bertahun-tahun aku menunggumu di bukit sepi
ditemani gelisah para pujangga dengan puisi-puisi
mabuk angur do’a cinta kutenggak sendiri
prosesi hidup memang lain
tak seperti apa yang kita fikirkan, mungkin
(jalan Tuhan pun tak terhitung jumlahnya)
di persimpangan jalan, hendak kuambil air minum dari sumur abadi
jumpai kau penuh keanggunan hendak berjalan ke arahku
seketika itu kau tertahan
berjuta tanya akan ku
sedang dimabuk cinta
kau mendekat
lembut tanganmu
hendak menyentuh keningku
tertahan dalam jalan anganmu
tak mampu temukan di jalan fikirku
(untuk apa kau datang kemari kalau kau kembali lagi)
persimpangan jalan menjadi catatan sejarah cintaku yang mati dibuatnya
hati telah merekat melebur menjadi partikel-partikel kecil lalu mengumpal menjadi satu
tertahan di tengorokan hendak melangkah pada jalan akal
aku buntu dibuatnya
kemabukanku menjadi sia-sia
sebab tak sampai melayang-layang
menggapai kitab keabadian sejarah cinta
jalan lain kau kehendaki
kubunuh waktu di bukit ini
bersama pujangga
dengan puisi cintannya
Zaratustra memanggil dan memberikan kado padaku
berlahan lembaran-lembaran puisi cintaku berguguran
terbang menembus celah-celah bebatuan
hinggap di pekuburan lalu mati di hutan
Malang, Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar