengundangnya. Tetap saja Ia menganggap dirinya pengelana. Ia tak suka sanjungan atau pujian. Begitulah kalau membaca dirinya. Ia mengujarkan itu pada tamu-tamunya yang kerap kali bertemu ataupun datang kerumahnya.

“Aku, sudah mulai gila sepertinya. Baiklah akan Aku bakar saja buku-buku yang membuatku menjadi kesurupan begini”

Ia mulai merintih, merasakan sakitnya. Menahan sakit tak kuat. Kini semakin berteriak.

“Aku harus menulis. Aku harus menulis. Aku tak mau sakit ini. Tuhan, apa benar kau telah mati. Seperti kitab yang pernah Aku baca. Hingga Kau tak mau menolongku”

Orang-orang yang tinggal serumah dengannya mulai bangun. Mengetuk pintu kamarnya. Tapi tak juga terbuka. Teriakan semakin kencang, hingga desa yang sepi karena waktu memang mengisyaratkan kesepian. Kini mulai ramai. Orang-orang pada saling bertanya.( Ada apa?, kenapa?, dan siapa?) berhamburan dari mulut ke mulut.

Rumah-rumah mulai lagi menyalakan lampu-lampu listriknya. Kedamaian terusik dengan teriakan. Jalan depan masjid ramai bergerombol orang-orang. Dan pintu kamar pun terbuka. Tetapi saat terbuka Ia sudah tidak sadarkan diri, tertidur di atas tumpukan buku-buku dan mesin ketik antiknya.

Salah satu keluarganya membopongnya untuk dipindahkan ke masjid depan rumah. Semua menganggap kesurupan setan desa dari sawah sebab padi-padi sudah di panennya dan tak ada persinggahan bagi demit penunggu sawah. Akhirnya lari memeluk orang yang suka berkhayal. Begitulah cerita yang melegenda di desa.

Orang-orang masih mulai pindah ke masjid. Ada yang melaksanakan sholat, Ada yang membaca kitab suci. Tak ketinggalan para orang pintar di desa itu meracik sesaji untuk diantarkan ke sawah sebagai penolak bala.

Tetapi Ia masih saja belum siuman. Entah tamu dari mana. Seorang tua sambil mengendong kucing putih dan memeluk buku menyibak kerumunan. Seketika orang-orang desa penasaran dan terus memandang dengan mata penuh tanya.

Orang tua yang baru datang tadi mendekat padanya. Ia masih terbaring tak sadar. Orang tua tersebut membuka buku yang dibawanya dan membaca sambil berbisik tepat di telinganya. Ia mulai merintih kesakitan. Sambil mendesah

“Kitab gila...... kitab gila.... musnah”. Ia lemas dan terpejam lagi.

Orang tua tadi meninggalkan kitab dan kucing di sebelahnya. Kucingnya mengeong seperti membangunkan Ia yang lagi tertidur tak sadarkan diri.

Orang tua itu keluar dari masjid melewati orang-orang desa. Hilang di balik tikungan jalan menuju kuburun yang letaknya dekat persawahan.

Orang-orang desa mulai pulang meninggalkan masjid. Ia dan keluarganya masih di masjid. Entah ada apa keluarganya yang menunggunya tertidur semua.

“Kenapa Aku di sini?. Apa yang terjadi?”

Ia memeluk kucing putih. Dan membuka kitab yang dibawah orang tua tadi. Sepertinya Ia mengenali hewan dan kitab itu.

Seorang Muadzin datang untuk mengumandangkan adzan. Dan keluarganya pun bangun serasa tak terjadi apa-apa. Karena terkadang suka tidur di masjid sehabis sholat malam berjama'ah. Hal itu biasa.

Ia pun mengambil wudlu dan duduk di barisan paling depan. Menyeka air mata yang berkali-kali menetes menginsyafi fikiran-fikiran gilanya. Ia menulis lagi dengan mesra bercinta dengan kata yang Ia pungut dari percakapan orang-orang desa. Juga tak lupa mencium buku yang dikasih orang tua tadi. Yakni orang tua yang menghilang di persimpangan jalan menuju kuburan dekat persawaan.

Lamongan, 30 Mei 2010

Tidak ada komentar: